DOB: Dari Siapa, Untuk Siapa?
Pasca mencuatnya gejolak di Bumi Cenderawasih terkait kasus persekusi dan tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya pada pertengahan Agustus 2019 yang lalu, samapai hari ini media massa di tingkat lokal maupun nasional kembali ramai membincangkan Papua. Publik Papua maupun di luar Papua disodorkan sebuah polemik lain tentang wacana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). VOA-Indonesia pada 6 November 2019 mengekspos sejumlah perdebatan para politisi dan pegiat kemanusiaan tentang pro kontra pemekaran Provinsi Papua Selatan.
Di dalam berita tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menyatakan bahwa wacana pemekaran di Papua merupakan permintaan masyarakat Papua saat betemu dengan Presiden Joko Widodo. Mahfud mengklaim bahwa pemerintah dan DPR satu suara soal pemekaran wilayah di Papua. Bahkan ia menuding orang-orang yang tidak setuju dengan rencana pemekaran tersebut adalah orang-orang yang ingin Papua merdeka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika pernyataan Mahfud tersebut dirunut kembali, kita akan sampai pada sebuah peristiwa, di mana pada 10 September 2019, 61 orang yang mengklaim diri sebagai Tokoh Papua bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, dan menyampaikan 9 poin aspirasinya tanpa menyinggung sedikit pun berbagai tuntutan rakyat Papua yang berhubungan dengan persoalan rasisme sebulan yang lalu.[1]
Menanggapi wacana pemekaran tersebut, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib mengatakan pihaknya belum menerima aspirasi dari masyarakat Papua terkait rencana pemekaran wilayah. Padahal, menurutnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pemekaran wilayah di Papua harus mendapat persetujuan dari MRP. Murib menyatakan bahwa MRP punya komitmen dan dukungan terhadap rencana tersebut, tetapi semua hal yang diwacanakan harus berdasarkan tahapan dan aturan yang berlaku.
Sementara itu, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KonstraS) Papua, Sam Awom mempertanyakan munculnya wacana pemekaran wilayah dalam pertemuan antara sekelompok tokoh Papua dan Jokowi pada September lalu. Sebab, menurutnya pertemuan tersebut seharunya membahas aksi unjuk rasa yang meluas di Papua, bukan pemekaran wilayah. Rakyat lebih menginginkan adanya penegakan hukum dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM maupun persoalan pembangunan yang belum tuntas di Papua. Awon juga khawatir kalau beberapa DOB jadi dimekarkan akan menimbulkan konflik horizontal di wilayah setempat, dan semakin meminggirkan penduduk lokal Papua (VOA, 6/11/2019).
Di kesempatan berbeda, dalam sebuah pertemuan yang difasilitasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Merauke untuk membahas tindak lanjut dari pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian tentang pembentukan DOB PPS, Harry Ndiken, seorang tokoh intelektual suku Marind juga menyatakan sikap kritisnya. Ndiken mempertanyakan berbagai klaim yang menyatakan bahwa wacana pemekaran adalah permintaan rakyat. “… saya mau tanya, rakyat mana yang meminta pemekaran? Coba sebutkan. Jangan sampai setelah pemekaran, kehidupan Orang Asli Papua (OAP) menjadi lebih sengsara. …mengimpor banyak non-Papua dari luar daerah. …bagaimana dengan OAP?” (tabloidjubi.com, 8/11/2019).
Menanggapi berbagai kontroversi tersebut, John Gluba Gebze, mantan Bupati Kabupaten Merauke dua periode 2000-2010, angkat bicara. Menurut Gluba Gebze, pandangan orang-orang tentang restu atas rencana pembentukan PPS sebagai hasil dari pertemuan 61 Tokoh Papua dengan Presiden Jokowi adalah tidak benar. PPS bukan merupakan produk instan dari keterpaksaan politik negara, melainkan hasil perjuangan dan penantian panjang selama 17 tahun sejak 2002 hingga 2009. Ia kembali menegaskan bahwa rencana PPS telah mengikuti alur prosedural, dan sudah dua kali PPS mendapatkan amanat Presiden (Ampres); termasuk rekomendasi dari DPRP maupun MRP sejak Barnabas Suebu masih menjabat sebagai Gubernur Provinsi Papua.
Baginya, tujuan dari pemekaran adalah untuk kebaikan seluruh rakyat sehingga diharapkan tidak seorang pun menghalangi niat baik dan aspirasi rakyat papua Selatan yang ingin mengatur dirinya sendiri dalam semangat kebersamaan sebagai warga negara Indonesia. Jadi, dalam hal ini, wacana pemekaran DOB PPS tidak ada hubungannya dengan usaha menutupi persoalan rasisme yang menimpah rakyat Papua maupun hasil dialog 61 Tokoh Papua dengan Presiden Jokowi (tabloidjubi.com, 8/11/2019).
Dengan membaca dinamika perdebatan yang diuraikan di atas, kita sampai pada beberapa pertanyaan krusial. Apa urgensi dari wacana pemekaran DOB bagi pemerintah (daerah maupun pusat) dan rakyat Papua di tengah kompleksitas persoalan Papua yang sampai hari ini belum menemukan titik penyelesaian? Mengapa pemekaran sebuah wilayah pemerintahan selalu dikaitkan dengan term ‘pemerataan pembangunan’? Apakah upaya tersebut benar-benar berdasarkan asas manfaat dengan mempertimbangkan untung-ruginya bagi manusia dan alam Papua, atau ada kepentingan terselubung di baliknya? Jika pemekaran adalah bagian dari klaim pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan, siapakah yang sesungguhnya akan diuntungkan dan dirugikan?
Pemekaran Sebagai Upaya ‘Pemerataan Pembangunan’