[caption caption="Membuang Ibu (source: filmex.net)"][/caption]
Bunyi handphone berdering memecahkan konsentrasi di tengah sebuah sesi meeting. Terlihat di layar ada panggilan dari sebuah nomor, bukan dari rekan kerja, customer atau Boss, tapi nomor Kakak di kampung. Sejenak berpikir untuk mengabaikan panggilan tersebut mengingat sedang meeting penting. Seperti hari-hari biasanya, Jum'at kemarin kesibukan kerja terasa apalagi menjelang persiapan libur Idul Fitri. Dari pagi catatan pekerjaan dan masalah harian datang silih berganti seperti tidak ada habisnya. Tapi akhirnya ambil keputusan keluar sebentar dari ruang meeting dan angkat telpon.
Suara Kakak perempuan di seberang terdengar meriah seperti biasa, menanyakan kabar dan kapan rencana mudik. Setelah ngobrol ini itu terdengar suara seorang perempuan di samping Kakak yg mau ikut ngobrol. Suara gembira dan terlihat antusias terdengar berikutnya. Ya..suara Ibunda tercinta. Dengan tertawa ceria beliau bercerita bahwa masih full puasanya, belum ada yang bolong karena badan sehat. Senyum lepas di bibir dan sedikit haru yang tertahan membayangkan wajah Ibunda di seberang sana.
Ya, Ibunda sudah tidak muda lagi usianya, menjelang delapan dasa warsa beliau mengarungi kehidupan ini. Membesarkan anak-anak termasuk si bontot yang paling nakal ini. Sejenak rasa kangen berkecamuk di dada. Tidak sabar rasanya untuk segera tancap gas mengunjungi beliau bersama anak istri saat libur lebaran sebentar lagi. Meski baru bulan lalu ketemu Ibu saat beliau berkunjung ke rumah bersama Kakak-kakak dan ponakan.
Saya jadi teringat sebuah cerita yang pernah saya baca entah kapan. Pernah mendengar cerita dari negeri matahari terbit 'Ubasuteyama'? Baru dengar ya? Memang sih kalah pamor dibanding cerita Doraemon atau Naruto bagi anak jaman sekarang. Ubasuteyama dalam bahasa Jepang, artinya 'Gunung Pembuangan Nenek'.
Konon pada jaman dahulu, di Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan. Mereka yang sudah lemah tak berdaya dibawa ke tengah hutan yang lebat, dan selanjutnya tidak diketahui lagi nasibnya.
Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.
“Bu, kita sudah sampai”, kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia tega melakukannya. Si ibu, dengan tatapan penuh kasih berkata, ”Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang Ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang.
Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya Ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan”. Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang dan merawatnya dengan baik sampai akhir hayatnya.
Cuplikan kisah di atas bukan cerita hisapan jempol belaka. Di masa sekarang kisah di atas bisa mudah kita temui. Tidak sedikit dari kita seringkali 'Membuang Ibu' kita dengan tidak sadar. Melupakan hanya untuk sekedar bersilaturahmi dengan alasan kesibukan kita. Jangankan untuk berkunjung silaturahmi, menelpon untuk sekedar menanyakan kabar dan kesehatan beliau saja jarang kita lakukan.
Momen mudik lebaran setahun sekali ini tentunya sebuah momen yang penting dan sayang untuk dilewatkan. Bertemu dengan orang tua dan saudara serta kerabat di kampung halaman merupakan sarana untuk menyambung silaturahmi tadi. Bermacet ria dan panas sepanjang perjalanan bukanlah sebuah halangan. Meski pulang kampung bisa dilakukan kapan saja ketika ada kesempatan, bagi sebagian banyak orang termasuk kami, momen mudik lebaran ini sayang untuk dilewatkan.
Yang perlu dicatat adalah esensi dari mudik atau pulang kampung ini. Esensi untuk menyambung tali silaturahmi, kembali ke pelukan orang tua kita, bersujud di pangkuannya memohon maaf dan memohon doa restunya. Kadang kita terlupa dengan euforia berlebaran. Setelah malam takbir ceria dengan menyalakan petasan dan kembang api warna-warni, paginya sibuk berkeliling kampung ketemu orang-orang, setelah itu jalan-jalan ke tempat wisata, sementara orang tua kita terlupa. Tidak sadar kita telah membuangnya.