[caption id="attachment_276833" align="aligncenter" width="600" caption="Enkripsi (pic: antaranews.com)"][/caption]
Banyak pihak mengecam keras reaksi SBY yang terkesan tenang dan kalem menghadapi issue penyadapapan yang dilakukan oleh AS terhadap negara-negara lain termasuk Indonesia. Sikap SBY yang cenderung biasa saja dianggap tidak punya jiwa nasionalisme, tidak seperti reaksi Kanselir Jerman, Angela Merkel misalnya yang dengan tegas mengecam tindakan penyadapan AS.
Kalau melihat dari sisi teknologi dan kultur bangsa Indonesia memang ada beberapa alasan yang bisa jadi membuat SBY mengambil sikap masa bodoh. Salah satu data yang menguatkan adalah pernyataan dari Mayjen Djoko Setiadi selaku Kepala Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) bahwa Lemsaneg jamin keamanan data negara dari sadapan asing. Lemsaneg meyakinkan bahwa data informasi negara telah dilakukan proses enkripsi sehingga meskipun disadap tetap tidak akan bisa dibaca.
Enkripsi merupakan proses untuk membuat suatu informasi diacak dengan algoritma (sandi) tertentu sehingga hanya bisa dibaca informasinya setelah dilakukan dekripsi dengan kunci dan algortima tertentu. Bicara tentang algoritma enkripsi-dekripsi, saya jadi teringat saat-saat dulu ketika masih berkutat di bangku menuntut ilmu. Ilmu yang mempelajari tentang sandi dan algoritma ini disebut Kriptografi. Ada beberapa metode yang digunakan untuk mekanisme enkripsi dan dekripsi suatu informasi misalnya Block Chipper atau Stream Chiper. Block Chiper akan meng-enkripsi teks informasi dengan membagi sesuai ukuran tertentu sedangkan Stream Chiper meng-enkripsi data per satuan data (bit, byte, kbyte). Contoh algoritma enkripsi-dekripsi ini misalnya DES (Data Encryption Standard) atau AES (Advanced Encryption Standard).
Dalam keseharian kita menggunakan teknologi informasi, metode enkripsi ini lazim kita temui misalnya untuk urusan data perbankan atau transaksi online. Transaksi internet banking untuk menjaga keamanan dalam bertransaksi menggunakan metode ini. Jadi data nasabah akan aman meski transaksi dilakukan via internet yang notabene merupakan akses yang tiada batas, pertukaran data yang sewaktu-waktu bisa tercecer dimana pun tidak bisa terbaca tanpa kode sandi algoritma untuk dekripsi.
Kalau Anda merupakan pecinta serial cerita detektif seperti Sherlock Holmes atau pun komik Detektif Conan, tentunya tidak asing dengan berbagai kasus yang meninggalkan kode-kode rahasia yang butuh untuk dipecahkan untuk mendapatkan titik terang dari sebuah kasus. Pesan atau kode rahasia tadi sebenarnya merupakan salah satu teknik enkripsi.
Atau Anda pernah menonton film menarik yang dibintangi oleh Nicholas Cage yang berjudul Windtalkers? Yup, film yang mengambil setting di masa Perang Dunia II ini mengisahkan tentang teknik enkripsi dengan menggunakan kode sandi bahasa Navajo, salah satu suku Indian. Bahasa yang asing, tidak bisa dimengerti oleh orang lain meski terdengar bebas. Hanya encoder (pengirim) dan decoder (penerima) yang mampu memberikan informasi dan menerjemahkan isi dari informasi tersebut.
Hubungan suami istri pun kadang dibumbui dengan algoritma sandi enkripsi untuk menyampaikan informasi agar tidak diketahui oleh orang disekelilingnya, oleh sang anak misalnya. Ketika malam menjelang, kode-kode sandi seringkali dilemparkan ke pasangan. Kedipan mata pun bisa jadi merupakan algoritma sandi enkripsi yang hanya bisa diterjemahkan oleh pasangan tersebut. Kami punya satu kode sandi "kopma" semenjak masa-masa pacaran dulu, yang akan mendapat balasan tutup hidung :roll
Dengan semakin majunya teknologi, algoritma sandi enkripsi ini semakin berkembang menjadi sandi yang cukup kompleks dan tidak mudah untuk di-dekripsi, meski data berhasil disadap. Jadi cukup beralasan ketika SBY tenang-tenang saja mendengar issue penyadapan ini, toh tidak bisa dimengerti juga informasinya kan?
Masih ada lagi alasan cukup kuat disamping dari sisi teknologi enkripsi tadi. Kalau dilihat dari kultur bangsa kita dengan berbagai pengalaman masalah korupsi, kolusi dan kroni-kroninya, sepertinya memang SBY tidak perlu mengkhawatirkan masalah penyadapan ini. Coba kita lihat kasus yang masih cukup hangat terkait kuota impor daging sapi. Dalam persidangan didapat fakta-fakta pembicaraan per telepon dari para tersangka. Banyak sekali kata sandi dalam pembicaraan tersebut, mulai dari Engkong, Bunda Putri sampai Jawa Sarkiya dan Pustun yang tentunya hanya dimengerti oleh penyampai dan penerima informasi (proses enkripsi-dekripsi).
Bisa jadi pembicaraan elit politik tingkat atas penuh dengan bahasa sandi ala LHI dan AF. Jadi silahkan AS pusing sendiri menganalisa hasil sadapannya yang penuh sandi ala Pustun dan Jawa Sarkiya. Enkripsi dengan algoritma double protection ala Indonesia. *nyengir