Lihat ke Halaman Asli

Waduk Jatigede dan Hilangnya Empati Pemerintah

Diperbarui: 29 Agustus 2015   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pemberitaan di media elektronik dan media cetak tentang rencana penggenangan waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang, jika benar sangat menggiriskan bagi sanubari para pirsawan yang peka terhadap kehidupan masyarakat pinggiran. Disatu sisi, waduk sebagai penyimpan air hujan yang mengalir di permukaan dan terkumpul masuk ke dalam waduk sangat bermanfaat untuk sektor pertanian, energi listrik dan sumber air minum untuk kehidupan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat yang berada jauh dari lokasi waduk. Namun, disisi lain ada ekosistem yang hilang termasuk masyarakat yang telah lama tinggal di areal waduk tersebut. Mereka tercerabut dari kehidupan damai dan tenteram yang telah mereka alami selama bertahun-tahun sebelum waduk dibangun. Kicauan burung dan canda anak-anak pedesaan hilang segera tergenang air waduk

Pembangunan memang harus ada yang dikorbankan, tetapi pengorbanan tersebut seharusnya dapat dihilangkan atau diminimalkan. Tidak semua penduduk di wilayah waduk yang baru dibangun merupakan masyarakat yang mampu untuk segera pindah ke lokasi lain guna membangun kehidupan baru. Bagaimana dengan penduduk yang kurang mampu, apakah mereka juga dapat dengan mudah membangun kehidupan baru? Disinilah peran pemerintah baik pusat maupun daerah untuk dapat membantu penduduk yang kurang mampu dan terpinggirkan untuk dapat bangkit kembali membangun kehidupannya mulai dari nol.

Begitu pula dengan korban pembangunan waduk terhadap anak-anak. Mereka akan tercerabut dari kehidupan anak2 nya mulai tempat bermain sampai pendidikan dasar yang menjadi program pemerintah. Belum adanya kepastian pindah sekolah anak-anak SD merupakan berita yang memilukan, kenapa hal ini harus terjadi? Dimana peran dan empati pemerintah daerah dalam upaya memindahkan sekolah anak-anak SD tersebut? Apakah kebijakan “diam” ini diartikan bahwa kelanjutan pendidikan anak-anak sangat tergantung kepada lokasi baru dari para orang tua mereka dimana mereka akan membangun rumah atau menumpang kepada saudaranya? Walau alam, hanya Alloh SWT yang tahu dan para pembuat kebijakan di Dinas Pendidikan setempat. Semoga penduduk yang tercabut dari lokasi waduk dapat segera memulihkan ekonomi keluarganya dan anak-anak dapat dengan tenang melanjutkan sekolahnya di tempat yang baru. Dimanakah empati pemerintah? Jawabannya ada di hati nurani para pembaca.

hardo1957.blogspot.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline