Berwisata ke negara berkembang seperti Kamboja pasti akan diiringi rasa was-was, terutama mengenai masalah keamanan. Apalagi setelah membaca beberapa ulasan yang menyebutkan di Phnom Penh sering terjadi pencurian atau penipuan.
Walau kekuatiran merasuk dalam pikiran, traveler tidak akan menghentikan langkahnya untuk menikmati keunikan yang ada di sana. Kekuatiran harus diwaspadai dan merupakan tantangan untuk dijawab, bukan untuk dihindari. Keyakinan inilah yang pada akhirnya membawa kami tiba di Phnom Penh, ibu kota Kamboja.
Pagi itu langit agak mendung, sehingga sengatan mentari tidak begitu terasa membakar. Kami memulai perjalanan dari tepi Sungai Mekong. Walau tidak dapat dikatakan bersih, aliran sungai tampak tenang dengan beberapa perahu yang berlalu-lalang. Tiupan angin yang membelai lembut, menambah nikmatnya keterpanaan menatap air.
Setelah beberapa saat mata dimanjakan tarian sungai, kami melangkahkan kaki ke arah Royal Palace. Ternyata kami kurang beruntung karena hari itu Royal Place sedang ditutup untuk umum. Akhirnya kami hanya bisa menikmati keindahan arsitekturnya dari luar pagar istana saja.
Perjalanan dilanjutkan ke independence monument, yang terletak di tengah tanah lapang. Bentuknya mirip-mirip Candi Prambanan, tetapi ukurannya jauh lebih kecil. Model monumen seperti ini ternyata ciri khas Kamboja.
Tidak jauh dari monumen kemerdekaan ini, terletak Wat Langka, sebuah kuil Buddha. Kalau diperhatikan beberapa bangunan, arsitektur Kamboja ini mirip dengan arsitektur Thailand. Bisa jadi mereka sebenarnya satu budaya mengingat kedekatan geografis kedua negara tersebut.
Dari sini kami melanjutkan perjalanan ke central market. Di tengah jalan, kami kehabisan air minum, dan mampir di sebuah toko. Inilah saat pertama kami bersentuhan dengan masyarakat Phnom Penh.
Bahasa memang menjadi kendala, tetapi dengan bahasa tubuh akhirnya dua botol air mineral berada di tangan kami. Kami tidak menyangka wanita setengah baya itu melayani kami dengan ramah dan penuh senyum. Oleh karena kendala bahasa juga, kami tidak menanyakan harga air mineral tersebut, tetapi langsung memberikan 2 USD, dan siap memberi lagi jika kurang. Maklum ini kan tempat wisata biasanya harga lebih mahal, apalagi dia pasti tahu bahwa kami adalah turis, yang sering menjadi korban harga.
Ternyata perkiraan kami meleset. Dengan senyum ramahnya dia mengembalikan selembar dolar kami plus memberi recehan uang kamboja. Di sinilah awal kami mendapat kesan betapa ramah dan jujurnya orang Kamboja.
Baru sekitar seratus meter melangkah dari toko penjual air mineral, kami melihat ada yang menjual manisan mangga di pinggir jalan. Terdorong perasaan ingin tahu, apakah rasanya sama dengan yang dijual di Jakarta, kami pun membelinya. Kami memberi selembar uang 1 USD.
Kejadian membeli air mineral kembali terulang, ibu-ibu yang sudah tergolong senior itu mengembalikan uang kami dengan recehan mata uang Kamboja. Hati kami betul-betul bertanya-tanya, apakah semua orang Kamboja khususnya di Phnom Penh sejujur ini?