Banyak kisah inspiratif yang dapat selalu memotivasi kita berdasarkan realita kehidupan sehari-hari. Seberapa besar manfaat yang menginspirasi kita biasanya bersifat subyektif. Bahkan terkadang opini orang yang satu dengan yang lain akan relatif berbeda.
Peristiwa berikut ini merupakan hasil percakapan saya dengan seorang perempuan lanjut usia. Tanpa ada niat bagi saya untuk menjadikannya sebuah kisah inspiratif pada awalnya. Namun, seorang sahabat yang selalu menghantui dengan artikel-artikelnya telah menggugah hati saya.
Berawal dari keisengan belaka. Upaya untuk menularkan virus giat menulis selalu menjadi topik percakapan kami pada media sosial Whatss App. Terkadang, sesekali kami menyisipkan humor dalam percakapan itu. Saya pun mulai terusik dengan celotehannya. Katanya, "Pokoke saomong-omonge orang jadi tulisan, Om, Huaaaaaa !!!"
Segelas kopi hitam ternyata dapat bercerita kepada kita bahwa yang hitam tidaklah selalu kotor. Yang pahit pun tak wajib menyedihkan. Itulah pemeo dari sahabat saya, seorang guru dari Salatiga sekaligus penulis pada blog Kompasiana maupun beberapa redaksi majalah di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Sebenarnya, saya sudah memulai percakapan dengan seorang perempuan lanjut usia tersebut sebelum kami saling memotivasi rekan-rekan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk giat menulis. Ketika itu, 1 April 2021. Saat itu, beliau pertama kali datang ke rumah saya. Usianya sudah 60 tahun ketika ia menjawab salah satu pertanyaan dari saya. Akan tetapi, niat murni dalam dirinya sangatlah besar.
"Emak bade damel di dieu kangge nyukupan kabutuhan Abah sapopoena, Aa," ucap perempuan paruh baya itu.
Saya pun terkejut. Emak, seusia itu masih ingin bekerja untuk mencukupi kebutuhan Abah, sang suami tercinta yang kini sudah berusia 70 tahun. Singkat cerita, saya sempat menyangsikan kesungguhannya. Dengan usianya itu, Emak sudah sepatutnya menikmati masa-masa atau hari-hari dengan keceriaan bersama Abah. Sebaliknya, justru beliau ingin menafkahi Abah yang selama 47 tahun menafkahinya lahir maupun batin.
Singkat cerita, saya pun menerima beliau untuk menjadi pangasuh puteri kami yang pertama. Beliau setiap hari datang sekitar pukul 06:45 WIB. Aktivitas saya dan istri pada pagi hari seringkali terselesaikan olehnya. Terkadang, kami justru menjadi malu.
Pada 21 April 2021, genap 21 hari beliau membantu kami. Sudah seperti orang tua kami sendiri. Bahkan, sangat sungkan bagi kami jika beliau menyelesaikan pekerjaan rumah yang sebenarnya dapat kami selesaikan sendiri.
Siti Fatimah, namanya. Biasa dipanggil Emak Rinah. Saya bingung dengan sebutan itu.
"Eta mah nami anak Ema, Aa," katanya ketika hendak mengajak buah hati kami berkeliling seputar blok komplek rumah saya dengan kereta bayi.