Koyosovo adalah namaku. Aku sering ditanya orang yang baru mengenalku, apakah aku ada turunan orang Rusia. Kalau dilihat dari silsilahku sih sepertinya tidak ada. Kedua orangtuaku Jawa tulen, asli Solo, malah bisa dikatakan kalau Solonya Solo kemringet alias berkeringat karena masih masuk ke pelosok, masih harus ganti angkutan pedesaan dua kali. Tapi kalau dilihat dari wajahku… aku mancung, bibir tipis, kulit putih, rambutku dulu hitam tetapi karena sering bermain di sawah kena panas matahari , jadi seperti di highlight, agak pirang. Kadang aku heran dengan orang sekarang, rambut seperti terbakar sinar matahari begitu kok pada bangga, bayar mahal pula ! Waktu kecil teman-temanku sering mengolokku dengan memanggil londo ndeso. Tapi nggak masalah buat aku, yang penting aku hidup bahagia, tidak menyusahkan orang lain. Nggak peduli apa kata orang, nggak peduli asalku dari mana, titik.
Kembali ke soal nama, kata William Shakespeare sih apalah arti sebuah nama. Maka tiap ada orang tanya soal namaku, kujawab sekenanya. Misalnya kujawab kalau dulu ngidam nya pingin pergi ke Kosovo tapi karena perang, terus engga jadi deh, makanya aku dinamakan Koyosovo agar aku nggak ngiler. Kalau dipikir pikir apa hubungannya coba ? Lain kali kujawab kalau sewaktu hamil sibu sering pakai koyo, kain segi empat kecil tipis yang panas kaya balsem yang bisa nempel di kulit, gunanya untuk menghilangkan pegal pegal dipunggung seperti lazimnya orang hamil…
Tapi… saking seringnya orang menanyakan soal namaku, terutama setelah aku kuliah di Jakarta, dari cuek aku jadi penasaran. Sore ini aku akan telepon sibu, mungkin kali ini mau menjawab kenapa aku dinamakan Koyosovo, tanpa nama tengah dan tanpa nama keluarga. Dahulu ketika aku SMP pernah menanyakan, tapi dengan pintarnya sibu mengalihkan pembicaraan.
“Hallo…Assalammualaikum…”
“Wa’alaikum Salaaam…e, ini Oi ya?” jawab suara diseberang telephone yang langsungmengenali suaraku dan langsung menyebut nama panggilanku.
“Iya, ini sibu ya ?
“Bukan, ini Budi….”
Ah, si ibu satu ini masih saja suka bercanda, padahal usianya setengan abad lebih. Kami bercanda, bertukar kabar dan akhirnya kusampaikan uneg-unegku..
“bu, kenapa sih namaku Koyosovo ?”
“emang kenapa?”
“pingin tau aja, karena banyak orang yang menanyakan..”
“ya sibu pingin nama itu saja buat kamu”
“Tapi maksud dan artinya apa bu?”
“Kenapa yang empuk diatas dipan dan sering kita tiduri itu namanya kasur? dan yang kecil buat kepala itu namanya bantal ? apakah harus punya arti ?”
“lho sibu ini, ngeles ya ? saya tanya beneran malah disamakan dengan kasur bantal !”
“Denger ya wuk cah ayu, hakikat dari seorang manusia bukan dari namanya, tapi ibadahnya, akhlaknya, perbuatannya, tutur katanya… percuma bernama Siti Khatijah tetapi berani dengan orang tua, mabuk-mabukan..”
Wah nyerah deh kalau sibu sudah ngomong serius begini, pasti paanjang dan laaama. Bapak almarhum ketemu sibu dimana ya? senengnya pas sibu melucu atau pas serius begini ya.. sayang sibu tidak pernah mau cerita, katanya rahasia perusahaan. Akhirnya pertanyaanku kembali tak terjawab.
Ya, aku tadi menyebutkan bapak almarhum, Bapak meninggal karena kecelakaan ketikatergesa-gesa pulang dari kantor saat dikabari aku sudah lahir, bapak ingin segera melihatku karena sudah 3 tahun menunggu baru punya aku. Sayangnya aku tidak tahu dimanamakam bapak, kata ibuku makamnya sudah terendam air waduk Kedung Ombo. Sebelum waduk itu dibuat, rumahku danmakam bapak ada di sana.
Kini sibu tinggal di desa Sambung Macan, Sragen dirumah simbah kakung. Simbah putri sudah meninggal ketika aku SMA kelas 2. Sibu anak tunggal dan akupun anak tunggal karena sepeninggal ayahku sibu tidak menikah lagi. Hebat bener ibuku …di usia 30an tahun sudah menjanda dan tahan sampai sekarang.. bagaimana ya menyalurkan hasratnya? pikirku … hush.. batinku mengingatkan. jangan kurang ajar ! untuk yang itu urusan ibuku sajalah, yang penting sekarang ibuku bahagia, aku sekolah dengan lancar. Nanti setelah lulus dan bekerja, akan kubahagiakan sibu sebahagia-bahagianya…. Untungnya sedikit sedikit aku bisa menulis, lalu kukirimkan ke koran, majalah. Lumayan honornya bisa buat makan sebulan. Kasihan kalau semuanya masih minta sibu yang mengandalkan uang pensiun simbah dan bapak.
Ibuku itu cantik dan lucu, suka humor, mirip-mirip Ulfa, pelawak dan MC yang dulu pernah terkenal.Tetapi kalau sudah marah… auman harimaupun kalah keras. Tetapi hal itu jarang sekali terjadi, kalau sudah begitu aku memilih diam membisu, percuma menjawab, malahan seperti memberi bensin pada bara api.. Untungnya tidak sampai dua jam sibu pasti sudah leleh, mencair dan tersenyum. waduh.. manisnya …kalau ibuku tersenyum! Sangat mirip dengan aku..! lh !narsis..!
Aku tidak bisa cerita begitu banyak tentang simbah putri karena beliau itu pendiam, ngalah, stereotype wanita jaman dahulu. Aku sering menggodanya tetapi beliau hanya tersenyum, bicara seperlunya saja. Kalau orang bilang “tumbu oleh tutup” alias klop dengan simbah kakung yang tidak bisa diam baik bicaranya maupun gerakannya. Ada saja yang dikerjakannya.
Walaupun tanpa kasih sayang bapak, aku cukup dapat kasih dan perhatian dari simbah kakung. Malahan nilai-nilai luhur jaman dahulu masih tertanam dalam diriku yang mungkin jarang diberikan para ayah di jaman sekarang. Misalnya puasa senin kamis dan hari weton yaitu hari lahir menurut kalender jawa. Maksudnya puasa ini untuk prihatin, melatih kesabaran dan kebijaksanaan dalam hidup, untuk selalu eling lan waspodo… ingat akan Tuhan dan waspada dalam hidup, berhati-hati dalam melangkah,.. Nilai itu ternyata sangat berguna ketika aku kuliah di Jakarta yang setiap detik godaan dan cobaan menanti , juga disaat kiriman uang belum datang atau honor nulis belum turun. Kalau ngomongin soal simbah kakung tidak ada habisnya, Sepertinya idolaku banget! pinter, kreatif, suka humor juga. Waktu kecil aku tidak pernah kekurangan mainan. Tidak pernah membeli, tapi membuat dari bahan di sekitar rumah, batang bunga tebu, pelepah pisang, kulit jeruk bali bisa disulap kakekku jadi mainan. Beliau juga sering nembang, menyanyikan lagu-lagu jawa. Kalau kualitas suaranya jika diikutkan kontes Indonesian Idol tidak bakalan menang. Tapi cukuplah membuatku terlelap disampingnya.
Dalam sepi kadang aku bertanya-tanya, kenapa sibu atau simbah tidak pernah cerita tentang bapak. Walau simbah kakung sangat mengasihiku, aku masih ingin tahu tentang bapak lebih banyak. Bukan hanya dari foto-foto yang tersimpan rapi, bahkan amat sangat rapi karena album fotonya masih didalam tempatnya dan dimasukkan ke dalam kardus dan dilakban dan diletakkan didalam gudang… Pernah aku memberanikan diri untuk bertanya, ibuku hanya terdiam dan air mata menetes tanpa suara tangis. Aku merasa bersalah dan tidak berani bertanya lagi. Tetapi lain waku aku bertanya pada simbah kakung, beliau hanya menjawab kalau luka sibu tidak boleh dikorek-korek lagi, biar beginilah adanya. Katanya “Ibumu sangat mencintai bapakmu dan terenggut secara tiba-tiba disaat yang membahagiakan dan ditunggu-tunggu. Tataplah kedepan Oi, jangan pernah menoleh ke belakang”. Akhirnya aku bungkam dan memaklumi kenapa keluargaku tidak pernah membahas segala sesuatu tentang bapak ataupun saudara-saudaranya. Sibu mencoba untuk mengubur kenangan lama yang sangat menyakitkan.
Dua minggu lagi sudah bulan puasa, aku tiba-tiba ingin sekali nyekar makam bapak. Aku belum pernah ke Kedung Ombo dimana makam bapakku berada. Tidak ada bayangan dimana tempatnya, keadaannya, suasananya. Keluargaku tidak ada yang pernah mengajakku ke sana. Tapi tekatku sudah bulat, kalau honor cerpenku turun, aku akan pulang kampung.
Hari ini awal puasa, aku sahur di kereta yang mengantarku ke stasiun Balapan, Solo. Walau saat nyadran sudah lewat, aku tetep pingin ziarah ke makam bapak. Sengaja aku akan langsung ke Kedung ombo agar tidak menyusahkan hati sibu. Dari balapan aku menuju terminal bis Tirtonadi, mencari bis yang melewati daerah Kedung Ombo. Tetapi ternyata perjalanan tidak semulus yang kukira, turun bus aku masih harus ganti beberapa angkutan pedesaan.
Di depanku terhampar tempat yang luas, ranggas, air hanya sedikit ditengah waduk buatan ini. Di beberapa tempat menyembul sedikit dinding yang masih tegak, mungkin bekas dinding rumah. Suasana sepi. Hanya beberapa orang yang lewat, memandangku dari kejauhan dan kembali beraktifitas. Kusapu tempat itu dengan pandangan mataku sambil mengira-ira, di manakah rumahku dan makam bapak. Lalu kubayangkan pula saat pertama kali dicanangkan bahwa daerah ini akan digenangi air untuk dijadikan waduk. Dari yang aku dengar konon banyak demo, jerit tangis dan kesengsaraan akibat pembuatan waduk ini.Tapi apalah suara rakyat kecil, hingga kinipun suara mereka hanya gaung sesaat dan akhirnya pasrah mencari dan memaksa kreatifitas agar tetap hidup dalam arti yang sebenarnya, yaitu bernafas dan perut terisi seadanya. Di tengah perenunganku aku dikejutkan oleh suara parau dibelakangku.
“mau apa mbak kok panas-panas sendirian disini?” seorang simbok-simbok bertanya padaku. Sebenarnya mungkin usianya setara sibu, tapi ada beberapa kerut didahinya yang membuatnya lebih tua.
“Kaget saya bu, ini, saya cuma pingin tahu waduk kedung ombo itu seperti apa” jawabku.
“O,Bukan orang sini ya mbak ?”
“Bukan, kalau ibu saya dulu katanya rumahnya disini. Kalau letak sareyan di sebelah mana ya bu ? “
“Oo daerah tengah sana” katanya sambil menunjuk genangan air keruh ditengah waduk.
“Memangnya ada saudaranya yang dikubur disana ya mbak ?”
“Ayah saya” jawabku getir menahan sedih.
“ Ibumu namanya siapa ? Sopo tau aku kenal, aku dulu juga tinggal di dekat-dekat situ” jawabnya antusias.
“Bu Marni, bapak namanya Sugiono, pegawai kelurahan Sumberlawang” Kukatakan semua yang kutahu, karena hanya itu yang kutahu tentang bapak.
“o..alaah nduuukk” kata simbok itu terus memelukku..
Aku sangat kaget, kenapa nih si embok, kayak sinetron aja!. Sebentar lagi dia ngaku ibuku ni, atau dia istri tua bapak.. Lah amit-amit! Kenapa juga tadi memanggilku mbak, sekarang nduk?
“Kenapa bu, kok seperti ini ?” tanyaku penasaran.
“Oalah Gusti.., kamu ki anaknya mas Sugi!, kok wis gedhe bener, udah perawan ayu ! aku dulu tetanggaan satu tembok sama orangtuamu waktu disini..”.melihat keraguanku, simbok itu meneruskan katanya, “ Simbahmu di Sragen to ?”
“Iya, ibu kenal?” jawabku masih heran dan bingung. Bukannya menjawab, simbok itu malah memelukku semakin erat kemudian menangis. Aku biarkan dia memelukku dan menangis dipundakku sepuasnya sampai akhirnya reda sendiri dan berangsur melepaskan pelukannya seraya menjawab,
“Ya seluruh desa kenal sama Sugi sama Marni, wong orangnya baik, apalagi ibumu, ayu, grapyak, ramah. Lagian di desa kecil ini semua saling mengenal, seperti sedulur, seperti saudara, nggak kaya di kota. Kamu udah tau belum kalo kamu masih punya saudara disini..?ayo tak anterin ke rumahnya. Ceritanya sambil jalan saja.” Katanya sambil menarik tanganku, aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mengikuti saja dengan pikiran yang dipenuhi sejuta tanya. Di perjalanan aku seperti di interogasi, masih sekolahkah atau sudah menikah , punya adik tidak, sibu menikah lagi tidak, dan segudang pertanyaan lain sampai aku tidak sempat bertanya sekalipun. Rumah yang katanya masih saudaraku jaraknya sekitar lima ratus meteran dari waduk. Dibilang rumah, yaaa relative, karena RS6. Rumah Sangat Sederhana Sekali Sehingga Serba Seadanya. Di luar rumah, di dekat pintu masuk teronggok rapi kayu-kayu bakar dan ketika masuk ke dalam ada satu meja bundar kecil yang diatasnya ada kendi dan piring yang tidak kuketahui isinya karena tertutup tudung saji. Ada satu lagi perabot yaitu dipan dengan kasur yang sudah sangat tipis dan tidak ketahuan warna aslinya. Lantainya dari tanah. Tetapi perhatianku tak kubiarkan liar menyusuri rumah itu, pandanganku lebih tertuju ke simbok yang sedang duduk di lantai tanpa alas sambil mengupas singkong.
“Yu Gemi, coba aku sama siapa ini ?” kata si embok yang langsung saja menarikku nyelonong masuk rumah orang.
“Ada apa to Dar ?” jawab si embok yang dipanggil yu Gemi tadi sambil berdiri dan mengelap tangannya dengan kain yang dipakainya.
“ yang kau impikan terwujud yu ! ponakanmu .!” katanya sambil memegang kedua pundakku dari belakang.Yu Gemi diam mematung, akupun demikian…setelah beberapa detik, bu Dar pun berkata lagi,
“Sini-sini nduk duduk dekat lik sini.!” katanya sambil menarik tanganku ke dipan.
“Tak kasih tahu ya nduk, dia itu sebenarnya masih bulikmu..” katanya lebih lanjut.
“Maksud ibu ?” tanyaku heran sambil membatin, wah bener nih jadi cerita sinetron !
“Bapakmu itu kamasnya, kakaknya”
“Yang bener bu! sibu dan simbah kok tidak pernah cerita ?”
“Ceritanya panjang nduk !tapi jangan kaget ya dan yang sabar…” dia menghela nafas memandang yu Gemi, yang dipandang memalingkan muka ke onggokan singkong yang tadi dia kupas,bu Dar kelihatan tergagap kemudian berkata lagi, “eh, tapi aku punya tanggungan jemuran jagung di rumah ding, tak pulang dulu ya yu tidak ada yang mbalik-mbalik” , setelah pamit dan menyalamiku, bu Dar pulang. Suasana hening sejenak, Yu Gemimemandangiku tanpa berkedip.“Ibu sendirian ?” Tanyaku asal saja untuk memecah kesunyian dan kekakuan. Simbok itu mengangguk lalu berkata “Pakne udah lama meninggal, dan aku tidak punya anak” . “Bener yang dikatakan bu Dar tadi bu ?” tanyaku tanpa bisa lagi dibendung.
“’Apa kamu benar anaknya Yu Marni, ada tahi lalatnya di pojok bibir atas?”, tanpa mengingat-ingat langsung ku iyakan karena memang tahi lalat itu yang menjadikan ibuku tambah cantik. “Trus bapakmu Sugiono, giginya tongos ?” betul bu, jawabku lagi. Yu Gemi pelan-pelan mendekatiku dan memelukku, semakin lama semakin erat.. seperti melepas kerinduan yang lama terpendam. Aku masih belum bisa membalas pelukannya, aku masih belum bisa menerima karena semua begitu tiba-tiba.
“ Bagaimana bu ceritanya, kok saya tidak pernah dengar tentang ibu ?”
“Begini…bapak ibumu dulu itu menikah sudah 3 tahun tapi belum diberi momongan,..” Kalau cerita itu sih aku sudah tahu, batinku. tapi ,deg ! jantungku berdegup keras, wah jangan -jangan aku anak pungut, anaknya yu Marni !
“terus bagaimana bu?”aku menyela karena penasaran.
“Panggil aku bulik saja, aku kan adiknya bapakmu”
“Ya bulik“ kataku untuk menyenangkan hatinya dan agar dia segera melanjutkan ceritanya.
“Na, trus pada suatu malam pas pulang dari kondangan, di jalan yang sepi dekat lapangan sepak bola orang tuamu dicegat 2 orang yang sampai sekarang tidak diketahui siapa”
Aku mulai paham arah pembicaraannya, tetapi kutahan komentarku untuk memastikan kebenaran dugaanku.
“Bapakmu melawan, tetapi kalah dan pingsan. Terus ibumu…” bulik menghela nafas panjang dan tidak meneruskan kalimatnya, tetapi aku pahamapa maksudnya. Aku berkeringat, jadi inikah yang dimaksud simbah dengan luka sibu?
“Sebulan setelah kejadian itu ibumu hamil, bapakmu berjiwa besar, dia telaten sekali merawat ibumu yang terlihat shock, bapakmu membesarkan hatinya, mendorongnya untuk menerima kehamilan itu secara ikhlas, juga memberikan harapan siapa tahu pas kejadian malam itu sudah ada benih bapakmu di rahim ibumu. Sampai akhirnya ibumu bisa menerima kehamilannya dengan rasa syukur..” bulik menghela nafas lagi sebelum melanjutkan bercerita.
“Aku seneng sekali melihatnya nduk, mereka kelihatan bahagia sekali, seperti temanten anyar” Setelah menyelesaikan kalimatnya, mata bulik menerawang jauh.
“Hingga suatu siang, ibumu merasa akan melahirkan. Kami semua cemas menunggu akan kelahiranmu. Ibumu memilih melahirkan di rumah, aku ada dikamar ibumu membantu bu bidan. Bapakmu menunggu di luar.”
“ Lho bulik, katanya bapak meninggal karena kecelakaan disaat aku lahir ?” sanggahku.
“Oo.. cerita ibumu begitu ya ?..” katanya seperti menyesal dengan apa yang baru dikatakannya. Tetapi aku jadi penasaran karena mendengar cerita yang berbeda tentang bapakku.
“ Bulik, benarkah yang dikatakan bulik ?”
” mmmh namamu Koyosovo kan ?”Tanyanya seolah tak mendengarkan pertanyaanku.
“iya bulik “ jawabku. Sepertinya dia bener-bener tahu tentang keluargaku sampai tahu namaku yang tidak lazim untuk orang jawa. Aku ingin mendengar cerita mengenai bapak menurut versinya. Sejenak kami terdiam, tetapi sebelum aku bertanya lebih lanjut, bulik mendahuluiku bertanya,
“Pingin tahu asal namamu ?”
pucuk dicinta ulampun tiba, pikirku. “Mau banget !” sahutku antusias.
Dia memandangku, menghela nafas panjang dan mulai berbicara.
“ Namamu berkaitan dengan bapakmu, nggak papa ya nduk aku akhirnya bercerita ?, sudah kepalang basah” tanpa menunggu jawabanku dia meneruskan.
“Setelah menunggu beberapa lama, kamu lahir. Suara tangisanmu keras sekali. Mungkin mendengar suara tangisanmu, tanpa hitungan menit bapakmu langsung masuk ke kamar tempat kamu dilahirkan. Ibumu masih belum dibersihkan, masih banyak darah disekitar kaki ibumu. Bapakmu hanya melihat ibumu sekilas, kemudian matanya mencari-carimu sambil berteriak koyo sopo…koyo sopo…. seperti siapa, seperti siapa dalam bahasa jawa. Tetapi karena gigi atas bapakmu tongos sekali, jadinya terdengar seperti koyosovo, koyosovo…. Maka ibumu menamaimu koyosovo, karena itu kenangan terakhir dari bapakmu, satu-satunya kata terakhir yang dia dengar dari mulut bapakmu… “
Ooo, jadi inikah asal muasal namaku ? pantas ketika ditanya sibu slalu mengelak.., tidak mau menceritakan kegetirannya padaku, ternyata namaku punya arti sangat mendalam buat sibu,pikirku.
“Tetapi kenapa bulik bilang itu kata bapak yang terakhir ?”
“Kamu waktu kecil sudah menunjukkan kecantikanmu, sedangkan bapakmu, kamu tentu sudah pernah melihatnya di foto. Dia sesungguhnya bersabar menahan rasa penasaran selama sembilan bulan, ditambah melihat istrinya yang sangat ia cintai berdarah darah melahirkan anak, yang ternyata sama sekali tidak mirip dengannya. Sepertinya bapakmu terguncang. Bapakmu langsung keluar kamar, keluar rumah dan tidak pulang lagi” aku tercenung, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bulik memandangku, mencari kesan lalu meneruskan lagi,
“ Kami semua mencarinya sampai ke Solo, Semarang, ke rumah kerabat, kenalan, semuanya tidak ada yang mengetahuinya. Di kamar jenasah rumahsakit-rumahsakit juga tidak ada. Kami bertanya ke orang pintar katanya sudah menyeberang laut, tetapi tidak dikatakan ke pulau apa. Berbulan-bulan bahkan bertahun - tahun tetap tidak ketemu, akhirnya kami pasrah. Bapakmu sepertinya ambles bumi. Gusti maha agung, untungnya ibumu tegar tidak seperti waktu hamil muda... tetapi tiap aku tengok kerumahnya, dia selalu menangis, ingat bapakmu. Makanya aku tidak pernah ke rumahnya sampai rumah kami digenangi air waduk itu. Aku bertemu ibumu terakhir kali ketika ibumu pamitan ke Sragen, ke rumah simbahmu.
Aku tercenung dan berpikir dalam hati.“Tapi kenapa sibu dan simbah punya cerita yang lain?” Untuk memperoleh kebenaran, haruskah aku membuka luka lama mereka ? Mampukah aku mengobrak-abrik hati mereka yang telah tertata? Andai waktu itu ada test DNA, mungkin akan lain ceritanya. Tapi kalau adapun, biayanya pasti tak terjangkau kantung mereka, bahkan sekarangpun kami tak akan mampu, lagian untuk apa ? biarlah semuanya begini, kami sudah bahagia, tentram. Jika ada pertanyaan mengenai siapa bapakku, bapakku adalah orang yang menikahi sibu. Aku akan menulis cerita ini, siapa tahu bapak masih hidup dan membacanya ………………………….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H