Lihat ke Halaman Asli

Dian Chandra

Arkeolog mandiri

Sapatha dari Negeri Seberang (Prolog) || Novel Dian Chandra

Diperbarui: 7 Oktober 2023   15:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri


Vanka, awal abad ke-7

Tengah malam, di penghujung bulan Februari, tepat tatkala bulan berbentuk bulat sempurna. Seorang pendeta tua tampak khusuk merapal mantra. Di depannya berdiri kokoh sebuah candi yang di dalamnya berisi sebuah arca dewa, sedang di belakangnya duduk berbaris rapih para umat penganut aliran Waisnawa- salah satu sekte dalam agama Hindu yang memuja Dewa Wisnu. Rupa-rupanya ritual upacara juga dihadiri oleh seorang Datuk penguasa tanah seberang, bernama Dapunta Hyang.

Konon menurut kabar yang berembus Datuk dari tanah seberang dikabarkan sebagai seorang penganut ajaran Buddha. Namun, nampaknya kabar tersebut tak sepenuhnya benar. Buktinya, Datuk mau menghadiri ritual upacara kepercayaan yang berbeda dari kabar yang beredar. Bahkan, sesungguhnya ritual upacara yang tengah berlangsung ini berasal dari ide Datuk.

Semua bermula dari kemarahan Datuk tanah seberang terhadap menjamurnya serangan para lanun di perairan dan lautan sekitar Pulau Vanka dan Pulau Sumatra. Tentu saja ulah para lanun itu berhasil membuat ketakutan para pedagang yang melintasi perairan dan lautan tersebut. Terlebih, menurut sumber terpercaya para lanun bermarkas di salah satu pesisir Pulau Vanka, tepat menghadap Selat Vanka. Rupa-rupanya para lanun tak hanya menyerang daerah berair, namun juga sampai pada rumah-rumah penduduk di daratan. Beranglah Sang Datuk penguasa tanah seberang itu. Hingga dibuatlah suatu ritual upacara untuk mengukuhkan sumpah serapah dan kutuknya.

Tak lama lagi sumpah dan kutuk itu akan sempurna terlaksana. Sang Datuk menahan diri agar berucap di waktu yang tepat. Meski sesungguhnya ia masih geram dengan ulah para lanun yang saat ini tengah berlayar tepat di Selat Vanka. Dalam batinnya, ia tak ingin segala usahanya untuk menjadi penguasa darat dan lautan hancur begitu saja hanya karena ulah para lanun.

Malam semakin larut. Sayup-sayup terdengar kibasan suara dari dedaunan pohon kayu are dan pohon nyato. Semakin lama suara kibasan dari dedaunan berganti dengan hembusan kencang angin yang berhasil menggoyangkan ranting-ranting pohon, dan gugurnya dedaunan. Sementara pendeta tua mulai memusatkan pikirannya jauh lebih fokus lagi. Ia berharap Dewa Wisnu mau menerima sesajen yang telah disiapkan, berupa nasi, sirih pinang, asuk, minyak kelapa, dan beberapa burung endemik. Setelahnya ia mulai mengajak para peserta ritual untuk menari dan membunyikan bunyi-bunyian.

Usai menari, beramai-ramai mereka memakan sesajen yang telah dibagi rata. Nasi dan minyak kelapa masing-masing diletakkan dalam wadah yang berasal dari batok kelapa. Adapun sesajen lainnya ditaruh di atas bentangan daun pisang. Mereka pun makan dengan lahap. Diselingi canda dan tawa. Biasanya diikuti dengan minum-minum yang memabukkan. Adapula yang mengisi waktu dengan menampilkan lelucon berupa banyolan yang mengocok perut, tak terkecuali Datuk yang kedapatan tertawa paling kencang. Seakan-akan ia lupa akan kemarahannya dan sebab mengapa ia sampai menyeberang ke Pulau Vanka.

Cukup lama mereka saling mengakrabkan diri. Sampailah sang makudur, si pendeta tua kembali memusatkan pikirannya untuk memanggil para makhluk kahyangan yang bertugas sebagai saksi saat pembacaan sumpah serapah dan kutukan. Tiba-tiba angin bergerak semakin kencang, dingin pun mulai terasa. Para peserta ritual mau tak mau melipatkan kedua tangannya di belahan ketiak agar mendapatkan sedikit rasa hangat.

Tanpa mereka sadari, dari jauh Dewi Durga sang penjaga kutukan hadir dan menyaksikan tingkah mereka. Sang Dewi bersiap mencatat segala sumpah dan kutuk yang akan diucapkan oleh Datuk. Sementara Dewa Wisnu yang bermukim di lautan rupanya telah sedari tadi menyimak segala bentuk prosesi yang telah dilakukan.

Sang Datuk penguasa tanah seberang mulai bangkit lalu mengucap segala sumpah dan kutuknya dengan lantang dan wajah berang. Membuat siapa saja yang melihatnya akan bergidik ngeri.

"Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline