CIK ASMA DAN TIGA TARIAN HUJAN MILIKNYA
Entah siapa nama lengkapnya, tetapi orang-orang memanggilnya dengan sebutan Cik Asma. Ia gemar duduk-duduk di emperan toko, sembari menunggu hujan turun. Kadang-kadang, ia berkeliling desa. Sendirian saja dengan bertelanjang kaki. Kadang-kadang pula, ia hanya berdiri berjam-jam menatap air bandar yang tak pernah bening.
Ahh, aku ingat saat-saat pertama kali bertemu dengannya. Saat itu pagi-pagi, mendadak hujan turun sangat deras. Padahal aku sedang dalam perjalanan menuju MTsN 2 Situbondo, tempatku mengajar. Lekas kutepikan motorku ke dekat toko kelontong. Huh! Tak biasa-biasanya aku lupa membawa jas hujan. Astaga.
Setelah mendapatkan tempat berteduh, mataku liar mencari-cari apa saja yang kuanggap menarik. Salah satunya perempuan paruh baya yang pelan-pelan mendaratkan kakinya pada linangan air di trotoar jalan. Kakinya lincah menari-nari. Meski kuyup tubuhnya, sedang payudaranya kulihat mulai menerawang.
Ahh, perempuan ini sudah gila kah? Ia sungguh-sungguh tak peduli dengan tajamnya cipratan hujan. Ia terus saja menari dengan gemulai, dengan tanpa keraguan sedikit pun.
Tak hanya aku yang melihatnya, ada puluhan pasang mata yang turut berteduh melihatnya dengan berbagai macam ekspresi wajah. Entah khasian, entah bodo amat, entah tak suka, entah malah meminati tarian hujan yang ia bawakan dengan sungguh-sungguh.
Sesekali sambil melihat-lihat gawai, aku mencuri-curi pandang kepadanya. Kuhitung, ia telah membawakan tiga tarian berbeda yang sangat asing bagiku. Namun, entah mengapa tarian itu begitu memukau. Seakan-akan sebagai pelengkap dalam suasana yang dingin dan minim percakapan ini.
Aku menggeliat, mataku mulai melirik ke kiri dan ke kanan. Bak penari Bali. Namun, lekas-lekas kukontrol diri. Berharap hujan segera berhenti dan aku segera bertemu dengan murid-muridku.
"Khasian, yaa, Cik Asma. Sejak ditinggal mati anaknya dan suaminya kawin lagi, dia jadi gila begini. Setiap hari dia menunggu hujan turun."
"Kenapa begitu?"
"Kabarnya, dengan menari di bawah hujan ia akan mendapatkan kembali suaminya. Sayangnya, itu tak pernah terjadi."
Samar-samar, kudengar suatu percakapan yang membikin iba hati. Ahh, rupanya begitu.