Lihat ke Halaman Asli

Dian Chandra

Arkeolog mandiri

Di Rumah Tuan dan Nyonya Dhi pada Pukul 22.00

Diperbarui: 4 Juni 2023   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B


Episode 1: 

TIDAK ADA LEBARAN DI RUMAH TUAN DAN NYONYA DHI
 

dalam kepalanya (tuan & nyonya dhi) segala meledak-ledak
hati bergumul lumpur
sedang tungku perapian tak lagi menyala
dan ia (tuan dan nyonya dhi) mematung, masing-masing
satu di kamar, satu di ruang tamu
untuk menyimak baik-baik malam lebaran
: suara-suara takbir dari sana-sini
yang mulai melagu dalam-dalam (pada kepala tuan dan nyonya dhi)

ahh, bikinkan saja rendang pasangan (entah tuan dhi, entah nyonya dhi)
yang dipotong-potong semaumu
usai menyodorkan dosa masing-masing
....

Ini malam lebaran. Orang-orang tak lagi tarawih dan mulai sibuk dengan opor, rendang, dan ketupat. Sebagian sibuk membunyikan takbir. Sebagian lagi sibuk memilah-milah baju baru, sepatu baru, kasut baru, dan apa-apa yang baru. Ahh, sebagian di antaranya sibuk membasuh belasan toples yang kelak akan diisi oleh aneka kue, camilan, dan snack khas hari raya.

Sementara di ujung sana, tempat Tuan dan Nyonya Dhi memulai kehidupan biduk rumah tangganya, terpampang dua punggung yang saling menjauh. Satu terduduk di sofa yang baru pagi tadi dibersihkan oleh Nyonya Dhi. Dia lah Tuan Dhi, sebatang rokok bertengger di kepitan jemarinya. Sedang, di tengah-tengah kasur, tengah bergumul perempuan berumur kepala tiga dengan pikirannya yang sama jalangnya. Dia lah Nyonya Dhi. Keduanya hening. Namun, dengan kerutan di jidat masing-masing. Mungkin keduanya sedang menahan ego masing-masing.

Sementara dari dua arloji yang diletakkan begitu saja di atas rak buku berbahan baja ringan, terdengar bunyi khas yang menandakan satu jam telah berlalu. Dan keduanya tak peduli dengan bunyi laknat itu. Bahwa malam kian larut. Bahwa waktu tidur sembari saling memeluk telah tiba. Namun, keduanya masih terpaku pada posisi semula. Abai.

Sedang di luar sana, suara-suara takbir berlalu lalang. Tak ketinggalan pula suara beduk, mercon, dan kembang api. Ya, orang-orang merayakan kemenangan masing-masing. Usai mengendalikan lapar dan haus beserta dengan nafsu yang telah mereka kekang di pucuk kepala masing-masing. Kini semuanya bergembira. Lalu bersiap menyiapkan tangan kanan untuk saling berjabat tangan di keesokan harinya. Tentu, dengan hati yang lapang untuk saling memaafkan, untuk saling meminta maaf.

"Tit ... tiiit ... tiiit!" Lagi-lagi dua arloji bermerk itu serentak membunyikan diri. Pun lagi-lagi Tuan dan Nyonya Dhi masih mematung. Beruntung ketiga anak-anaknya tengah diasuh oleh ibu dan bapak keduanya. Satu anak di barat, di rumah ibu dan bapak Nyonya Dhi. Dua anak di selatan, di rumah ibu dan bapak Tuan Dhi.

Nyonya Dhi menarik napas panjang, lalu mengembuskan dengan sangat kasar. Kemudian perempuan beralis tipis itu memejamkan matanya dengan amat perlahan. Bersamaan pula dengan suara serentak dua arloji, yang sama serentaknya menunjukkan angka 22.00.

Lalu .... 

"Blush!" Nyonya Dhi tersedot ke dalam kasur. Tanpa sedikitpun suara dari mulut Nyonya Dhi hingga dia raib begitu saja. Kemudian, yang tersisa hanyalah beberapa butir air mata yang telah mendanau di atas kasur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline