Lihat ke Halaman Asli

Harbi Hanif Burdha

Menjadi Penulis adalah cita-cita saya

Cinta Berdarah Dingin #Part 4

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mencari setetes Kebahagiaan

Kini Yogi menyibukkan diri dengan melakukan hal-hal yang positif untuk menghibur dirinya yang terluka. Yogi tidak punya harapan lagi untuk tetap hidup dengan gadis idamannya itu. Yogi sudah milik orang lain. Percuma jika Yogi masih bertahan dalam lamunan angannya itu. Sudah 2 bulan lamanya Sri menolak cintanya. Walaupun bayangan nama Sri masih ada dan bersemi di hatinya.

Hari demi hari telah dilaluinya dengan sabar dan ikhlas. Sabar menerima cobaan yang diberikan Tuhan dan ikhlas dengan kehendak Tuhan. Yogi coba untuk tidak dendam dengan keputusan Sri. Karena memang itulah takdirnya. Meskipun awalnya Yogi menyesal dengan penuh emosi.

Siang itu Yogi sedang membaca sebuah buku di pelantaran kantin. Sedang asyik membaca, Yogi dikejutkan oleh suara seseorang.

“Bang. Boleh numpang duduk Bang?”, sahut suara itu. mendengar suara yang sangat merdu, Yogi pun mengalihkan pandangannya ke sumber suara tersebut. Ternyata berdiri seorang gadis cantik, badan tinggi semampai dan bergaya keibuan.

“Silahkan duduk”, jawab Yogi mempersilahkan.

Karena memang pelantaran itu di buat untuk 2-3 orang dengan jumlah pelantaran yang cukup banyak di kampus. Melihat gaya gadis itu, terlintas olehnya nama Sri yang cantik nan ayu. Semakin ia memandangi gadis disampingnya itu, semakin dekat bayangan Sri menghampirinya. Dalam hati ia bertekat,” Tidak. Aku harus bisa melupakan Sri dalam hidupku. Sudah jelas-jelas ia tidak menyayangi aku lagi”.

Sekarang Yogi ingin bangkit dari keterpurukan. Yogi pandangi gadis yang duduk disampingnya dengan sudut mata. Mana tau -dalam hatinya- gadis ini bisa menggantikan posisi Sri. Aku akan coba meskipun dengan perlahan-lahan.

Yogi sangat gugup duduk di dekat gadis itu. tapi dengan sisa-sisa keberanian, akhirnya ia sapa juga gadis disampingnya tersebut.

“Nama saya Yogi. Kamu semester berapa Dek? Baru kali ini aku melihatmu?,” kata Yogi memperkenalkan diri.

“Namaku Aini Bang. Aku baru semester 2” jawabnya dengan malu.

“Ooo. Pantasan. Sudah 3 tahun lebih aku disini, baru pertama kali aku melihat wajahmu yang cantik dan anggun ini”, gombal Yogi dengan beraninya.

Mendengar gombalan Yogi, Aini merasa sangat malu dan tersanjung. Ia merasa mendapat angin segar. Berhembus dari ubun-ubun sampai ke ulu hatinya.

“Abang bohong”, sambut Aini dengan malu-malu.

“Tidak. Abang jujur kok. Kamu memang cantik” rayu Yogi lagi.

“Abang juga tampan seperti hati Abang” kata Aini dengan gelisnya.

Kemudian mereka tertawa dan bercanda berdua. Mereka terlihat bukan seperti baru bertemu, tapi seperti sudah lama saling mengenal. Yogi dan Aini pun tidak menyangka peretemuannya akan menjadi sedekat itu, meskipun di awali dengan canda gurau.

Namun, nama Sri tidak juga bisa hilang di hati Yogi. Ia berniat akan coba menjalin hubungan persahabatan dengan Aini untuk melupakan Sri. Biarlah –dalam hatinya- persahabatannya dengan Aini mengalir seperti air. Kalau Tuhan punya kehendak, biar Dia yang mengatur segalanya.

“Dek Aini tinggal dimana? Kalau ada apa-apa, jangan sungkan memberitahukan kepadaku. Anggap aku kakakmu sendiri”, sambung Yogi.

“Aku tinggal di kosan Pak Edi. Tidak jauh dari sini. Terima kasih atas kerendahan hati Abang. Aku sangat tersanjung. Kebetulan aku juga tidak punya saudara laki-laki disini Bang”, Jawab Aini.

Mereka hanyut dalam perkenalan itu. Bahkan mereka pun sempat bertukat nomor Handphone agar lebih mudah bersilaturrahmi.

Ternyata perkenalannya memang tidak berhenti disitu. Aini sering menghubungi Yogi. Kadang Aini minta tolong untuk mengajarinya membuat tugas kuliah. Yogi pun tidak merasa keberatan membantu Aini.

14 hari setelah perkenalan itu, tanpa disadari hubungan persahabatan mereka semakin hari semakin dekat. Mereka sering diskusi di kampus dan kadang bertemu di luar kampus untuk sekedar pelepas rindu. Tapi kedekatan mereka tidak sedikitpun tercoreng oleh niat yang buruk.

Suatu hari, Yogi dan Aini bertemu di kampus. Mereka sedang asyik-asyiknya berdiskusi di pelantaran tempat mereka pertama kali bertatap muka. Tidak lama kemuadian, tiba-tiba Aini merasa pusing. “Bang. Kepalaku pusing Bang”, kadu Aini.

“Pusing? Apakah kamu sudah makan siang? kalau belum, ayo kita makan di kantin. Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu”, kata Yogi dengan gelisah.

Melihat Yogi gelisah, Aini merasa sangat terharu. Ia melihat ketulusan dari wajah Yogi. Ia merasakan sesuatu di dalam hatinya tentang Yogi. ia merasakan ini bukan lagi persahabatan, tapi sudah lebih dari itu.

“Terima kasih atas perhatian Abang. Tidak usah bang”, kata Aini terharu.

“Kalau begitu, biar aku antar saja kamu ke kosan. Aku tidak mau kamu sakit”, ajak Yogi.

“Iya Bang. Kalau Abang tidak keberatan, antarkan aku ke kosan ya”, harap Aini.

Bergegaslah Yogi menemani Aini pulang ke kosannya. Dengan mengendarai sepeda motor pemberian ayahnya, 15 menit mereka berjalan tibalah mereka di kosan itu. Alangkah terkejutnya Yogi, ternyata kosan Aini sama dengan Kosan Sri. Matanya terbelalak Seketika ia ingat dengan Sri. Namun, ia tidak ingin berlama-lama dalam lamunannnya. Ia bertekat untuk melupakan Sri dalam hidupnya.

Yogi dan Aini menjalani persahabatannya dengan indah. Tidak satupun dari mereka saling menyakiti. Kebahagian itu terpancar di wajah cantik Aini. Angannya berhasil mengobati rasa pusingnya itu. Ia hanya keletihan karena semalaman ia mencari tugas kuliahnya di Warnet.

Setelah Aini merasa agak mendingan, merekapun janjian untuk Jalan Jalan Sore(JJS) di sepanjang jalan persawah nan indah di pinggang Gunung Merapi. mereka bercerita dan canda tawa layaknya dua insan yang sedang memadu cinta.

Sepulangnya mereka berekreasi, timbullah pertanyan dari hati mereka. Hubungan apa yang sedang mereka jalani ini? Apakah ini cinta yang ditakdirkan Tuhan? Belum ada satupun janji setia yang mereka simpul. Tapi kesetian itu sudah tumbuh dari hati mereka sejak pertemuan itu.

“Bang. Aku heran saja. Kita sudah menjalin persahabatan layaknya sepasang kekasih. Aku heran. Hubungan apa yang sedang kita jalani ini Bang. Apakah ini yang namanya cinta bang?”, tanya Aini dengan malu-malu.

“Cinta itu bukan dari kata-kata Dek. Tapi dari hati. Cinta adalah kedamaian. Cinta adalah kebahagiaan. Jika kita saling menyakiti, itu bukanlah didasari cinta. Kita jalani saja dulu. Takdir tidak bisa kita elakkan. Semua sudah diatur oleh yang Maha Kuasa”, kata Yogi menenangkan mengulangi kata-kata hatinya.

Mendengar kalimat itu, Aini merasa tenang. ia sangat menikmati hari itu. Malam harinya ia merasakan kedamaian yang begitu besar. Mengisi rongga-rongga di seluruh tubuhnya. Tidak pernah ia rasakan sebelumnya perasaan itu. Bahkan malam itu ia pun tersenyum indah dalam tidurnya.

Sudah hampir 6 Bulan mereka menjalin hubungan tanpa judul. sekarang Yogi sudah masuk semester 7. Mereka saling berbagi dan menasehati. Mereka saling menyayangi dan mencintai meskipun tidak ada satu kalimatpun yang mereka Ijabkan.

***

Ia datang lagi

Kebahagian dan kedamaian itu terus mereka rasakan. Nama Sri sudah mulai menghilang dihati Yogi. Yogi tidak ingin mengingat nama Sri lagi, meskipun kadang-kadang nama itu muncul difikirannya. Ia akan berusaha memberikan cintanya untuk Aini. Meskipun tidak ada satu katapun yang mengikat ketulusan dan kesucian cinta mereka.

Suatu hari, Yogi mendapat undangan untuk menjadi pemateri dalam pelatihan acara organisasinya di daerah Dharmasraya, daerah yang meninggalkan banyak jejak sejarah Raja-raja. Jarak dari kampus ke daerah itu hampir 150 KM. Temannya yang lain juga mendapatkan undangan untuk hadir dalam pelatihan tersebut. Mereka pun pergi berombongan mengendarai mobil minibus carteran. Rombongan itu berjumlah 7 orang.

Entah kebetulan atau takdir dari yang Maha Kuasa, Yogi tidak tau. Ternyata dalam rombongan itu menyusup gadis yang selama ini mengisi hatinya sebelum Aini datang menghampiri. Yogi tertunduk lesuh melihat Sri ada dalam rombongan itu. Ia merasa sangat lemah melihat tubuh anggun itu. Tak disangka, Yogi dan Sri mendapat tempat duduk deretan paling belakang, karena di depan sudah penuh semua.

Gas mobil sudah mulai dioyak supir. Pertanda sebentar lagi mereka akan berangkat meninggalkan kampus. Check dan recheck sudah dilakukan supir untuk memastikan keselamatan perjalanan mereka. Perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan.

Namun, dibalik perjalanan yang melelahkan itu, ada sebuah perjalanan yang sangat rahasia dan penuh kenangan. Perjalanan hati antara 2 insan yang sudah lama tidak bertemu.

Dalam hati kecil, Yogi tampak terpukul dengan pertemuan yang tidak direncanakan itu. Meskipun Yogi tidak dendam, tapi rasa sakit yang digoreskan Sri masih terasa ngilu di hati kecilnya. Yogi berfikir Sri tidak menyayangi dan mencintainya. Sehingga ia tidak menoleh dan berbicara satu kalimatpun dengan Sri.

Tapi lain dengan Sri. Yogi tidak pernah tau sebenarnya yang dirasakan Sri. Diluar ia tampak tersenyum tapi didalam sangat ramuk dan rapuh. Sri sangat mencintai Yogi, walaupun dulu Sri pernah berbohong.

Sudah hampir 1 jam mereka duduk berdampingan, tapi sangat diam dan membisu. Hingga pada akhirnya Sri menyapa dengan sangat lembut, karena ada satu hal yang ingin ia sampaikan. Menyambung hati yang sudah terputus. Saat-saat seperti ini sudah lama ternyata ditunggu Sri. Tapi Yogi tidak pernah tau apa sebenarnya yang ada di benak Sri.

“Bang. Kamu sehat?sudah lama kita tidak ketemu ya Bang”, sapa Sri dengan sedikit gugup.

Disisi lain, ternyata Yogi berharap Sri yang menyapa duluan, karena Sri penah menyakiti hatinya. Memori kisah itu mucul dengan tiba-tiba. Sakit itu mulai terasa kembali. Ibaratkan luka diatas luka. Luka itu berdarah lagi. Tapi Yogi tidak mau dicap sebagai pendendam. Kebiasaan yang tidak biasa ia lakukan.

“Iya Sri. Ternyata kamu masih ingat ya denganku (tersenyum). Aku sehat Sri. Kamu bagaimana?”, jawab Yogi.

“Aku sehat Bang. Apakah Ab…” kata Sri terputus. Ternyata perkataan itu disela oleh Yogi dengan cepatnya.

“Oh ya Sri. Sebenarnya siapa laki-laki yang beruntung mendapatkan cintamu? aku belum tau siapa orangnya. Mana tau aku kenal”, sela Yogi dengan gugup.

Sri terdiam dan membisu. Perkataannya terpotong. Padahal ia tidak ingin membahas masalah kekasihnya itu. karena beberapa minggu ini, hubungan mereka sudah sangat renggang. Berkali-kali Sri minta putus dengan Kei, tapi Kei tetap saja tidak mau. Karena Sri tidak bisa lagi terlalu lama bersandiwara di depan Kei. Di dalam hatinya hanya ada Yogi.

Sri ingin sekali mengatakan tentang parasaan ia yang sebenarnya kepada Yogi. Tapi harus bagaiman lagi.

“Kei namanya Bang”, jawab Sri dengan singkatnya.

Yogi terkejut. Badannya layu seketika. Jantungnya berdetak sangat kencang. Ternyata Pria itu Kei, teman dekat Yogi. Kei satu kosan dengan Yogi. Selama ini Yogi tidak tau tentang hubungan Sri dan Kei. Kalau Yogi tau bahwa Kei kekasih Sri dari dulu, mungkin ia tidak akan pernah menyampaikan isi hatinya kepada Sri. Yogi pendam rasa itu dalam lubuk hatinya yang terdalam. Tapi nasi sudah menjadi bubur.

“Kenapa Abang bingung?apakah Abang kenal Kei?” sambung Sri.

“Oh tentu. Ia teman kosanku. Kalau aku tau dari dulu, mungkin aku tidak akan pernah menyampaikan perasaanku padamu. Aku tidak mungkin menyakiti temanku sendiri”, sambut Yogi dengan beraninya.

Ternyata kalimat itu mengiris hati Sri. Ternyata Kei adalah teman dekat Yogi. ia paksakan untuk tersenyum. Tapi hatinya hancur berkeping-keping. Sudah terlanjur ia pupuk cinta itu di bathinnya. Meskipun Yogi sudah punya nama yang lain, namun dihatinya masih tersimpan dengan kokoh nama Yogi. Walaupun Yogi sendiri tidak menyadarinya.

Sri tidak peduli lagi dengan perasaannya sendiri. Ia tidak bisa lagi menahan gejolak yang ada di bathinnya kalau ia sangat mencintai Yogi. mukanya memerah dan mulai mengalirkan air mata. Ia takurkan kepalanya ke sandaran kursi di depannya.

Melihat Sri menangis, Yogi bertanya-tanya apa sebenarnya yang terjadi. Rasanya ia tidak ada sedikitpun menyakiti hati Sri. Ia berfikir, kalau dirinyalah yang mustinya menangis. Bukan Sri.

“Sri. Kenapa kamu menangis? Adakah salahku menyampaikan kata-kata itu? maafkan aku jika telah menyakiti hatimu”, tanya Yogi melembutkan.

“Tidak Bang. Abang tidak salah. Tapi aku yang salah. Aku telah menyakiti perasaanku sendiri. Kebohonganku membuat aku menderita” jawab Sri tersedu sedu. Ia tegakkan kepalanya dari sandaran itu.

Yogi merasa heran. Kenapa -dalam hati- malah Sri yang merasa tersakiti?Aku lah yang selama ini disakiti. Apakah salah aku menilai Sri selama ini?

“Kenapa kamu merasa tersakiti oleh perasaanmu sendiri? aku tidak mengerti Sri”, heran Yogi.

Tangis itu berderai sangat kencang. Sehingga pipi mungil Sri itu dibasahi oleh aliran deras air matanya sendiri.

“Abang tidak akan pernah mengerti atas keputusanku. Abang hanya melihatku dengan mata. Bukan dengan hati. Keputusan itu aku ambil karena aku sudah punya kekasih. Tapi hatiku hanya milikmu. Aku tidak ingin menyakiti hati Kei. Dan aku tidak mampu melihat Abang kecewa” tangis Sri.

Yogi tersintak dan tercengang. Ia baru tau apa yang dirasakan Sri selama ini. Ingin rasanya Yogi membujuk Sri. Tapi Yogi tidak tau apa yang harus ia lakukan.

“Abang tidak pernah tau. Setiap hari, setiap malam aku hanya mengingat namamu. Aku telah membohongi Abang. Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku cinta kamu Bang. Aku tidak mau berbuat dosa, jika nanti aku menjadi pendamping hidup Kei tapi fikiranku tetap kepadamu. Maafkan aku” tangis Sri tersedu-sedu.

Tangisan Sri membuat Yogi terharu dan tersentuh. Ia baru tau perasaan Sri selama ini. ingin rasanya ia marah dengan sayangnya kepada Sri. Kenapa tidak dari dulu ia mengatakan sejujurnya. Kenapa Sri lebih memilih membohongi hatinya dari pada kebahagiaannya sendiri?

Seakan terjadi sebuah daya tarik menarik antara hati Sri dengan Yogi. Yogi mulai Iba melihat Sri. Yogi serasa berada di persimpangan jalan. Di satu sisi ia sudah terlanjur menaroh hati kepada Aini. Tapi disisi lain ada yang mengharap keibaannya untuk disayangi dan dicintai. Sri yang dulu pernah singgah dihatinya.

Ia rangkul Sri kepelukannya dengan rasa iba dan sayang. Ia mencoba menahan air matanya, tapi tidak bisa. Air mata kedua insan itu mengalir dengan bersamaan. Kesedihan dan pengharapan yang sangat mendalam.

Yogi juga tidak bisa membohongi hatinya. Ia sudah terlanjur mencintai Aini. Tapi Ia juga tidak mau menyakiti hati Sri. Meskipun rasa cintanya selama ini kepada Sri telah mulai hilang, rasa ibanya membuat tempat tersendiri buat Sri dihatinya. Yogi berkata dalam hati, ”aku hasrus bagaimana?Aku sudah mencintai Aini, teman kosannya. Aku tidak mau melihat Aini terluka. Tapi aku juga tidak mau Sri tersiksa oleh perasaannya sendiri”.

“Maafkan aku ya Dek Sri. Aku sudah salah menilaimu. Aku sudah terlanjur membencimu. Aku baru tau sekarang kalau kamu sangat mencintaiku”, bujuk Yogi. ia hela nafas dan ia lepaskan dengan damai.

“Tapi kini apa yang harus aku lakukan. Aku mencintai teman kosanmu sendiri, Aini. Sahabat dekatmu Sri. Aku tidak mau Aini dan kamu tersakiti. Aku cinta Aini. Tapi aku sayang kamu sebagai sahabat”, kata Yogi sambil menghapus air matanya.

“Aku tidak peduli siapa yang kamu cintai Bang. Aku tidak peduli(katanya terhenti)…Aku tidak peduli siapa yang ada di hatimu. Walaupun ada seribu nama di hatimu, tapi sisakanlah sedikit ruang untuk namaku Bang”, tangis Sri penuh pengharapan.

“Aku mohon Bang. Aku mohon…”, sembah Sri sambil melipat tangannya tanda permohonannya.

Yogi tidak tahan melihat Sri menangis dan kecewa. Ia tabahkan hatinya. Karena ia akan mengambil sebuah keputusan yang sangat berat. Keputusan yang akan menentukan masa depannya.

“Aku akan coba mencintaimu Sri. Tapi hubungan ini rahasia. Hubungan ini hanya aku, kamu dan Tuhan saja yang tahu. Karena akhir cerita ini hanya Tuhan yang akan menentukan. Aku juga sayang kamu Sri”, bujuk Yogi.

Sebenarnya keputusan itu ia ambil dengan niat agar ia bisa mengobati luka Sri. Bukan dengan berniat lebih dari itu. ia mencoba memberikan arti sebuah cinta kepada Sri. Kalau cinta itu adalah kebahagiaan. Cinta adalah kedamaian, bukan membuat seseorang tersakiti.

Sri merasa puas dan bahagia dengan keputusan Yogi. ia peluk tubuh Yogi dengan sangat kencang. Tapi Yogi memeluk Sri dengan penuh keibaan. Ia tidak mau melihat Sri tersakiti. Meskipun bukan muhrim, tapi tidak ada niat sedikitpun dalam fikiran Yogi untuk berbuat jahat. Mereka hanya sekedar berpelukan menyampaikan rindu. Biarlah tuhan –dalam renungnya- yang akan menentukan hambanya bersalah atau benar. Biarlah tuhan yang akan memberikan ganjaran dosa ataupun pahala.

Karena Yogi berfikir, alangkah berdosa dan bersalahnya ia jika membuat Sri tersakiti. Namun ia berharap kepada Tuhan, agar memaafkan kesalahannya hari ini. ia berharap Tuhan mencatat keputusannya sebagai amal. Karena tidak ada sedikitpun niat jahat terlintas di hatinya selain hanya untuk mengobati luka di hati Sri.

***

Part 4 dari 15 Part>>> Part 5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline