Kiprah PT Freeport Indonesia (PT FI) di Papua mendonasi sebuah lembaga yang bergerak di bidang advokasi HAM, yaitu YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia dan Antikekerasan) ternyata diikuti isu tak sedap. Apa yang telah dilakukan oleh PT FI itu dinilai sebagai cara halus untuk menjarah lembaga HAM di Timika. Penilaian itu dilontarkan seorang aktivis mahasiswa asal Papua, Arkhilaus Baho. Dalam blog pribadinya www.westpapua-arki.blogspot.com, Baho menulis : "...cara suap freeport memang sudah canggih. Dengan dalih bantuan, apa saja dilakukan manajemen freeport untuk menutup suara kritis." http://westpapua-arki.blogspot.com/2012/03/freeport-suap-yahamak-58-miliar.html Pekan lalu, PT Freeport Indonesia mendonasikan dana senilai Rp5,8 miliar lebih guna mendukung operasional Yahamak, dalam mengadvokasi pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya Papua. [caption id="attachment_166853" align="alignleft" width="181" caption="Mama Yosepha (mengenakan jaket)"]
[/caption] Bantuan dana senilai itu, tercantum dalam penandatanganan MoU antara PT FI yang diwakili Demianus Dimara dengan YAHAMAK yang diwakili Yosepha Alomang, di Jayapura, Jumat (2/3/2012). Dana tersebut akan digunakan YAHAMAK untuk mengelola dan mengembangkan program-programnya, antara lain untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan gerakan anti-kekerasan dalam rumah tangga. http://regional.kompas.com/read/2012/03/02/17321498/Yahamak.Terima.Bantuan.Rp.5.8.Miliar Namun kepedulian PT Freeport pada pengembangan penanganan HAM dan anti-kekerasan di Papua ternyata ditanggapi sinis oleh Arkhilaus Baho. Tokoh Pemuda dan intelektual muda asal Papua ini menulis : Memang freeport hanya mau kasi dana, dengan syarat tertentu. Mereka ( freeport ) senang kalau lembaga HAM tidak kritis praktik pelanggaran ham yang terjadi akibat operasi pertambangan di Papua. Kerjasama freeport dengan Yayasan yang di kepalai oleh penerima Nobel perdamaian ini. Yosepa Alomang, wanita Papua yang gigih membela hak asasi Papua, tak bisa lari dari jeratan maut freeport. Kekhawatiran Baho ini cukup beralasan. Karena di Tanah Papua hanya sedikit lembaga yang benar-benar intens menyuarakan pelanggaran HAM. Beberapa di antaranya adalah YAHAMAK yang dipimpin penerima Nobel Perdamaian Ny. Yosepha Alomang, atau lebih kenal dipanggi Mama Yosepha, dan satu lagi yang terkenal gigih memperjuangkan hak-hak dasar orang asli Papua adalah KNPB (Komite Nasional Papua Barat) dengan pimpinannya Buchtar Tabuni, yang sempat mendekam di penjara demi perjuangannya membela hak-hak dasar orang papua untuk merdeka. Kedua lembaga ini dikenal cukup dekat lantaran memiliki kesamaan misi perjuangan. Juli 2011, Yahamak memfasilitasi KNPB untuk menggelar jumpa pers di sekretariat Yahamak. Pada kesempatan itu, Buchtar Tabuni membacakan surat dari Pimpinan TPN OPM yang isinya menolak Konferensi Perdamaian Papua (KPP) yang diselenggarakan oleh Jaridangan Damai Papua (JDP) pimpinan Pastor Neles Tebay. Kiprah KNPB setelah dipimpin Buchtar Tabuni memang tampak kian berkibar. Aksi demi aksi telah dilakukan, mulai dari mendukung kegiatan Beny Wenda dkk di Oxford London untuk mensukseskan KTT-ILWP, mensuport Herman Wanggai dkk di Australia saat peluncuran IPWP Asia pasifik di Canberra akhir pekan lalu, menyerukan penolakan Otsus dan UP4B, menyerukan penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran HAM di Tanah Papua, dan kini KNPB sedang fokus dengan agenda REFERENDUM agar orang Papua bisa menentukan nasibnya sendiri.
Dengan 'nama besar' yang disandangnya, KNPB memang pantas diperhitungkan oleh siapapun yang berkepentingan di Papua: baik pimpinan politik (kepala daerah dan pimpinan parpol), pimpinan keamanan (TNI, Polri, TNP-OPM), maupun para pelaku ekonomi. Pertanyaannya, apakah PT Freeport telah mendonasi KNPB juga? Menurut Arkhilaus Baho, pola pemberian dana kepada YAHAMAK tidak jauh beda dengan lembaga kemanusiaa lainnya. Keuskupan Timika tahun lalu menerima sumbangan pembangunan gereja senilai 2 miliar lebih. Gara-gara dana 2 Miliar itulah, tulis Baho, ruang kritis gereja sebagai bagian dari elemen pejuang HAM tertutup habis. Tak salah kalau Yahamak dan keuskupan gereja katolik di Timika memilih tidak ambil pusing dengan masalah yang ada di freeport. Gereja lebih suka bicara masalah pemabukan dan YAMAHAK memilih jalan berjuang anti KDRT. Ini adalah suatu pelarian masalah akibat resistensi modal freeport. Baca juga : http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/06/gereja-mewah-di-atas-penderitaan-orang-papua/ Demikianpun KNPB. Sejak penembakan berkali-kali di areal freeport, pernahkah KNPB bersuara kritis untuk mengutuknya? Atau adakah suara Gereja dan YAHAMAK? Kenapa mereka diam? Lagi-lagi tulis Baho "...oh, ternyata mereka diam karena freeport sudah kepung mereka dengan cara beri bantuan, padahal sudah masuk dalam jurang suap yang di praktikkan PT. Freeport. Yah, hanya dengan suap, freeport bisa eksis walaupun keberadaannya menimbulkan malapetaka kemanusiaan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H