Lihat ke Halaman Asli

"Terimakasih, Pelacur"

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Rim... apa kamu tak kawatir dengan kelakuan istrimu akhir akhir ini??? Ia sering keluar dengan menggunakan pakaian yang membeberkan auratnya. Apalagi ia bekerja di perkantoran. Lemburpun kadang ia pulang sampai larut malam. Apa kau tak menegurnya...???”. rintih lembut suara khas ibuku menyeru di gendang telingaku. Yah ... meski sedikit menjengkelkan ketika sedang makan malam ibuku berbicara padaku seperti itu. Tapi walau bagaimanapun juga, beliau adalah ibuku. Semampuku aku akan menjawab pertanyaannya.

“Oooohhhh.... itu toh bu’... ya nanti insyaallah Halimah akan saya nasehati”.jawabku dengan agak gugup.

“Ya kalau bisa secepatnya Rim... malu sama tetangga tuh, masak menantunya Haji ‘Imron kok penampilannya seperti wanita nakal begitu”. Tegas ibuku.

“Iya bu’...”.

Memang seperti itulah keadaan keluargaku saat ini. Halimah (istriku) sering kali pulang larut malam dengan pakaian pressnya. Sikapnya sedikit berubah. Dulu saat kami masih dalam pernyataan pengantin baru, ia seorang istri yang baik. Pakaiannya pun juga islamiy. Tapi sekarang ia jadi sedikit berbeda. Hanya tingkat kesopanannya saja yang tersisa. Apa mungkin di tempat kerjanya ia salah memilih pergaulan? Atau ini salahku sebagai seorang suami yang seharusnya menjaga istrinya agar menjauhi pekerjaan yang membuatnya keluar dari rumah? Mungkin keduanya benar.

Jam menunjukkan pukul 23.00. tapi Halimah masih belum juga mengetok pintu depan rumah. Ku tunggu ia sampai mataku terkantuk kantuk. Tapi mau bagaimana lagi. Aku kan seorang suami. Harus tetap setia menanti sang permaisuri.

“Assalamu’alaikum....”.

Suara itu terdengar tak asing lagi di rumah ini. Itu suara Halimah. Tepat tengah malam ia baru pulang dari pekerjaannya.

“Wa’alaikum salam.... kok jam segini baru pulang Mah...???”.

“Iya mas... ini baru selesai bikin proposal”. Jawabnya dengan nada lemas.

Melihat keadaannya yang terseok seok kelelahan, aku tak tega untuk memberikannya sebutir penerahan yang telah di usulkan ibuku tadi. Lantas, aku dan halimah berjalan mesra menuju kemilaugerbang pintu kamar.

*****

Dalam hembusan angin dingin sepertiga akhir malam, aku mencoba menjalin hubunganku dengan Tuhan. Aku ingin meminta kelebihan kekuatan. Agar aku mampu memberikan arahan bagi permaisuriku yang tercinta. Karena sebenarnya aku ini, termasuk golongan laki laki penakut saat harus melantunkan seperangkat aliran kata.

“Yaa Allah, Ya Robbi,.. Ampunilah dosa hambamu yang lemah ini, ampuni dosa kedua orang tua hamba. Ampuni dosa-dosa istri hamba. Apunilah dia Ya Rabb. Berilah ia hidayah-Mu. Berilah ia kesanggupan untuk menjaga auratnya dari mata umum. Tapi, Walau bagaimanapun, ia tetaplah istri hamba, sekaligus tanggung jawab hamba. Jadi, ampunilah hamba, ya Rabb. Amin...”.

Do’a yang selalu kulantunkan ketika aku bangkit dari pelabuhan malam itu, terkadang mampu menarik air mataku untuk membasahi sajadah putih yang akrab denganku saat aku bertamu ke kehadirat Rabb-ku. Jangankan menangis, pingsan saja terkadang menyerangku ketika lantunkan do’a itu.

*****

Keesokan harinya, sejenak sebelum istriku berangkat ke kantor, aku menawarkan bantuan kepadanya. Semacam menawarkannya bantuan berupa antar jemput untuk hari ini. Yah, terkadang suami-istri butuh hal semacam itu.

“Mah, bagaimana kalau untuk hari ini berangkat saya antarkan, dan nanti pulangnya saya jemput juga?”. Kataku dengan penuh rasa sayang yang dihinggapi senyuman.

“Apa tidak apa apa mas? Apa tidak menyibukkan mas?”. Jawabnya sekaligus meruapak pertanyaan untukku.

“Tidak apa apa kok Mah. Lagi pula sekarangkan hari jum’at”.

“Oooohhh... iya mas, tidak apa apa kalau mas mau mengantarkan saya. Setelah sarapan, kita berangkat”.

“Oke Mah...”.

Tepat setelah sarapan, aku menunggunya di depan rumah. Yah, seperti biasanya. Ia keluar dengan pakaian semacam seragam polwan. Rok mini ditambah dengan baju yang menggambar sebagian auratnya. Tanpa jilbab. Apalagi cadar.

Dalam perjalanan yang kami tempuh dengan sepeda motor sederhana milik ayah, kami asyik bercengkrama bertukar cerita. Dan dalam suatu senggang waktu tanpa kata, aku menyampaikan beberapa arahan hidup islami kepada halimah. Sesuai permintaan ibuku tercinta.

“Mah, apa tidak apa apa, sampean mengenakan baju seperti itu di tempat kerja mamah?”. Untaian kata yang keluar dari mulutku menggambarkan sebuah pertanyaan untuk Halimah.

“Tidak apa apa kok Mas”.

“Apa tidak ada laki laki yang mencoba menggoda mamah? Apa lagi mamah ini kan termasuk wanita yang memiliki kecantikan di atas rata rata”. Sedikit rayuan. Agar Halimah tak merasa tersinggung.

“Sungguh Mas. Di kantor Imah tak ada yang mencoba menggoda Imah. Mungkin itu karena Imah memiliki suami yang gagah, tampan, dan juga pandai”. Jawaban yang sungguh melunakkan hatiku sekalikus mengundang senyumku untuknya.

“Ooohhh, syukurlah kalau begitu”.

Yahhh, seperti biasanya. Aku selalu tak pernah kuat untuk memberikan arahan kepada seseorang. Meskipun itu istriku sendiri. Memang benar kata tetangga tetanggaku. Anak pak haji ‘imron memiliki sifat yang terlalu lembut. Meskipun untuk seorang pejantan.

Sesampainya di kantor, Halimah memintaku untuk menjemputnya pulang dari kerja jam 8 malam. Akupun langsung kembali ke rumah.

*****

Tepat jam 8 malam, setelah isya’. Aku meminta izin kepada ibuku untuk menjemput Halimah.

“Bu’, saya mau menjemput Halimah sekarang”.

“Ooohh, iya Rim. Tapi, apa kau sudah menegurnya mengenai tampilannya ketika bekerja?”.

“Sudah bu’. Ya ibu’ do’akan saja supaya Halimah cepat cepat segera berubah”.

“Iya Rim. Ibu akan do’akan”.

“Ya sudah Bu’. Karim berangkat dulu. Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikum salam”.

Seusai aku mencium tangan Ibuku. Aku mulai mengendarai sepeda motorku, untuk segera menjemput Halimah.

Sesampainya di tempat kerja Halimah. Di depan gerbang sudah terlihat sosok wanita cantik jelita sedang menunggu kehadiran seseorang yang sedang ditunggu. Itu aku. Ia kelihatan sudah sangat lelah dan ingin sesegera mungkin sampai di rumah untuk lekas tidur.

“Sudah lama ya Mah menunggunya? Ma’af terlambat jemputannya”.

“Ah, tidak apa apa kok Mas. Lagi pula Imah juga yang minta dijemput jam 8”.

Kamipun lekas lekas untuk pulang. Tiba-tiba di tengah perjalanan, terlihat seorang lelaki di pinggir jalan.

“Eeehhh, Imah. Mau pulang ya, Mah...???”.

Entah siapa sesosok pria yang mengucapkan rangkaian kata yang seoalh kata itu serasa mencabik cabik dinding hatiku. Lantas, aku pun mengajukan sebuah pertanyaan untuk Halimah.

“Siapa itu, Mah?”.

“Itu mas Erwin. Dia rekanku di kantor. Tidak apa apa kok Mas. Tidak ada yang perlu di curigai”.

Meskipun begitu, aku adalah seorang suami yang berhak cemburu mengenai hal hal aneh yang menimpa sang istri. Tak mudah bagiku untuk membuang segala kecurigaanku kepada Halimah setelah aku mendengarkan suara yang mendobrak pintu hatiku yang lemah. Aku seperti merasa sangat bersalah. Tak mampu lukiskan fasion islamiy kepada permaisuriku.

Setelah sampai di rumah. Halimah langsung berjalan menuju kamar. Ia terlihat lelah dengan menampakkan raut muka wajah yang muram. Sedangkan aku, aku sesegera mungkin mengambil air wudlu untuk menenangkan jiwaku yang sedang mengalami pendarahan luar biasa. Semampu mungkin ku gelar sajadahku. Untuk kembali mengemis bantuan kepada Tuhan.

“Ya Allah, ampunilah hamba ya Allah. Ampuni hamba yang tak mampu lukiskan tema agama-Mu dalam kehidupan modern istri hamba Ya Allah. Berilah hamba ya Allah. Berilah hamba kekuatan dan kecerdasan serta keberanian untuk memberikan arahan kepada istri hamba Ya Allah. Sekali lagi, ampuni hamba Ya Allah”.

Aku tersedu sedu melantunkan bait bait do’a kepada Rabb-ku. Sungguh aku tak mampu menahan segala kesedihan dan penyesalan. Segala yang terjadi pada hari ini. Mungkin inilah sebuah teguran dari Tuhan, untuk hambanya yang lemah. Agar mau belajar untuk mengukuhkan keberanian untuk memberikan kebenaran kepada setiap yang belum benar. Untuk seorang suami yang tak memiliki keberanianmemberikan gambaran nuansa islami kepada istrinya.

Entah rasa apa yang menyelimutiku malam itu. Seperti pikiran ini kosong tak ada inspirasi hidup. Dalam desir dingin angin malam, aku mencoba pejamkan mataku dan bersihkan pikiranku dari perkara tadi malam. Meskipun keadaan hatiku masih dikatakan mengalami inveksi cemburu yang membara.

*****

Sejak kejadian jum’at malam tersebut, aku seolah olah tak akrab lagi dengan istriku. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja yang terlalu menggebu gebu.

Malam ini, tepatnya pada malam minggu. Aku meminta izin kepadda kedua orang tuaku. Aku ingin membawa Halimah keluar sebentar saja. Sambil menggandeng Halimah. Aku meminta ijin.

“Bah, bu’, . Karim minta izin keluar dengan Halimah sebentar saja”.

“Mau kemana toh Rim? Malam malam begini kok mau keluar”. Sahut abahku.

“Tidak apa apa bah. Lagi pula Karim tidak akan lama keluarnya”.

“Oh. Ya sudah kalau begitu. Hati hati di jalan!”.

“Iya bah. Karim berangkat dulu. Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikum salam”.

Di dalam perjalanan. Angin malam yang dingin menguraikan rambut Halimah yang mengipas di jalan. Kami berdua sama sama diam. Tak ada obrolan ataupun guyonan seperti biasanya. Lalu tiba tiba Halimah mengutarakan sebuah pertanyaan.

“Mau kemana toh kita ini mas?”.

“Sudahlah. Mamah diam saja dulu. Nanti juga Mamah akan tahu”. Aku menjawabya dengan tempelan senyum sedikit memalsu di wajahku.

Aku sengaja tak memberi tahu Halimah kemana kita akan memarkinkan sepeda motor compang campingku ini. Yah, aku tak ingin ia tahu kalau tujuan utamaku adalah Tempat dimana banyak wanita yang menjulurkan auratnya kemuka para mata keranjang. Orang orang menyebut tembat itu dengan nama “Cirli”.

*****

“Nah ini sudah sampai Mah”. Seruku kepada Halimah sambil memarkirkan sepeda motorku di bawah pohon mangga yang layu.

Prraaaakkkk....!!!!

Dengan mata melotot dan raut muka yang muram. Halimah menamparku.

“Lhoh, saya kok ditampar toh, Mah?”. Tanyaku sampil memasang wajah pura pura tidak tahu.

“Mas..!! apa yang mas akan lakukan pada Imah di tempat seperti ini..?? Imah ini wanita baik baik Mas...!!! Dan Imah ini tidak termasuk dari mereka yang suka menjual auratnya kepada orang yang tak mahramnya”. Ia menjawab dengan nada marah dengan wajah yang memerah.

“Begini lho Mah..!! Mamah tidak usah curiga. Saya membawa Mamah kesini hanya untuk memberi satu atau dua pertanyaan untuk Mamah”.

“Pertanyaan apa...???”.

“Apa yang Mamah rasakan saat ini...???”.

“cemburu...!!!”. ia kelihatan masih marah.

“Cemburu kenapa toh...???”.

“Bagaimana Imah tidak cemburu. Kalau suami Imah asyik memandangi aurat orang lain...!!!”.

“Lhooo.... apa selama ini Mamah tidak menyadari kecemburuan Mas yang sangat besar...???”. Pertanyaan ini sedikit membuat Halimah berpikir sejenak. Lalu ia menjawab.

“Mas, Cemburu padaku...??? Cemburu untuk apa...??? Imah bahkan tak pernah melakukan sesuatu yang sama seperti apa yang Mas lakukan padaku untuk saat ini”.

“Begini Mah, Kalau Mamah tak ingin Mas melihat aurat wanita lain. Mas mohon, agar Mamah tak memperlihatkan aurat Mamahke muka umum. Itu akan membuat Mas cemburu. Seperti yang Mamah lakukan pada malam kemarin. Itu akan membuat laki-laki lain terpancing nafsunya. Dan mencoba menggoda Mamah. Dan pada ujung ujungnya hal itu akan membuat perasaan Mas bergelantungan di atas garis kecemburuan yang mendalam”.

Penjelasanku kali ini membuat Halimah terdiam dan menangis sesaat. Ia merasa sangat menyesal dengan apa yang telah ia perbuat selama ini. Dengan air mata yang mencair dari kedua bola matanya yang mulai memerah. Ia memelukku sambil mengatakan.

“Ma’afkan Imah Mas...!!! Selama ini Imah khilaf. Halimah tak mampu bahagiakan Mas. Imah malah selalu membuat Mas cemburu dan merasa malu memiliki istri seperti Imah ini”.

“Tidak apa apa Mah. Yang penting jangan di ulangi lagi ya...!!!”.

“Iya Mas...”.

Halimah mengutarakan kalimat itu dengan tulus dan merasa sangat bersalah. Semenjak malam itu, Halimah menjadi seorang istri yang solihah. Penampilannya ketika bekerja pun sekarang selalu bertema islamiy. Semuanya tertutup dengan dihiasi jilbab menawan menutupi rambutnya. Yah... semua ini berkat para pelacur pelacur itu. Maka, jangan salahkan jika aku mengucapkan, “Terimakasih, Pelacur”.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline