saya sedang senang memandang wajahmu yang cemerlang bagai orang gila yang mendapati kesadaran yang paling cantik dalam wajah yang paling rindang
di kedai kopi, kita memesan dua variasi
kau memilih kopi latte, karena menurutmu kopi latte melahirkan ide ide dari rahim langit sore
saya memesan capucino, karena saya masih mencintai pahit yang paling usang dan panas yang paling kuno.
lalu pelayan mencatat apa yang kita pesan, mencatat dengan jari yang liat dan tatapan yang tajam
bulan yang setengah pualam menyambut langit malam yang datang di bangku ketiga
ia memanggil pelayan, ingin memesan kopi juga. ingin merasakan bagaimana rasanya terjaga dengan sepasang orang yang ia cinta.
saya mau kopi apa ya? katanya bertanya entah kepada siapa
saya mau kopi yang paling tepat, yang membuat malam-malam saya menetap. kira-kira dari kriteria yang saya gambarkan, kopi apa yang kira kira bisa membuat mata saya gelagapan?mata saya berkeliaran?.
pelayan itu dengan lancang menampar wajahmu, memaksamu menjatuhkan bulir air mata yang paling biru.
kopi biru adalah kopi baru yang ampasnya terbuat dari ampas rindu, yang kepul asapnya terbuat dari manis wajahmu.
yang pahit rasanya terbuat dari pahit masa lalumu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H