[caption caption="Pekerja dengan down syndrome (Sumber: writestartinternational.com)"][/caption]Tahukah Anda bahwa setiap 21 Maret diperingati sebagai Hari Down Syndrome Sedunia? Peringatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran publik akan down syndrome. Down syndrome menimpa satu di antara 700 kelahiran hidup atau 1 di antara 800-1.000 kelahiran bayi. Diperkirakan saat ini terdapat empat juta penderita down syndrome di seluruh dunia, dan 300 ribu kasusnya terjadi di Indonesia (angka yang cukup besar bukan?).
Down syndrome (DS) dapat diartikan sebuah kondisi bawaan akibat terjadinya trisomi21 yang mengakibatkan terjadinya kelebihan jumlah kromosom 21. Kelainan kromosom dapat disebabkan akibat adanya proses translocation (kromosom yang mengalami kerusakan melekat atau berpindah pada kromosom lain) dan mosaicims. Namun, penyebab terjadinya DS sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Dalam beberapa jurnal disebutkan bahwa penyebab DS diakibatkan adanya kurangnya yodium saat proses perkembangan janin, adanya faktor genetik (bawaan), dan akibat usia orang tua terlalu tua atau terlalu dini. Rata-rata penderita DS memiliki IQ di bawah 70 sehingga seringkali mengalami gangguan adaptif perilaku. Namun, hambatan kecerdasan tersebut terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sedang atau rendah sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa penderita DS mampu bersekolah di sekolah umum.
Saat ini kehidupan penyandang DS di Indonesia rentan terhadap diskriminasi akibat minimnya informasi penyakit, pengobatan, pendidikan, akses publik, dan terutama adalah peluang kerja penyandang DS sangatlah terbatas.
Dari segi pendidikan pendidikan, jumlah SLB di Indonesia kurang dari 1% (jumlah SLB hanya 1.312 sekolah dari 170.891 sekolah biasa). Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif, praktiknya cenderung dipaksakan. Banyak sekolah inklusif tanpa guru khusus pendamping anak berkebutuhan khusus, belum lagi masalah kurikulum yang jauh dari kata sempurna ( Irwanto, 2006). Hasil sensus penduduk 2010, dari 237 juta penduduk Indonesia, jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah (5-18 tahun) ada 355.859 anak. Dari jumlah itu, 74,6 persen belum memperoleh layanan pendidikan.
Segi pekerjaan, kesempatan kerja bagi disabilitas (DS termasuk di dalamnya) masih rendah, Menurut ILO dari 24 juta orang penyandang disabilitas baru sekitar 11 juta orang yang tercatat memiliki pekerjaan (2010). Padahal, kewajiban tiap perusahaan untuk menyerap 1% pekerja disabilitas termasuk DS sudah diatur pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.: 01.KP.01.15.2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Perusahaan (dikutip dari http://www.hukumonline.com/).
Selain itu,belum rampungnya rancangan undang-undang (RUU) Penyandang Disabilitas yang akan menggantikan Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, dengan merujuk UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas (Pahlevi, 2016) kian mempersulit realisasi penyerapan tenaga kerja disabilitas.
Semoga pemerintah segera dapat menciptakan peluang yang sama bagi penyadang DS dan penderita disabilitas lainnya. Kelak, setiap perusahaan punya minimal satu pegawai dari penyandang disabilitas yang memenuhi syarat dan kualifikasi per 100 pekerjanya dan terlebih, kelak setiap kecamatan memiliki pusat pendidikan inklusi dengan kurikulum yang lebih spesifik. Yah, tentu saja perubahan dimulai dari kita sendiri, ubah sudut pandang, stop diskriminasi dan beri kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas (amin).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H