Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Ibuku Tidak Gila!

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama : Hapsari Adiningrum

Nomor : 489


Ibu, aku sangat bahagia sekarang ini. Di masa senjamu aku bisa menemani dan berbakti kepadamu. Memandikanmu dan menyisir rambutmu yang berwarna putih yang panjang dan terkadang rontok di sisir karena rapuh. Aku usap wajahmu yang tampak keriput di daerah mata dan pipi. Aku bubuhkan sedikit bedak dan lipstik agar wajahmu tidak terlihat terlalu pucat. Ibu, kau masih tetap terlihat cantik dengan wajah tirus dan bibir mungil itu. Tetapi selama lima tahun ini, bibir itu tidak pernah seharipun menyunggingkan senyum dan wajahmu masih saja terlihat datar. Ah, hatiku semakin perih jika menatap matamu yang kosong dan selalu menerawang jauh. Ibu, lihatlah ada aku disini. Putrimu yang selalu ada dan tetap mencintaimu sampai kapanpun. Mencintaimu, apapun keadaanmu bu...

***

Ibu, aku masih ingat di saat aku berumur 10 tahun, kau datang dengan membawa banyak mainan dan baju-baju yang sangat indah. Boneka Barbie yang kau berikan padaku membuat iri teman-teman sekampung. Sungguh, saat itu yang punya boneka dengan tubuh tinggi dan langsing itu hanya aku. Dan baju-baju yang mahal serta sangat halus bahannya membuat decak kagum dan setiap temanku ingin menyentuh dan memakainya. Ah, ibu aku sangat senang sekali menerima hadiah-hadiah yang kau bawa. Lalu aku juga ingat, saat itu aku baru pertama kalinya merasakan nikmatnya permen coklat. Di kampung ini tidak ada yang menjual permen seenak yang kau berikan. Di warung-warung jika aku beli permen coklat rasanya pahit dan sangat keras. Permen coklat yang kau bawa sungguh harum bu, rasanya lumer di mulut dan saat ku bagikan dengan teman-teman mereka sangat girang. Kata mereka, kau adalah ibu yang paling kaya dan paling baik sedunia. Ah, aku tersenyum bangga mendengarnya. Aku beruntung memiliki ibu sepertimu.

Ibu, mengapa hanya sebentar saja kau berada di tengah-tengah kami, padahal ayah, aku dan nenek masih sangat rindu kepadamu. Setiap hari kami mendengar engkau bercerita tentang megahnya kota di belahan dunia sana. Gedung-gedung menjulang tinggi, mobil-mobil mewah nan canggih memadati jalan yang terdengar sangat asing saat kau menyebutnya. Ibu, engkau berangan-angan suatu saat bisa mengajakku ke sana. Menjejakkan kaki di sebuah negara dengan jarak 9 jam dengan pesawat terbang. Mataku membesar dan mulutku terbuka tak percaya dengan apa yang ku dengar. 9 jam dengan menaikki pesawat itu jarak yang kau tempuh demi kami. Ah, betapa jarak yang kau tempuh sungguh jauh bu...

Ibu, dan saat perpisahan itupun kembali tiba. Walaupun aku sudah pernah mengalaminya tapi setiap perpisahan selalu membawa kesedihan di malam-malam panjangku. Aku sampai tidak bisa tidur selama seminggu, selalu menangis karena merindukanmu. Lalu nenek dan ayah akan datang dan memeluk serta mengelus rambutku. Nenek dengan suara bergetar akan berkata “ Nduk, cah ayu jangan menangis ya, nanti ibumu juga akan sedih, kau doakan ibu dan rajinlah belajar seperti pesan ibumu”. Aku mengusap air mata dan tak mau bersedih, jika itu juga membuatmu bersedih. Bu, aku akan selalu ingat pesanmu. Aku akan selalu rajin belajar, jadi anak pintar dan membanggakanmu nanti. Lalu selama dua tahun aku akan mengisi hari-hariku bersama nenek, ayah dan teman-teman. Aku menyibukkan diri agar tidak terlalu.


merindukanmu. Selama seminggu atau dua minggu sekali kau akan menelepon, memberikan kabar kepada kami. Suaramu menjadi obat rindu dan pelipur laraku. Waktu itu, di kampung ini hanya orang-orang kaya saja yang memiliki telepon seluler seperti yang kau berikan. Ibu, sungguh pemberianmu kepada kami tak dapat kami hitung dengan jari. Uang sekolahku, uang belanja sehari-hari untuk kami dan membangun rumah ini kau yang memberikannya. Bahkan ketika ayah ingin membuka usaha bengkel motor, engkau dengan senang hati mengirimkan uang kepada ayah sebagai modal. Ah, ibu setiap tetes dan air mata yang kau keluarkan semoga menjadi ladang pahala...

Ibu, saat usiaku menginjak remaja, aku mulai mendengar selentingan tentang keluarga kita. Tetangga selalu menatapku iba bila aku berpapasan dengan mereka. Saat dari kejauhan mereka berbisik-bisik sambil menatapku penuh belas kasihan. Ah, aku kadang risih melihat tatapan mata mereka. Ibu, walau aku dibesarkan tanpa kasih sayangmu tapi aku tumbuh dengan baik. Nenek dan ayah sangat memperhatikan kebutuhanku dan cintamu tetap aku rasakan. Doamu dari jauh yang selalu menjagaku. Ibu, aku semakin lama semakin muak dengan penduduk di kampung ini. Mereka menyebarkan fitnah jika ayah telah berselingkuh. Kabar itu aku dengar tanpa sengaja saat aku lewat di depan warung Bu Ramli. Ayah telah selingkuh dengan janda di kampung sebelah. Aku berlari sambil menangis. Aku teriak memanggil nenek dan menangis di pangkuannya. Saat tangisku mulai reda, aku menanyakan kebenaran kabar yang aku terima. Nenek hanya terdiam, bibirnya bergetar dan matanya mulai memerah. Lalu kulihat secepat kilat nenek berusaha menghapus air mata yang akan tumpah di pipinya yang sudah keriput. Ah, nenek juga menangis. Perempuan tua itu merasakan kesedihan seperti yang aku rasakan. Jadi, apakah memang benar kabar yang aku dengar baru saja...

Ibu, setiap kali engkau menelpon aku selalu ingin menceritakan kabar tentang ayah. Tapi nenek melarang karena tidak ingin membuatmu menjadi tertekan. Lalu saat ibu mencari ayah, aku terpaksa berbohong jika ayah masih bekerja di bengkel. Tidak bisa ditinggal karena banyak pelanggan. Bengkel? Entah bengkel yang mana tempat usaha ayah, aku sendiri belum pernah melihatnya. Maafkan aku bu, sungguh maafkanlah aku yang telah berbohong kepadamu. Sebenarnya ayah sudah jarang di rumah lagi. Entah tidur di mana saat malam tiba dan entah bangun dan makan dimana saat pagi tiba. Lalu suatu hari setelah pulang sekolah, aku melihat motor ayah di depan rumah. aku berlari dan sangat rindu kepada ayah. Tapi belum juga aku masuk kedalam rumah, aku melihat ayah marah-marah dan melempar uang ke arah nenek. Ayah mengancam nenek agar tidak memberitahukan perbuatannya yang telah selingkuh kepada ibu. Bahu nenek terguncang-guncang menahan amarah dan sedih. Aku segera berlari memeluk nenek. Ayah hanya melengos ketika melihatku dan bergegas keluar dan membawa kabur motornya secepat kilat. Ah ibu, aku sungguh marah dan sakit hati melihat tingkah laku ayah. Ingin rasanya membongkar kejahatannya yang telah mengkhianati ibu.

Ibu sayang, saat aku mendengar berita kepulanganmu aku sungguh bahagia. Aku bisa memelukmu saat tidur dan mendengar suaramu saat menyanyikan lagu jawa dandang gula sebagai pengantar tidurku. Walau aku sudah remaja aku masih sangat suka dan lagu itu membuatku nyaman saat tidur. Berita kepulanganmu juga membuatku gelisah. Apa yang harus kukatakan nantinya tentang ayah. Segala perasaan bercampur aduk di hatiku. Nenek yang semakin tua dan lemah hanya bergumam lirih “ semoga ibumu kuat dan tabah menerimanya ya Nduk...”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline