Lihat ke Halaman Asli

Sputnik

A nameless

Merayakan Kartini sebagai Bangsawan Pikiran

Diperbarui: 11 Juni 2018   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas Regional

"Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh".

Begitulah bunyi kutipan di salah satu surat Kartini yang ia kirimkan untuk sahabatnya Estelle Zeehandelaar seperti tertulis di dalam buku Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Merayakan salah satu pahlawan wanita pertama-tama yang begitu banyak menaruh perhatian terhadap nasib sesamanya, terutama kaum wanita, sudah seperti ritual rutin tahunan yang kita lakukan. 

Namun, sudah tepatkah kita merayakannya? Apa yang sebenarnya kita rayakan dari sosok wanita terpelajar pertama-tama bangsa kita ini? Acapkali yang kita rayakan tidaklah lebih dari seremonial yang sesungguhnya mengkerdilkan jasa-jasa Kartini. Ia hanya diingat sebagai sebuah nama dan juga simbol yang dikultuskan dari kemajuan wanita pada zamannya.

Padahal, seperti yang Pramoedya katakan, ia adalah keluarbiasaan yang hadir pada zamannya, justru karena ia adalah sosok manusia biasa, yang penggambaran mistikal akan dirinya sebagai sosok layaknya dewa di kahyangan justru menutupi segala kemegahan perjuangannya sebagai sosok wanita biasa. Memang sebenarnya tidaklah tepat untuk mengatakannya sebagai wanita biasa, karena pada dasarnya pun ia dilahirkan dari lingkungan keluarga terpandang. 

Namun bukanlah status sosial yang ia sandang yang menjadikannya sosok wanita luar biasa, tapi buah pemikirannya, perhatiannya kepada sesamanya, dan juga cinta kasihnya terhadap sebangsanya yang menjadikannya luar biasa. Panggil Aku Kartini Saja, itulah kutipan dari salah satu surat yang ditulis oleh Kartini sendiri yang menunjukan keengganannya untuk dipandang sebagai sosok manusia yang lebih tinggi dari sebangsanya, meskipun sebenarnya ia memiliki hak untuk menunjukan nama kebesaran Raden Ayu sebagai seorang keturunan bangsawan.

Abdul Rivai pernah menyebut bahwa ada dua golongan bangsawan di zaman modern ini yaitu: bangsawan usul dan bangsawan pikiran. Bangsawan usul tentu saja mudah dipahami sebagai bangsawan yang didapatkan seseorang dari keturunan. Bila pada suatu masa di zaman dahulu nenek moyang kita karena suatu kebetulan tergolong sebagai bangsawan, maka keturunannya pun akan menjadi bangsawan. Namun, zaman modern telah datang dan menggeser ukuran peradaban. 

Bangsawan usul tidak lagi menjadi sebuah ketetapan mutlak yang menjadikan manusia lain lebih tinggi dari sesamanya hanya dikarenakan keturunan. Ada namanya yang disebut sebagai bangsawan pikiran. Ilmu pengetahuan telah memungkinkan setiap manusia yang maju dan berkeinginan untuk maju dengan ilmu pengetahuannya menjadi seorang yang berperadaban tinggi. Dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya ia bisa "diukur sama panjang dan ditimbang sama berat" dengan manusia lainnya. 

Kartini adalah sintesis dari seorang bangsawan usul sekaligus seorang bangsawan pikiran karena pada masanya hanya golongan bangsawan sajalah yang mampu mendapatkan pendidikan. Namun akan lebih tepat sekiranya apabila ia lebih diingat sebagai seorang bangsawan pikiran. Tidak lain karena dari setiap usaha yang ia lakukan untuk memajukan dan memperjuangkan nasib sebangsanya adalah sebagai hasil dari buah pikirnya dan perenungannya terhadap nasib sebangsanya yang masih terkungkung dalam kekerdilan akibat budaya feodalisme bangsawan Jawa.

Kecintaannya akan ilmu pengetahuan dan keterbukaan pikirannya telah mendorongnya menjadi seorang wanita utama yang melahirkan keinginan luhur untuk mencerdaskan sebangsanya. Rasa kemanusiaannya mendorongnya untuk berbuat sesuatu untuk sebangsanya, "bekerja buat kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan rakyat Pribumi, pendeknya menjadi berarti bagi masyarakat, bekerja untuk keabadian". Baginya, pendidikan adalah jalan yang harus ditempuh apabila ia ingin melihat sebangsanya memiliki persamaan dan kesetaraan dengan sesama manusia lainnya. 

Hanya dengan pendidikan manusia bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain. Ia adalah seorang salah seorang wanita terpelajar yang menjunjung asas demokrasi, terlihat dari sikapnya yang ingin memunggungi ketidakadilan akibat dari budaya feodalisme Jawa. Kartini percaya bahwa pendidikan adalah hak setiap manusia dan harus digunakan untuk kebaikan seluruh umat manusia, bukan hanya segolongan saja. 

Ia memiliki keprihatinan bahwa pada zamannya, wanita-wanita Jawa yang dari golongan menengah keatas malah memiliki keterbatasan gerak dibanding rakyat jelata yang terbiasa bekerja di ladang atau pun di sawah dengan suaminya. Baginya, tak ada gunanya mendapatkan sekelumit pendidikan jika untuk berbuat suatu upaya untuk kepentingan sebangsanya saja ia tidak bisa, untuk apa pendidikan dan ilmu yang tak seberapa ia peroleh itu kalau tetap harus hidup dalam kungkungan pingitan? Dalam hal inilah dorongan moralnya meronta, menginginkan masa depan yang lebih bebas dari segala pengekangan terhadap segala kemajuan yang tidak bisa ia dapatkan namun selalu ia cita-citakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline