Lihat ke Halaman Asli

Memaknai Kembali ‘Enterpreneurship’!

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Betapa seringnya kita mendengar kata “enterpreneurship” dari berbagai kalangan, biasanya pejabat pemerintah yang menginginkan agar masyarakatnya (terutama kaum muda) hidup mandiri, berjiwa wiraswasta yang rajin bekerja-keras dan kreatif dan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah atau Negara.

Ajakan untuk ber-“entrepreneurship” dari pihak pemerintah memang tepat seiring dengan jalurekonomi yang ditempuhnya, yaitu neoliberalisme. Ini adalah kebijakan ekonomi yang menginginkan agar Negara (pemerintah) tak lagi memerankan tugasnya untuk memberikan perlindungan pada rakyatnya.Tindakan yang ditempuh, misalnya, adalah mencabut subsidi. Kenapa itu dilakukan? Alasan kaum neoliberalis: kalau rakyat disubsidi terus, lha kapan majunya, kapan mereka mau berusaha dan tidak terus bergantung pada (subsidi atau bantuan) pemerintah?

Selalu ditekankan (tapi tampaknya hanya diteriakkan dan tanpa tindakan) agar kaum muda menjadi entrepreneur. Dan belakangan dilontarkan pula gerakan “industri kreatif” yang berbasis padapembuatan produk-produk yang mengandung unsure keindahan dan kearifan local. Buru-buru slogan ini jugaikut menyebar terutama melalui mulut para seniman, terutama artis-selebritis kita.

Memang, bangsa ini butuh jiwa entrepreneurship karena selama ini lebih banyak orang yang hanya ingin cepat mendapatkan penghasilan dengan cara masuk ke sector produksi atau kegiatan yang melibatkan banyak orang yang berhubungan untuk memproduksi sesuatu lalu membangun sistem pendapatan darinya. Ketika sistem itu sendiri, terutama hubungan industrial atau hubungan kerja secara tetap telah dihilangkan (oleh sistem kontrak dan outsorcing), maka banyak pekerja atau karyawan yang di-PHK atau menganggur tanpa mendapatkan pekerjaan tetap, terutama akibat krisis ekonomi yang ada. Hubungan kerja semacam ini memang membuat karyawan tergantung pada upah majikan, diferensiasi pekerjaan dan sektor produktif, pemasaran, dan jasa juga menjadi rendah.

Karena itulah neoliberalisme dengan sistem kerja-kontrak, outsorcing dan perampingan karyawan juga harus ikut menyerukan agar kaum muda harus bisa mandiri. Seruan ini juga diamini sector pemerintah yang tak mau melihat banyak pengangguran karena kalau itu terjadi pemerintahan yang berkuasa akan dianggap gagal. Tak heran jika kampanye yang selalu didengungkan oleh mereka adalah: “Kalau bisa jangan mencari kerja, tapi ciptakanlah lapangan kerja”.

Tentu tidak ada yang salah dengan ungkapan itu secara sekilas, terutama jika kita tidak melihat masyarakat sebagai suatu hubungan antara kekuatan-kekuatan produksi yang saling mempengaruhi. Kemandirian bukanlah berarti bahwa seorang bisa hidup mandiri tanpa berhubungan dengan orang lain, kan? Otonomi bukan berarti bahwa otonomi suatu hal (misalnya kita sebagai individu yang otonom) dapat lepas dari hubungan dengan orang lain, kan? Ambil contoh aja misalnya Otonomi Kampus. Mampukah kampus otonom dalam makna bahwa iabenar-benar membiayai kegiatannya sendiri? Ternyata otonomi kampus justru menimbulkan tindakan para birokrasi kampus (terutama pengambil kebijakan kampus) untuk berhubungan dengan para calon-calon mahasiswa yang akan kuliah di kampusnya. Dalam berhubungan ini ada kepentingan, yaitu bagaimana agaryang masuk adalah mahasiswa yang berasal dari kalangan orang-orang kaya, yang tidak pintar dan tidak kritis, yang akan bisa dimintai uang dalam jumlah besar sebagai kompensasi belajar di kampus yang mengaku otonom itu.

Jadi otonomi itu adalah kualitas diri atau suatu keberadaan benda, manusia, atau lembaga, dan bukannya suatu hal yang tidak berhubungan dengan yang lainnya. Jadi tetap saja ada hubungan dengan orang lain, saling memberi dan menerima, saling membentuk dan seharusnya mendukung. Jadi tidak ada suatu individu-individu yang dianggap akan memperjuangkan nasibnya sendiri-sendiri, dan atas nama Enterpreneurship mereka tak lagi diurusi.

Entrepreneurship adalah kualitas mental dan watak yang bekerja keras, tanggap pada keadaan, memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mennghadapi sesuatu dan menciptakan sesuatu. Katakanlah hidup adalah sebuah dunia yang material, maka seorang yang tangguh adalah orang yang memahami bagaimana keberadaan dunia itu dan keterkaitannya, lalau bagaimana yang ada itu direka ulang dengan bantaun ketrampilan dan alat, diubahmenjadi seuatu yang berguna—yang bisa menghasilkan suatu produk atau jasa untuk “dijual” dan sebagai kompensasinya mendapatkan uang (pendapatan).

Nah persoalannya tanggungjawab siapa untuk melengkapi atau meningkatkan watak atau kualitas entrepreneurship itu? Kalau bukan tugas Negara, lalu siapa? Tugas masing-masing? Tugas pemodal (industrialis) yang besar-besar yang jumlahnya hanya segelintiritu (konglomerat) yang katakanlah kadang memberi bantuan pada anak pintar berupa beasiswa meskipun itupun tak akan menyentuh semuanya.

Yang jelas, jiwa entrepreneurship itu didukung oleh beberapa syarat. Pertama, pengetahuan; kedua, ketrampilan; ketiga, alat (teknologi yang memudahkan berfikir dan bekerja).

Yang pertama dan kedua (pengetahuan dan ketrampilan) didapat dari pendidikan dan pelatihan (diklat). Siapakah yang akan memberikannya?

Yang ketiga soal kepemilikan, karena alat berupa teknologi itu pastilah didapat dari membeli. Ketika Negara tak menciptakan alat dan teknologi gratis dan massal atau tidak menyubsidi harga, pasti hanya sedikit orang yang mampu mendapatkannya karena di tangan kapitalis (pemodal) alat itu diciptakan untuk mendapatkan keuntungan.

Lalu, katakanlah sudah ada pengetahuan, ketrampilan, alat, teknologi dan perlengkapannya, apakah sudah cukup? Tergantung, kalau hanya untuk menciptakan sedikit dan untuk diri sendiri, bisa jadi, asal ada bahannya (bahan baku)—karena proses produksi (menghasilkan sesuatu yang berguna) membutuhkan bahan mentah yang akan diolah jadi hal yang siap konsumsi. Kalau kosumsi sendiri tentu tak perlu banyak bahan. Kalau ingin menciptakan lapangan kerja dan memproduksi banyak agar bisa dijual dan mendapatkan keuntungan? Harus membuat banyak berarti butuh modal banyak.

Maka inilah kebutuhan yang penting lainnya: Modal! Sudahkan pemerintah memberikan akses modal, ya kalau bisa modal dengan bunga kecil sekali?

Jadi itulah yang ingin saya diskusikan, ternyata bicara meningkatkan entrepreneurship itu cukup kompleks, tidak sederhana. Nah, kalau ia hanya dilakukan dengan lepas tanggungjawab pemerintah dalam menciptakannya, kayaknya sulit dilakukan.

Kreatifitas bangsa ini amatlah rendah, karena itulah terus tertinggal. Industri kreatif seperti lagu-lagu, buku, produks seni dan pikiran lainnya? Ternyata banyak jiplakandan kualitasnya rendah. Di bidang hiburan saja, lihatlah acara-acara TV, hamper semuanya meniru acara TV luar negeri, terutama Amerika Serikat (AS). Ketika ada American Idols, muncul Indonesian Idols, dll, dll. Yang belakangan misalnya, ketika ada acara di AS, American Gets Talent, langsung ditirukan “Indonesia Mencari Bakat”. Ketika ada “One Versus One Hundred”, muncul “Satu Lawan Seratus!”.

Mental meniru, imitatif, mental penakut, mudah menyerah, pasrah, dll…. Itu semua sulit untuk mewujudkan ‘strong entrepreneurship’ di Negara kita. Apalagi Negara (pemerintah) mau lepas tangan!

Dan mereka malah korupsi. Rakyat diajari mandiri dan tak usah diberi subsidi, tetapi mereka malah merampok kekayaan Negara. Ironic, isn’t it?***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline