Lihat ke Halaman Asli

Pemukiman Liar dan Kebijakan yang Gagap

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Setelah beberapa saat absen dikarenakan tenggelam oleh hiruk-pikuk pesta demokrasi, isue dan tindakan penggusuran pemukiman liar kembali menyeruak ke permukaan. Setelah Jakarta yang dinilai “sukses”, giliran Pemkot Surabaya melakukan penertiban (penggusuran) pemukiman yang dianggap liar. Setelah mengalami dua kali penundaan eksekusi, yakni yang pertama pada awal tahun 2008 dan kemudianpada bulan Juni2008, sekitar 380 bangunan (rumah) yang berderet memanjang mulai dari Pintu Air Jagir hingga Jembatan Nginden berhasil di luluhlantakkan oleh Pemkot Surabaya. Dengan bantuan keamanan dari petugas gabungan yang berasal dari Kepolisian, Satpol PP, dan petugas dari Bakesbang Linmas, perlawanan dari warga seperti tak ada artinya sama sekali. Meskipun penolakan datang dari berbagai kalangan, Pemkot tak bergeming dari sikapnya. Alasan Pemkot sealalu sama, bahwa bangunan tersebut ilegal karena menempati tanah milik negara tanpa ijin. Warga menganggap tindakan Pemkot ini merupakan bentuk ketidakadilan karenadalam persepsi mereka, telah membayaratau lebih tepatnya mengganti tanah tersebut. Jadi, tanah tersebut ditempati bukan dengan Cuma-cuma namun dengan proses pembelian. Mereka juga secara rutin membayar uangkepada oknum petugas.

Pemkot berinisiatif untuk memindahkan warga korban penggusuran ini ke rumah susun (rusun) Wonorejo dan Randu Agung yang memang sengaja difungsikan untuk warga kelas menegah ke bawah, termasuk warga korban penggusuran. Di rusun Wonorejo, terdapat 144 unitflat di empat blok, yang 40 diantaranya disediakan untuk warga korban penggusuran dari Stren Kali Wonokromo. Namun sayangnya, rusun ini masih jauh dari siap untuk dihuni karena beberapa fasilitas penunjang belum tersedia dan kondisi bangunan juga masih belum selesai pengerjaanya.

Menjamurnya pemukiman kumuh (slums) dan pemukiman liar (squatter settlement) merupakan sebuah keniscayaan sebagai buah daritingkat pertumbuhan penduduk dan proses urbanisasi yang tak tekendali. Sementara di lain pihak, lahan-lahan yang tersedia tak lagi mencukupi untuk menampung ledakan pertumbuhan dan arus urbanisasi. Menurut Ismanu, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, setiap hari rata-rata ada sekitar 200 warga pendatang yang mengajukan Surat Pindah menjadi Penduduk, ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Surabaya, yang idelanya tiap hektarnya didiami oleh 75 jiwa, ternyatadidiami 87 jiwa per hektarnya. Dengan luas kota yang 29.000 hektar, idealnya, Surabaya di huni oleh 2.175.000 jiwa. Namun, Surabaya telah dihuni oleh sekitar 2.885.862 jiwa pada tahun 2008.

Karena kebanyakan dari mereka tak terserap di sektor formal, pilihannya adalah bekerja di sektor informaldalam skala kecildan dengan tingkat penghasilan yang rendah. Guna mendukung pekerjaannya, mereka menyewa rumah di bagian pusat kota yang dekat dengan mereka bekerja, sehingga pemadatan bangunan merupakan hal yang tak bisa dihindarkan. Hasil samping dari hal ini adalah terciptanya kantung-kantung pemukiman yang kumuh dan tak beraturan. Di kota terdapat pula lahan-lahan kosong milik pemerintah yang belum difungsikan. Sebagian dari mereka membuat bangunan sendiri dengan bahan-bahan yang seadanya dari lahan-lahan yang dianggap tak bertuan tersebut, dan terciptalah pemukiman liar.

Gagap Kebijakan

Pemerintah terasa gagap dalam mengantisipasi dan menangani fenomena pemukiman liar ini. Upaya preventif yang pernah diuji coba tak membuahkan hasil. Di DKI Jakarta misalnya, pada tahun 70-an, dengan Ali Sadikin sebagai gubernur, pernah berinisiatif membuat kebijakan prevenetif guna membendung arus urbanisasi yang tentu akan berakibat pula pada masalah pemukiman. Ia menerapkan aturan-aturan seperti persyaratan mempunyai pekerjaan tetap di kota, mempunyai tempat tinggal tetap, dan mempunyai KTP di kota. Manakala tak memenuhi syarat-syarat tersebut, ia akan dipulangkan ke daerah asal. Namun upaya ini kandas karenapangkal penyebab kenapa mereka menjadi masyarakat urban, tak pernah bisa diselesaikan secara tuntas, dan terjadi tindakan penyelewengan oleh pejabat-pejabat yang berwenang.

Pemerintah hanya bisa menerapkan kebijakan pemulihan (curative policies) karena pemukiman liar sudah menjamur, dengan jalan menggusur pemukiman tersebut.Landasan berpikirnya adalah bahwa pemukiman liar telah mengganggu tata kota, ilegal, dan lekat dengan citra negatif seperti kemiskinan dan tindakan kriminal. Solusinya adalah dengan menghilangkan “kekacauan” tersebut dengan jalan penggusuran. Namun, motif sebenarnya dari penggusuran tersebut ternyata bukanlah untuk mengurangi beban kota, melainkan lebih bermotifkan ekonomi. Daerah bekas penggusuran diperuntukkanuntuk proyek-proyek yang mampu mendatangkankeuntungan finansial terhadap pemerintah kota.

Solusi yang ditawarkan oleh Pemkot, adalah degan menyediakan rumah susun (rusun) bagi warga korban penggusuran. Di sinipun Pemkot kedodoran. Rusun yang dijanjikan ternyata belum jadi. Kebingungan tentunya menyergap warga karena tak tahu harus bertempat di mana. Kalaupun misalnya telah jadi, pertanyaan yang segera muncul adalah apakah mereka mampu untuk membeli rusun tersebut. Penghasilan mereka yang kecil, tak mencukupi untuk membelinya. Keterlibatan pemerintah dalam setiap pembangunan proyek-proyek, termasuk pengembangan perumahan yang semakin minim, tentunya akan berimbas pada mahalnya harga jual rusun. Dalih klasiknya, pemerintah tak cukup anggaran guna membiayai proyek-proyek pembangunan tersebut, sehingga harus menggandeng swasta dalam membiayai proyek tersebut.

Tentu terdapat perbedaan fungsi antara tugas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dengan swasta. Pemerintah berkewajiban untuk melayani dan memenuhi kebutuhan dasar warganya. Sementara swasta, murni mengejar keuntungan. Jika proyek pembangunan rusun dilakukan oleh swasta, sudah bisa ditebak, kemampuan membeli warga akan tertutup.

Masalah lainnya, rusun yang dibangun umumnya terletak di pinggiran kota. Sementara mata pencaharian mereka berada di pusat kota. Hal ini tentu tidak ekonomis karena harus mengeluarkan biaya ekstra untuk pergi ke tempat mereka bekerja. Apalagi ketiadaan dukungan transportasi yang mudah dan murah, akan menambah pengeluaran mereka, yang berarti pula mengurangi tingkat pendapatan.

Masalah penggusuran, kiranya akan tetap mewarnai perjalanan negeri kita. Pola pembangunan yang menyerahkanbegitu saja pada pasar, berimplikasi pada sikap pasifnya keterlibatan pemerintah dalam pembangunan, sehingga pasarlah yang akan lebih banyak menentukan wajah pembangunan. Sifat pasar yang agresif, akan memangsa lahan guna ekspansi modal. Dan salah satu korbannya tersebut adalahmasyarakatyang tinggal di pemukiman liar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline