Lihat ke Halaman Asli

Inerie : Perjuangan Mama-Mama di Tololela

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“ //Mama Oh mama, mama tercinta/ oh ayah, ayahku tercinta/ kepala beralaskan batu, badan beralaskan tanah/ aduh kasihan ibuku tercinta….//”

Seorang bapak dan putrinya yang berusia 27 tahun sedang bercakap-cakap di dapur menggunakan bahasa khas Nusa Tenggara Timur (NTT). Sang bapak menyatakan hendak memanggil anak laki-lakinya Belo yang sedang merantau ke luar daerah tersebut agar segera pulang. Bapak tersebut merapalkan mantra-mantra menggunakan bahasa daerah sambil memukul-mukul tungku, sedangkan anak perempuannya Maria bela mengusap kalungnya sembari membacakan doa. Kalung itu adalah peninggalan ibu mereka yang meninggal saat melahirkan mereka, saudara kembarnya juga memiliki kalung serupa. Di tempat lain Belo, saudara laki-laki yang juga merupakan saudara kembar Bela sedang bekerja di kapal. Belo mendengar lagu yang dinyanyikan oleh anak kecil yang syairnya berisi tentang kerinduan pada ayah ibunya. Belo segera memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya.

Tiba di kampungnya Tololela, Belo disambut dengan pesta. Ayahnya melakukan ritual pemanggilan kepadanya dan mempersembahkan satu ekor babi untuk pesta sekampung mereka. Belo yang berpakaian modern dibanding warga kampung lainnya turut bergabung pada pesta itu. saat menikmati makanan bersama keluarganya Belo menyatakan kerinduannya pada Bela, adiknya. Bela saat itu sedang hamil tua anak ketiga bersama suaminya Mario. Belo menanyakan mengapa Bela tidak memberinya kabar atas kehamilan tersebut dengan ekspresi khawatir.

Pada beberapa scene Belo terus menunjukkan ekspresi khawatir pada adiknya yang sedang hamil. Bela ini sebelumnya mengalami riwayat keguguran saat melahirkan, ibu dan beberapa saudara perempuan Belo juga sudah meninggal saat melahirkan bayi mereka. Ia juga mimpi buruk berkali-kali dan khawatir akan pertanda itu. Titik balik kisah ini kemudian dimulai saat Belo dan keponakannya sedang berjualan kain tenun di pasar. Ia bertemu dengan seorang ibu hamil dari desa sebelah yang sedang bersama dukun, si ibu menyatakan bahwa ia akan melahirkan di Puskesmas diantar dukun tersebut. seusai berjualan Belo menemui Bela yang sedang membuat sapu, Belo menawarkan kepada Bela untuk melahirkan di Puskesmas terdekat. Bela menolak keras dan menyatakan, orang-orang di kampung mereka pantang melahirkan keluar kampung mereka. Bela juga mencibir bahwa Belo yang tak berani nikah bisa-bisanya menyuruh soerang perempuan harus melahirkan di tempat tertentu. Kemudian Belo pergi ke Puskesmas terdekat tersebut, ia bercakap-cakap dengan dukun kader dan bidan Puskesmas, pendek kata Belo mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Pada saat pergi ke Puskesmas tersebut Belo disarankan bidan untuk bertemu kepala kampung, dan ketika ia bertemu kepala kampung dan beberapa bapak-bapak ia tidak mendapatkan simpati.

Kemudian di kampung tersebut ada seorang ibu yang melahirkan, semua laki-laki berkumpul di depan rumah si ibu tersebut sementara sang dukun bayi memberikan pertolongan. Rupanya bayi yang akan dilahirkan tersebut sungsang. Para laki-laki kemudian berembug dan berencana mengundang seorang bidan untuk memberikan kelas ibu hamil. Dari kejadian tersebut Bela tergugah hatinya untuk mengunjungi Puskesmas dengan diantar suaminya, meskipun bapaknya tidak menyetujuinya. Bela tiba di Puskesmas yang berjarak tempuh sekitar setengah hari dari kampungnya, setelah diperiksa ia mengalami anemia dan disarankan dirawat sementara di Puskesmas. Tetapi suami Bela menolak. Hingga tiba masa melahirkan bagi Bela, ia ditolong oleh seorang dukun. Tetapi karena bayi Bela tidak segera lahir, Belo meminta untuk merujuk Bela ke Puskesmas. Dan akhirnya dibantu para warga Bela ditandu menuju Puskesmas. Bela melahirkan bayinya dengan selamat meskipun harus mengalami pendarahan dan dirujuk ke rumah sakit karena riwayat abortusnya.

Kesetaraan dan kesehatan ibu

Dalam film ini budaya patriarki sangat kental sekali. Semua keputusan yang diambil di kampung tersebut bertitik berat pada keputusan para laki-laki. Para perempuan hanya bisa menunggu, ini tampak pada beberapa scene saat pengambilan-pengambilan keputusan penting di kampung tersebut. akibatnya para ibu-ibu disana tidak memiliki kuasa dalam  penentuan derajad kesehatan mereka. Budaya lokal juga masih cukup kental, para ibu hanya boleh tinggal di kampung tersebut dari mulai aktivitas sehari-hari hingga aktivitas reproduksi dan melahirkan. Bahkan kepercayaan pada mitos-mitos terhadap ibu yang hamil dan melahirkan masih sangat kuat. Sangat ironi sekali dengan kepercayaan mereka terhadap agama yang sebenarnya sudah cukup tinggi, karena di beberapa gambar tampak mereka semua berkumpul dan berdoa sesuai keyakinan mereka.

Dari segi lokasi perkampungan tersebut memang cukup jauh dari pelayanan kesehatan. Menuju ke tempat tersebut diperlukan waktu setengah hari. Hal tersebut juga yang menyebabkan para laki-laki khawatir jika harus membawa ibu-ibu ke pelayanan kesehatan. Dari segi lain dalam film ini memang tidak digambarkan upaya pelayanan kesehatan untuk memberikan pengetahuan lebih baik kepada para penduduk kampung. Akibatnya permasalahan kesehatan para ibu ini sesungguhnya bukan hanya murni soal kesetaraan, meskipun kesetaraan mungkin menjadi pokok permasalahan yang disorot. Beberapa faktor lain juga menjadi penyebabnya.

Secara isi film ini cukup mengedukasi, perihal kematian ibu dan anak yang masih sangat tinggi di beberapa daerah di Indonesia, Nusa Tenggara Timur menyumbang kasus kematian ibu dan bayi paling banyak. Berdasarkan survei SKDI tahun 2007 angka kematian ibu di NTT mencapai 306 per 100.000 kelahiran hidup dibandingkan dengan data nasional untuk angka kematian ibu hanya 288 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian anak d NTT mencapai 57 per 1000 kelahiran hidup dibandingkan dengan data nasional untuk angka kematian anak yang hanya 34 per 1000 kelahiran hidup. Film ini cukup membuka mata kita semua, bahwa di sekitar kita, terutama pada kita yang tinggal di perkotaan, kasus kematian ibu dan bayi sangat mungkin ditekan. Sedangkan pada daerah-daerah tertentu yang secara geografis susah ditempuh, kasus kematian ibu dan bayi sangat mungkin menjadi sangat tinggi.

Derajad kesehatan orang-orang yang tinggal di daerah ini terkadang hampir sama tidak meratanya seperti akses pendidikan. Tapi jika dibandingkan dengan film-film yang mengambil budaya lokal dan diputar di bioskop seperti Sokola Rimba, jelas Inerie jauh berbeda karena film ini hanyalah film dokumenter. Secara pengambilan gambar memang cukup bagus. Meskipun lokasi penggambilan gambar pada film ini tidak terlalu banyak tempat, hanya seputar perkampungan dengan rumah-rumah adatnya yang berjejer-jejer, ladang dan tempat pelayanan kesehatan. Pemeran utamanya, Maryam Supraba sebagai Bela dan Emanuel Tewa sebagai Belo juga cukup menguasai kamera, tapi dari segi akting dan penyampaian isi terkesan seperti kurang digarap cukup serius. Dalam tampilan-tampilan para tenaga kesehatan utamanya, mereka memberikan kesan kaku dan saat penyampaian informasi terkesan sedang menyampaikan penyuluhan.

Film dokumenter garapan Lola Amaria ini dibiayai oleh AIPMNH sebuah lembaga partnership antara Australia dan Indonesia dibidang kesehatan. Judul Inerie tersebut berarti mama yang cantik. Inerie adalah ibu Bela dan Belo yang sudah melahirkan. Film ini didedikasikan pada ibu-ibu yang telah melahirkan dan tak sempat mengasuh bayi-bayi mereka. Dan seperti pesan dalam film tersebut, “Ibu adalah penerus peradaban, tidak selayaknya lagi mereka mati sia-sia.” Para para penerus peradaban harus berperan dalam mendidik generasi-generasi terbaik yang mereka lahirkan.

Karawang, 30 Maret 2015

Happy Ari S




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline