Entah mengapa, akhir-akhir ini semakin banyak saja berita keributan antara selebritis dengan orang tuanya, terutama ibu mereka. Sebut saja Arumi Bachsin yang minggat dari rumah lantaran merasa ditekan oleh orang tuanya. Ada juga ibu Qory Sandioriva yang merasa anaknya berubah setelah menjadi Putri Indonesia. Sedangkan beberapa tahun lalu, ibunda Kiki Fatmala mengatai anaknya dengan sebutan anak durhaka, mirip cerita Malin Kundang yang aku baca saat masih SD.
Konflik keluarga itupun pada akhirnya harus diselesaikan secara hukum. Bukankah sebaiknya konflik keluarga seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan? Begitulah, kata Mama. Saat menonton infotainment, Mama pun ikut berkomentar tentang permasalahan antara artis dan ibunya. ’’ Artis banyak duitnya ya. Masalah keluarga aja mbayar pengacara,’’komentar Mama.
Aku tersenyum kecut mendengar komentar Mama. Tapi, persoalan yang dihadapi artis-artis itu adalah persoalan yang juga dihadapi oleh orang awam seperti aku.
Aku, mahasiswi Fakultas Ekonomi Program Studi Manajemen di salah satu Universitas swasta ternama. Mengapa aku memilih masuk Fakultas ekonomi?
Ya, masuk Fakultas ekonomi bukanlah pilihanku. Sesungguhnya, aku lebih memilih belajar di Fakultas Sospol, program study jurnalistik. Cita-citaku adalah menjadi seorang wartawan dan penulis. Tapi, menurut Mama, Fakultas Sospol kurang baik, karena Mama berpikir setelah lulus aku akan berkerja di kantor pemerintahan. Mama tidak setuju bila aku menjadi seorang politikus.
Aku sudah menjelaskan kepada Mama, bahwa lulus dari Fakultas Sospol bukan berarti aku harus berkeja di lembaga pemerintahan. Tapi, Mama tidak pernah mau mengerti. Mama selalu berkaca kepada saudara-saudara dan temannya. Saudara-saudaraku sukses karena bergelar Sarjana Ekonomi. Mereka kini berkerja di perusahaan besar, berpangkat manajer, dan mempunyai gaji yang tinggi. Misalnya, Mas Rudi. Dia adalah keponakan Papa. Awalnya, kehidupan Mas Rudi sangat sederhana, namun orang tuanya bertekad menyekolahkannya hingga pendidikan tinggi. Mas Rudi pun lulus dan menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Kini, di usianya yang ke 34 tahun, Mas Rudi berhasil menjadi manajer di sebuah perusahaan elektronik.’’Hebat ya Rudi, sekarang sukses. Punya mobil, kemaren baru beli rumah,’’begitu yang selalu kudengar dari Mama dan Papa.
Berkaca dari Mas Rudi itulah, Mama dan Papa menganjurkanku untuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Menurut Mama, lulusan ekonomi lebih mudah mencari pekerjaan. Alibi itu dikuatkan oleh testimony Mas Rudi. Lulus kuliah, dia tidak perlu menganggur terlalu lama. Sebuah perusahaan besar merekrutnya untuk bergabung bersama mereka. Tak membutuhkan waktu lama, Mas Rudi segera diangkat menjadi seorang manajer. Kini, dia bisa menyekolahkan anaknya yang kelas 1 SD di sekolah ternama dengan biaya yang tidak sedikit.
Maka,mau tidak mau, aku menuruti keinginan orang tua, kuliah di fakultas yang tidak aku sukai. Mama malah mengatakan,’’Kenapa kamu dulu nggak masuk di jurusan IPA, padahal kan Mama udah bilang, lebih baik kamu masuk jurusan IPA, biar pilihannya banyak waktu masuk universitas,’’.
Karena ’’kesalahanku’’ itulah, akhirnya aku masuk di Fakultas Ekonomi, karena bagi Mama tidak ada pilihan lain. Menurut mama, banyaknya perusahaan, pastilah membutuhkan banyak manajer. Dan aku adalah salah satu calonnya.
*
’’Ren, aku mau pindah fakultas. Aku nggak cocok kuliah di ekonomi. Aku pengen masuk psikologi,’’kata Aida, sahabatku.
’’Ngapain pindah? Ntar bayar lagi lho,’’.
‘’Gimana Ren, aku nggak cocok kuliah di ekonomi,’’.
‘’Ya terserah kamu. Emang boleh sama ortumu?,’’.
Aida menggeleng. ’’Mama bilang biaya kuliah tiga semester aja sudah mahal. Kalau aku pindah berarti bayar lagi dari awal,’’kata Aida.
‘’Sebenarnya aku juga ngga niat kuliah di ekonomi. Tapi aku disuruh. Yah dijalanin aja,’’balasku.
Hingga suatu hari, Aida mengatakan kepadaku bahwa dia ingin keluar dari kuliahnya. Dia merasa tidak sanggup belajar di jurusan yang bukan pilihannya.
‘’Kamu nggak sayang keluar kuliah? Kamu nggak pengen jadi sarjana?,’’tanyaku.
‘’Sebenernya pengen. Tapi gimana lagi. Aku udah nggak kuat. IPK ku aja cuma satu koma,’’katanya.
‘’Kalau keluar, kamu mau kemana?
‘’Nggak tahu,’’jawabnya lirih.
‘’Coba deh, kamu pikirin lagi. Sayang lho kalo kamu sampe putus kuliah,’’.
Aida tak menjawab. Selama-berhari-hari Aida terlihat murung. Dia tak bersemangat mengikuti kuliah. Saat dosen menerangkan materi, Aida terlihat melamun. Kadang-kadang dia memainkan ponselnya yang sederhana. Bahkan, Aida pernah tidur saat dosen menerangkan materi kuliah. Untunglah, dosen itu bukanlah dosen killer, tetapi, dosen yang memang bikin ngantuk. He he he.
Aku tak lelah memberikan semangat kepada sahabatku itu. Namun, Aida tetap saja murung. Sepulang kuliah atau saat jeda kuliah, Aida mengajakku jalan-jalan ke mall untuk cuci mata. Kadang-kadang, dia tergoda membeli baju atau aksesoris.
*
Hari pertama semester genap, aku tak mendapati Aida. Hmm, mungkin dia sedang pulang kampung. Maklum Aida berasal dari luar kota.Namun, setelah satu minggu kegiatan perkuliahan, Aida tak juga muncul. Aku mencoba mengirm pesan kepadanya, menyakan kepadanya mengapa dia belum masuk kuliah.
‘’Ren, aku udah nggak kuliah. Aku sekarang kerja di departemen store,’’katanya.
‘’kamu kok nggak bilang-bilang sih? Kapan kamu ngurus administrasinya,’’tanyaku.
‘’Aku nggak ngurus. Males, ribet,’’jawabnya.
‘’terus, gimana ortumu?,’’tanyaku.
‘’Mereka nggak tahu kalau aku keluar kuliah,’’balasnya.
Aku terkejut. Tidak kusangka Aida senekad itu.
‘’Kamu sekarng dimana?,’’tanyaku.
Tidak ada balasan dari Aida. Aku mencoba meneleponnya, namuan tak ada jawaban. Keesokan harinya, nomor Aida tidak aktif. Mungkin, dia sengaja mengganti nomor ponselnya supaya tidak dihubungi orang tuanya, pikirku.
Aku berpikir, Aida adalah salah satu robot yang digunakan untuk mewujudkan mimpi orang tuanya. Orang tua Aida berharap agar aida sukses, memiliki jabatan sebagai manajer, dan memiliki uang. Tapi, rupanya orang tua Aida tidak menyadari bahwa Aida tidak berminat di bidang ekonomi. Aida berminat pada psikologi. Dia senang membaca buku-buku pengembangan diri dan buku-buku personality.
*
’’Kamu kok pulang sore banget? Bukannya hari ini cuma satu mata kuliah?,’’tanya Mama, ketika aku pulang. Waktu menunjukkan pukul 17.30.
’’Iya, ma. Kan Reni ikut di pers kampus,’’kataku.
‘’Ngapain sih kamu ikutan pers kampus? Mendingan kamu kuliah terus pulang. Mama nggak suka kamu pulang sore, ikutan pers kampus,’’kata Mama.
’’Ma, organisasi kan penting buat cari kerja,’’kataku.
‘’Kalau kamu pinter, IPK mu tinggi, kamu juga gampang kok cari kerja,’’kata Mama.
‘’Coba, lihat Mita. Pulang kuliah langsung pulang. IPKnya aja 2,9,’’lanjutnya.
Aku berlalu meninggalkan Mama. Percuma saja berdebat dengan Mama. Ujung-ujungnya malah bertengkar dan banjir air mata.
Tidak mengherankan, mengapa makin sedikit mahasiswa yang berniat bergabung dalam oganisasi dan per kampus. Selain di pers kampus, aku juga bergabung di salah satu organisasi mahasiswa di luar kampus.Jumlah anggota organisasiku kini hanya tinggal 15 orang yang aktif. Banyak yang mengundurkan diri dengan alas an tidak diijinkan oleh orang tua. Alasannya, organisasiku sering menggelar aksi ketika bergulir suatu issue. Namun, jangan dikira kami anarkis. Kami melakukan aksi damai melalui pawai atau doa bersama.
Walapun begitu, Mama tidak suka aku ikut organisasi. Mama mengira, aku bakal anarkis. Aku pun terpaksa berbohong bahwa kau sudah keluar dari organisasi itu. Aku mengaku kepada Mama bahwa aku bergabung dalam organisasi keagamaan. Sebagai orang yang religious, Mama sangat senang aku bergabung di organisasi itu.
’’Jumlah anggota organisasi mahasiswa semakin sedikit. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa lebih mengejar kelulusan karena tututan orang tua.,’’kalimat-kalimat itulah yang aku baca di sebuah surat kabar. Fenomena itulah yang aku alami baik dalam kehidupan pribadiku maupun dalam kehidupan organisasi.
Sebagai seseorang yang bercita-cita berkarier di media massa, salah satu syaratnya adalah aktif di organisasi atau pers kampus. Kata-kata itula yang sering aku baca di iklan lowongan pekerjaan jurnalis. Setidaknya, walaupun aku bergelar sarjana ekonomu, latar belakangku di organisasi dan pers kampus bisa menjadi pertimbangan untuk meweujudkan cita-citaku. Namun, aku tetap focus pada kuliahku supaya aku bisa mencapai IPK 3, yang juga merupakan syarat untuk melamar di media massa.
Aku mencoba memahami, bahwa larangan orang tuaku merupakan bentuk kasih sayang mereka kepadaku. Walaupun, hati kecilku terus memberontak. Aku ingin meraih cita-citaku, bukan menjadi seperticita-cita orang tuaku. Apalagi, aku anak tunggal, perempuan pula. Orang tuaku sangat berharap aku berkerja selayaknya seorang perempuan, berkerja di kantor sebagai sekretaris, akuntan, atau manajer. Mereka berharap, kelak dengan jabatan, dan penghasilanku, aku bisa mengangkat keluargaku.
Rupanya, orang tuaku masih berpikir bahwa symbol kesuksesan adalah pekerjaan yang prestise, jabatan, dan materi. Sementara, aku berpikir bahwa kesuksesan adalah ketika aku berhasil meraih cita-citaku dan mampu berbagi dengan orang lain. Bagaimanapun, aku adalah manusia yang mempunyai mimpi dan cita-cita. Aku bukan robot yang bisa dikontrol. Aku hanya berharap supaya orang tuaku mau memahamiku.
Setidaknya, pengalamanku ini member pelajaran berharga bagiku. Kelak, sebagai seorang ibu, aku tidak ingin memkasakan cita-citaku kepada anak-anakku.Biarkan mereka memilih apa yang menjadi pilihan mereka. Karena anak-anakku adalah manusia, bukan robot yang memiliki system dan aku yang mengatur system itu.
Sebuah tulisan di sebuah surat kabar semakin membuka pikiranku.inti tulisan itu,’’Banyak orang tua yang memandang bahwa kecerdasan berarti kecerdasan akademik. Ketika seorang anak memiliki nilai seni lukis lebih baik dibandingkan nilai matematika, sebagian besar orang tua memilih untuk memberi les matematika bagi anak-anaknya. Mereka malah tidak mengikutkan anaknya dalam klub melukis yang merupakan passion anak mereka. Padahal, orang tua bisa mengembangkan bakat-bakat anak-anaknya semenjak dini. Namun, bagi orang tua, kecerdasan akademik jauh lebih penting daripada ketika anaknya memenangkan lomba seni atau olahraga,’’.
Itulah salah satu doktrin yang berkembang dalam msyarakat kita. Bahwa seorang anak harus memiliki prestasi akademik sehingga dapat memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak setelah lulus kuliah. Dengan penghasilan itulah, seseorang akan mampu melakukan apa yang diinginkannya, seprti membeli barang mewah atau pelesir ke luar negeri. Maka, aku pun tidak heran bila teman-temanku lebih memilih untuk berfoya-foya daripada bersikap kritis terhadap isu-isu yang terjadi. Jangankan bersikap kritis, mereka bahkan tidak mengetahui sediktpun mengenai isu itu.
Anak-anak telah menjadi robot bagi keluarga dan lingkungannya untuk memenuhi tuntutan mereka, yaitu uang dan jabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H