Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan-Nya lalu menyembah-Nya, dan dengan keras ia berteriak: "Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku!" (Markus 5:6-7).
Perjalanan yang memakan waktu tempuh 12 jam dari kota Medan sampai ke Desa Albion-Perancis, Kec. Pinangsori, Kab. Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memberi kesan tersendiri bagi penulis saat kembali datang ke tempat di mana penulis dibesarkan di daerah tersebut.
Tidak suatu kebetulan memang penulis berangkat ke Albion-Perancis, sebab kedatangan kembali penulis ke tempat itu adalah karena menghadiri pesta pernikahan sepupu penulis, Sabtu (4/5/2024).
Desa tercinta penulis ini juga dikenal sebagai desa yang toleran, semua suku kaum dan bahasa yang begitu rukun dan akrab satu sama lain, dan yang juga melahirkan para pemain sepakbola. Ya, meski tidak se-terkenal para pemain Manchester United yang melahirkan anak-anak yang berbakat dengan sepakbolanya. Di desa inilah penulis menyukai dan hobi sepakbola sampai sekarang.
Tujuh belas (17) tahun dibesarkan di tengah-tengah saudara saya yang mayoritas Pujakesuma (Putra-Putri Jawa Keturunan Sumatera Utara) menjadi pengalaman tersendiri dan berharga bagi penulis.
Pasalnya, dengan pengalaman yang Tuhan berikan tersebut menjadikan penulis setidaknya lebih dekat dan terkonek (terhubung) dengan orang-orang Jawa (secara batin) yang ditemui di mana saja dan kapan saja serta dapat pula memahami bahasa Jawa (menguasai percakapan dalam bahasa Jawa), meski tidak se-fasih mereka.
Pengalaman menarik yang menurut penulis, tatkala menghadiri pesta pernikahan sepupu pada Kamis (4/5) lalu adalah pada saat prosesi pesta adat nikah yang dilangsungkan secara adat Batak Toba, yang di mana pihak dari paranak (mempelai pria), dalam hal ini pak tua (saudara ayah) dari sang mempelai pria ditunjuk untuk maju ke depan mangulosi (menyematkan kain) mempelai pria sebagai tanda sukacita dan kehormatan karena sudah menemukan jodohnya.
Tidak sampai disitu, hal menariknya ialah ketika sang pak tua yang mau mangulosi mempelai pria, katakanlah nama pak tua tersebut Empo (sebab masyarakat mengenalnya dengan nama tersebut) di gendong dari rumah sampai ke pentas acara pernikahan. Tidaklah salah penulis menulis dalam artikel ini bahwa pak Empo adalah seorang penyandang disabilitas.
Ketika digendong dan sampai ke atas pentas, dan selesai menyematkan ulos pada mempelai, tiba-tiba pak Empo merentangkan tangannya seolah-olah berserah pada Yesus dan bersyukur atas pernikahan anaknya tersebut. Dan semua tamu undangan yang hadir pun tertawa dan merasa terhibur oleh karena tingkah pak Empo.