Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Analisa tentang Keadaan Kita: Mengapa?

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Banyak sudah analisa yang sudah dilontarkan mengenai sebab musabab keadaan negara kita, keadaan masyarakat kita yang seperti maju segan mundur pun pelan-pelan, tetapi mengapa perubahan itu serasa mata air di gurun tandus, biarpun menyegarkan, keberadaannya bagaikan impian semata.

Mari kita teliti dari akar masalah itu sendiri, manusianya. Sebagaimana seluruh benda dibumi ini maka kita sebagai manusia juga tidak terkecuali tunduk kepada Hukum Fisika Newton yang pertama yaitu kelembaman : suatu benda cenderung diam dan dibutuhkan gaya untuk membuatnya bergerak, apabila benda tersebut sudah bergerak maka benda itu akan cenderung untuk bergerak.

Demikian halnya dengan kita. Hal pertama kali yang terpenting dalam memulai suatu usaha adalah langkah pertama dan diperlukan gaya yang besar untuk memulai langkah pertama itu. Gaya yang besar itu timbul dari niat dan pengertian akan niat tersebut. Apa sajakah yang telah menghambat pengertian dari niat tersebut? Mari kita telaah satu persatu.

Pertama adalah keterikatan terhadap masa lalu. Kita cenderung untuk memperbandingkan sesuatu yang sedang dihadapi dengan sesuatu dari ingatan kita, alias masa lalu kita. Pengertian yang didapatkan dari masa lalu merupakan hal yang penting karena pengertian itulah buah yang kita dapatkan dari pengalaman. Buah yang dirasakan manis ataupun pahit, dan membuat kita ingin menanam pohon lebih banyak untuk mendapatkan buah-buah yang lain.

Tetapi apabila ingatan atau masa lalu tersebut bukanlah berisikan suatu buah pengertian pengalaman, melainkan suatu perbandingan ataupun suatu pembatasan maka ingatan atau masa lalu tersebut menjadi rantai yang mengikat kaki kita untuk melangkah. Kita akan memasang pagar pada tanaman yang telah ditanam, dan lahan tersebut telah menjadi suatu tempat yang statis tanpa pertumbuhan dan perluasan. Stagnan.

Dengan demikian justru hal yang diharapkan menjadi gaya untuk merubah posisi diam menjadi bergerak, justru menjadi sejatinya hal yang membuat posisi tetap diam. Banyak contoh dari hal ini, seperti misalnya Indonesia adalah negara yang kaya raya ( kekayaan tersebut harus dijaga dengan baik dan harus dilestarikan, alih-alih seharusnya dikembangkan dan dibuat menjadi lebih kaya raya ), atau manusia Indonesia penuh dengan keramahan dan budaya yang tinggi ( padahal bukan dilestarikan tapi seharusnya dikembangkan dan diperluas ke seluruh dunia ), dan masih banyak contoh lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Kita terjebak dalam suatu alasan untuk tetap statis, dan tidak bergerak.

Kedua adalah melepaskan tanggung jawab diri kita kepada pihak ketiga. Ini adalah keterikatan terhadap doktrin yang diterapkan dengan baik oleh bangsa penjajah, dan terus mengikuti doktrin ini merupakan bahasan yang baru saja lewat, keterikatan terhadap masa lalu.

Kita telah terbiasa melepaskan tanggung jawab diri kita kepada pihak ketiga, pihak yang dianggap mempunyai otoritas, yang dianggap mempunyai kekuasaan lebih. Kita bergantung pada guru, kita bergantung pada pemerintah, kita bergantung pada orang tua, kita bergantung pada Bung Karno, kita bergantung pada bantuan asing, dan sebagainya, dan lain-lain. Dengan menganut hal ini, kita telah melupakan seseorang yang sangat penting dalam menentukan hidup kita, diri kita sendiri.

Kita terbiasa melepaskan tanggung jawab kita, sehingga apabila ada sesuatu yang terjadi, apakah itu sesuatu yang dianggap baik, ataupun itu sesuatu yang dianggap buruk, maka kita beranggapan bahwa kita akan terkena dampak yang telah diserap oleh pihak ketiga tersebut, sehingga kita menjadi manusia-manusia just-enough, hanya secukupnya saja. Secukupnya baik dan secukupnya buruk. Dan ketika terjadi bencana alam ataupun hal-hal luar biasa lainnya diluar serapan dari pihak ketiga tersebut, maka kita akan melepaskan tanggung jawab kita kepada pihak ketiga yang tertinggi, Tuhan.

Dengan mentalitas just-enough kita akan menunggu tetesan rejeki dari sang pihak ketiga, kita statis dan stagnan. Kita menunggu hujan turun dipekarangan yang telah kita pagari.

Mari kita melangkah, tinggalkan kelekatan pada masa lalu dan mulai bertanggung jawab kepada diri kita sendiri. Mari mulai melangkah dengan suatu impian, impian tentang keadaan yang kita inginkan, makmur, damai, nyaman, dan sebagainya. Jemputlah impian itu, karena dia sudah ada disana menunggu kita melangkah mendekatinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline