Siang itu di Kelurahan Balowerti, Kecamatan Kota, Kediri, sejumlah pemuda hilir mudik menenteng cangkir, panci kecil, mi instan, hingga aneka kopi sachet, disekitar sebelas bilik toilet. Di sebuah kamar ukuran 1,5x2m yang berada di deretan paling depan bilik toilet, kesibukan memasak terlihat.
Uniknya, tak ada satu pun kompor maupun tabung elpiji yang dipergunakan untuk memasak. "Ini karena kami menggunakan gas tinja," kata Tohir, pengelola sanitasi, kepada Tempo.
Apa yang dilakukan Tohir dan masyarakat, adalah memanfaatkan tinja menjadi biogas. Biogas merupakan gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik yaitu; kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), sampah biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik.
Sumber api yang keluar di sebuah lingkaran besi pengganti kompor itu berasal dari septic tank yang ditanam di area sanitasi. Tabung semen itu menampung pasokan sebelas toilet yang setiap hari diisi dengan kotoran manusia.
Pada 2004 hingga 2014, hasil biogas ini dapat dimanfaatkan oleh 80 kepala keluarga. Hasil biogas dialirkan melalu pipa yang tersambuk ke seluruh rumah warga.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat Kediri, nampaknya dilakukan kembali oleh ilmuan Amerika. Hal ini disebabkan setiap harinya intansti pengolah limbah menangani kurang lebih 34 juta gallon tinja. Hal ini menarik perhatian Ilmuwan di US Department of Energy Pacific Northwest National Laboratory (PNNL). Mereka tak mau menyia-nyiakan kotoran manusia tersebut, mereka mencoba untuk mencari cara mengubah tinja tersebut menjadi bahan bakar.
Menurut perhitungan PNNL, dengan jumlah tinja sebesar kurang lebih 34 juta galon per hari, jika diolah akan menghasilkan kurang lebih 30 juta barel minyak setiap tahunnya. PNNL memperkirakan bahwa satu orang bisa menghasilkan 2-3 galon biocrude per tahun.
Namun hal ini tidak mudah untuk direalisasikan sebab selama ini kotoran manusia, khususnya lumpur tinja (tinja yang sudah diaduk) dianggap bahan yang jelek untuk diubah menjadi biofuel karena sifatnya yang terlalu basah.
PNNL mempelajari bagaimana cara mengolah tinja tanpa melalui proses pengeringan terlebih dahulu. Hal tersebut dilakukan karena penggunaan teknologi thermal (teknologi pemanasan) membutuhkan energi yang banyak serta memerlukan biaya cukup mahal.
Usaha ini membuahkan hasil, mereka menemukan cara baru mengubah tinja menjadi minyak mentah yang mereka sebut biocrude. Penemuan mereka membuat sistem hydrothermal liquefaction (HTL) bekerja menirukan proses geologi bumi dalam membentuk minyak mentah.
Dengan menggunakan tekanan dan suhu yang sangat tinggi, hanya dalam beberapa menit saja dapat menyamai proses alami pembentukan minyak mentah yang membutuhkan waktu berjuta-juta tahun.