Lihat ke Halaman Asli

Pembangunan Hutan di Wilayah Jawa Mendukung Reduksi Global Warming

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Deforestasi adalah penyumbang terbesar emisi GRK di Indonesia. –Forest Carbon Partnership Facilty (FCPF)

Secara umum para ahli kehutanan di dalam negeri dan di luar negeri menganggap bahwa kondisi kehutanan di Indonesia, termasuk di Jawa pada akhir-akhir tahun 2001 mengalami penurunan yang cukup serius. Luas hutan telah menurun secara drastis, dan ancaman keruakkan tidak berkurang sebagai akibat penebangan yang tidak terkendali termasuk penebangan  tanpa ijin, perambahan, penanaman hutan yang tidak berjalan dan lain-lain yang secara keseluruhan disinyalir merupakan ancaman terhadap kelestarian hutan.

Di banten, lanjut Siswono, hutannya tinggal 17% dari luas provinsi. Jawa Barat menyisakan 19% dari luas provinsi. Jawa Tengah 23% dari luas provinsi. Sementara di Jawa Timur yang tersisa hutannya tinggal 29% dari luas provinsi. “idealnya, luasan hutan untuk pulau Jawa harus ada 30%,” jelas Siswono lebih lanjut.

Menurut para ahli, timbulnya kejadian-kejadian tersebut tidak dapat dipisahkan dari kejadian-kejadian yang  terjadi dikawasan Indonesia lainnya. Disebut-sebut bahwa kejadian tersebut telah timbul karena menurunnya kesadaran hukum dan kesadaran masyarakat, adanya kesimpangsiuran dan tumpang tindih peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang mengatur sistem pengurusan hutan, kurangnya pasokan bahan baku industri kayu hulu, belum tuntasnya pengaturan pelaksanaan Otonomi Daerah.

Komitmen pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan telah banyak dinyatakan oleh berbagai pihak. Pada kenyataannya, sampai saat ini masih banyak terdapat berbagai kelemahan yang menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya hutan. Sebagai akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi dan dampak sosial yang sudah mengarah pada tingkat mengkhawatirkan.

“dalam pengaplikasian pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan masih mendapati banyak kendala dikarenakan kurangnya sosialisasi pihak pemerintah kepada masyarakat yang mengakibatkan masyarakat setempat wilayah hutan pembangunan merasa dirugikan sehingga masih terjadi illegal log dan human error seperti kebakaran hutan dan lain-lain..”

Penyebab utama terjadinya berbagai kelemahan, termasuk kegagalan, dalam menjaga eksistensi dan pelestarian sumberdaya hutan adalah terutama karena adanya keragaman pandangan, kepentingan dan tujuan dari berbagai pihak, baik sektor, pemerintahan, dunia usaha, serta masyarakat baik lokal, nasional maupun global, dalam penekanan prioritas pengelolaan sumberdaya hutan dan pemanfaatan kawasan hutan. Ketidak-berhasilan dalam membangun kesepahaman dan mewujudkan harmonisasi atas berbagai perbedaan tersebut, telah menimbulkan dampak negative terhadap sumberdaya hutan berupa deforestasi dan degradasi hutan yang cenderung semakin meningkat.

“Kami menggarisbawahi bahwa menciptakan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan merupakan tantangan bagi pengelola sumber daya alam. Berbagai literatur menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam menjadi sangat komplek dan penuh ketidakpastian karena perubahan dalam demokrasi, kekuatan politik dan harapan masyarakat.” kutip Heriyatno dalam Laporan Pusat Penilitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak).

Dalam laju deforestasi di Indonesia, para ahli dari FCPF (Forest Carbon Partnership Facility) mengatakan perubahan hutan di Indonesia pada periode 1990-2000 dipengaruhi oleh infrastruktur, subsidi, kesempatan kerja dan tekanan penduduk (Vanclay, 2005). Jadi secara garis besar di Jawa dipengaruhi oleh kebutuhan tempat tinggal, ekonomi, serta harga pasar kayu yang memaksa penduduk melakukan deforestasi.

Pembangunan hutan di Jawa yang memiliki populasi penduduk 60% dari seluruh rakyat Indonesia memiliki potensi kehilangan Wilayah Hutan yang lebih besar lagi. Sebuah pertanyaan besar bila penduduk semakin meningkat menyebabkan wilayah hutan yang kita miliki sekarang akan semakin menipis karena kebutuhan tempat tinggal. Dengan derasnya laju urbanisasi memperparah ketimpangan daerah prioritas dimata Pemerintahan.

“masalah daerah prioritas sebenarnya, seluruh wilayah Indonesia adalah daerah prioritas, namun dilihat dari sejarahnya dulu. Di Kalimantan dan Papua, hutan alam dulu lebat sekali, namun semakin maraknya deforestasi maka Kalimantan dan Papua kini hampir habis wilayah hutannya. Mungkin baik pendonor maupun pemerintah memfokuskan daerah tersebut untuk konservasi namun bila dilihat skala nya seluruh Indonesia adalah prioritas utama.” Prof. Dr. Ir San Afri Awang.

Membahas permasalahan hutan di Jawa, Litbang Kehutanan mengatakan bahwa “bila yang dikembangkan adalah Hutan berbasis rakyat, maka akan sangat berhasil. Karena di Jawa mayoritas adalah hutan rakyat. Hutan rakyat ini yang bertahan di Jawa jika habis, maka akan sangat sedikit hutan yang ada di Pulau Jawa.” Prof. Dr. Ir. San Afri Awang mengatakan (21/7)

Ada dua alasan mengapa Indonesia harus memprioritaskan permasalahan wilayah hutan, adalah karena Indonesia merupakan salah satu pemilik hutan tropis terluas di dunia (131,3 juta hektar).  Kedua, Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Menanggapi lebih lanjut masalah perubahan iklim, Doddy S. Sukardi, PhD beranggapan bahwa “dalam kaitannya dengan perubahan iklim maka kita akan membicarakan 100-200 tahun kedepan. Dan dalam selama proses 100 tahun tersebut adalah bagaimana menghindari karbon yang keluar dapat terserap dan mengurangi pemanasan global.” (16/7)

Seluruh kegiatan yang mengurangi emisi karbon selalu berhubungan erat dengan Reforestasi atau Aforestasi. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengatakan “jika deforestasi tidak di reforestasi maka akan terjadi pelepasan karbon dalam kadar jumlah yang banyak. Sedangkan kita perlu mengembalikan kembali fungsi hutan sebagai penyerap karbon dan memberikan oksigen.” (16/7)

“kendala yang kita hadapi sekarang adalah, kita tidak belum bisa mengukur jumlah karbon yang tersebar di atmosfir dan harus berapa banyak kita reduksi. Jika mencari angka, berarti dalam skala nasional sedangkan kita belum bisa menghitung jumlahnya.” Lanjut Doddy.

Untuk menjalankan program yang sesuai untuk mereduksi global warming, baik DNPI maupun FCPF setuju bahwa pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable forest management) akan sangat berpengaruh. Pusat Peneliti dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Puspijak) telah menetapkan empat poin untuk mereduksi global warming, yang pertama adalah pembangunan rendah emisi. Hal ini adalah induk dari semua pointer yang disampaikan oleh Rachmat Witoelar.

Pulau Jawa memiliki luasan hanya 6% dari luas wilayah Indonesia, tetapi 60% dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di Jawa. pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat miskin di sekitar hutan.

Selama ini, program yang diharapkan oleh pihak Kementrian Kehutanan adalah program kehijauan yang juga memakmurkan masyarakat sekitar hutan. Program yang dilakukan perhutani seperti Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah di implementasikan belum mencapai target. Tujuan program ini adalah kerjasama masyarakat dalam pengelolaan hutan terbatas karena sebagian besar kewenangan dipegang pemerintah, masyarakat tidak merasa saling memiliki.

Doddy S. Sukardi, PhD mengatakan bahwa harapan DNPI kedepan adalah memiliki program yang berbasis pemberdayaan masyarakat sehingga terjadi roda sirkulasi yang dinamis antara pemerintahan dan masyarakat.

“program ini masih sulit karena masih terlalu banyak kendala, contohnya urbanisasi  di Jawa yang menyulitkan pihak pemerintah namun sebenarnya program ini akan sangat baik bila bisa tercapai karena kenyataan masyarakat di Jawa memiliki masalah kesejahteraan social sehingga pemberdayaan berbasis lingkungan tentu akan sangat membantu di Jawa.” Doddy S. Sukardi, PhD (16/7)

Oleh sebab itu, diperlukan adanya dukungan teknologi (on-farm dan off-farm), manajemen, pendanaan, pemasaran dan pengolahan hasilnya yang dapat meningkatkan nilai tambah dari hasil hutan rakyat di Jawa.

Model pembangunan hutan berbasis masyarakat dalam bentuk pengelolaan hutan/kawasan hutan sebagai sebuah gerakan restorasi hutan di Indonesia memerlukan adanya ketekunan dan keseriusan para pihak untuk menyiapkan masyarakat setempat melalui proses pembelajaran sosial (social learning) pemberdayaan masyarakat di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, manajemen dan kelembagaan kehutanan. “Pola pembelajaran partisipatif atau pembelajaran inovatif pemberdayaan masyarakat dalam rangka restorasi pembangunan hutan di Indonesia adalah mendukung pembangunan kehutanan berkelanjutan. Proses pembelajaran pemberdayaan masyarakat ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya motivasi masyarakat didalam dan di sekitar hutan dalam berkreasi dan berinovasi dalam mengelola hutan secara mandiri dan profesional.” Ujar Prof. Dr. Ir San Afri Awang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline