Lihat ke Halaman Asli

Lunturnya Wibawa Almamater

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_111655" align="alignnone" width="250" caption="doc. pribadi"][/caption] Kebetulan saya pernah menjadi mahasiswa, walaupun saya bukan dari golongan kasta mahasiswa berprestasi tapi saya sangat menikmati memulung ilmu di pelosok Kaltim sana. Menjalani kehidupan sebagai mahasiswa itu menyenangkan, warnanya beragam. Punya dinamikanya sendiri, pergaulan dan pergulatan keseriusan hingga keisengan pun melengkapi. Dari hal idealisme hingga romantisme pun mengimbangi. Walaupun yang kedua tadi saya banyak tertinggal..hehe

Saat ada kegiatan-kegiatan tertentu, saya masih ingat kapan saja saya harus mengenakan "jas almamater" kebesaran kampus kami. Ya, almamater sesungguhnya tidak sesempit seputar jas ataupun atribut sebuah kampus semata. Bahkan jika dimaknai lebih luas, almamater juga bisa sebagai suatu institusi pendidikan dan identitas yang menyertainya. Almamater bisa sebagai representasi semangat dan harapan dari keluhuran intitusi yang menaunginya, untuk hal ini tentu saja lembaga pendidikan. Sehingga secara tanpa sadar, saat saya mengenakan jas almamater ada sensasi yang berbeda. Sensasi kebanggaan sebagai bagian dari masyarakat pecinta ilmu pengetahuan. Bukan ingin memposisikan diri sebagai elit eksklusif karena menempuh pendidikan tinggi, tapi lebih sebagai rasa beban untuk menjaga citra dan nilai almamater yang sedang dikenakan. Sederhananya, secara pribadi saya menganggap mengunakan jas almamater adalah hal istimewa, disamping harus menjaga nama baik institusi pendidikan yang terwujud dalam jas almamater, juga sebagai pengontrol diri dilingkungan sosial. Efeknya saat mengenakan jas alamamater harus mampu menjaga sikap laku dikhalayak umum, tanggungjawab moril itu selalu ada.

Lalu bagaimana dengan sekarang ini, jika kita menyaksikan tayangan-tanyangan ditelevisi sering menampilkan mahasiswa-mahasiswi yang mengenakan jas almamter. Baik dalam gerakan aksi penyampaian aspirasi, atau hanya sebagai figuran di sinetron dan bahkan ada hanya sebagai penonton lawakan distudio televisi. Yang kedua dan ketiga ini menurut saya sangat menyakitkan, sangat mengganggu. Mahasiswa berjas almamater tersebut diposisikan hanya berperan sebagai figuran, penonton atau sebagai tukang sorak untuk memeriahkan suasana. Mahasiswa dengan identitas keluhuran pendidikan tinggi sering dijadikan bahan olok-olokan pelawaknya, tidak dipandang sebagai kaum terpelanjar pembangun peradaban bangsa. Jas almamater hanya dijadikan indentitas dari kampus mana, tidak lebih dari itu. Jika hanya ingin menginfomasikan dari kampus mana tidak perlu dengan jas almamater, terlalu sempit fungsinya jika hanya sebatas itu. Herannya, kaum terdidik yang mengenakannya, seperti sangat menikmati saat pelawak atau pengisi acara merendahkan mereka dengan dikerjai atau dijadikan bahan olok-olokan. Secara personal itu sah-sah saja jika mereka memang tidak berkeberatan, itu bagian hak azasi. Tapi yang sangat disesalkan saat mereka mengenakan simbol dari semangat dan harapan suatu lembaga pendidikan. Dengan sadar maupun tidak, tindakan-tindakan seperti ini telah melunturkan nilai sakralitas dari almamater, yang kemudian melunturkan wibawa institusi pendidikan tinggi. Alamamater tidak ubahnya hanya sebagai jaket biasa atau pelengkap dari penampilan saja, tidak istimewa. Ironis.

Memang benar, menjalani hidup tidak perlu dipersulit dengan hal-hal yang bersifat simbolis. Tapi mohon lebih bijak memaknai semangat dan harapan dari suatu simbol.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline