III.
Sore ini aku kembali menikmati angin pantai sambil menanti senja yang sesaat lagi akan memamerkan kilaunya tepat di depan mataku. Ini hari ke dua di Kalabahi. Aku masih belum menemukan apa yang kucari. Biarlah, aku masih ingin menikmati keindahan kota kelahiranku yang mungkin aku takkan pernah melihatnya lagi.
Pantai Reklamasi, demikian nama pantai ini sekarang. Sudah mulai padat dengan warung-warung yang menyiapkan aneka makanan. Di sini sudah banyak pendatang, bukan hanya orang Alor asli. Kebanyakan dari pulau Jawa dan Makasar.
Beberapa warung ikan bakar sudah mulai menyiapkan bara. Kebetulan aku duduk di samping salah warung ikan bakar yang kata Seba memiliki Ikan bakar yang lezat. Aku ingin mencobanya malam ini. Itulah sebabnya aku sengaja mengambil tempat yang strategis sambil menunggu senja. Sendiri.
Jam tanganku masih menunjukan pukul 5 kurang. Aku membuka tasku dan mengambil hape yang sejak kemaren sengaja kumatikan. Dengan malas aku menekan tombol hitam kecil di pojok kanan atas untuk menghidupkannya.
Lebih dari sepuluh pesan masuk. Satu-satu kubaca. Beberapa dari rekan kerja yang sekedar bertanya kapan kembali ke Jakarta, pekerjaan numpuk dan sebagainya. Aku tak tertarik membalas semua pesan itu.
Matahari jelang senja lebih membuat hatiku berhasrat. Perlahan tapi pasti keindahan itu menentramkan hatiku. Lama sudah aku tak menemukan suasana ini. Jingga begitu mempesona memantulkan cahaya berkilauan di permukaan laut. Mengapa aku tak menyadari betapa nikmatnya anugerah alam yang kupunya sejak dulu?. Ah untuk inilah sebenarnya aku kembali ke Alor.
Berdamai dengan tempat yang sudah membentuk kebekuan dalam hatiku. Mencoba mencairkan bongkah-bongkah es yang telah lama membatu. Aku akan mulai dari sini dan beberapa hari ke depan, aku akan benar-benar menikmati keindahan pantai Alor untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
Sejak kejadian masa kecilku di pantai itu, aku tak pernah lagi menyentuh bibir pantai. Untuk menjejakkan kaki di pasir lembutnya pun aku tak berani. Ada benteng yang tinggi sekali yang menghalangi pandanganku ke laut lepas sejak itu. Tak pernah lagi aku mencari kerang atau bermain riak ombak bersama teman-teman kecilku.
Ah suasana ini begitu damai… burung-burung kecil naik turun ke permukaan, angin yang menggoyangkan badan perahu dan kapal-kapal kecil yang bersandar serta nuansa jingga yang begitu mempesona membuatku hanyut…sembari menikmati asap ikan yang sedang dibakar.
“Destri…? Lu Destri ko?” seorang pria berperawakan kurus tinggi kulit agak coklat tiba-tiba menghampiriku dan menyebut namaku.