Menulis telah menjadi "momok" bagi orang Indonesia. Yang dimaksud di sini bukan sekedar menulis, melainkan melahirkan gagasan dalam bentuk tulisan yang tertata rapi dan sistematis. Padahal seorang sarjana di Indonesia untuk lulus harus mengerjakan skripsi. Ini sebenarnya melatih mereka untuk menulis secara sistematis. Seorang mahasiswa master untuk lulus harus menulis tesis. Sedangkan mahasiswa doktoral harus menulis disertasi.
Orang Indonesia tidak sulit untuk menulis pesan di WA berpanjang-panjang. Namun untuk menulis sebuah artikel sederhana tidak bisa. Orang Indonesia juga pandai menulis di media sosial, entah sekadar tanggapan atau hoaks.
Media sosial di Indonesia menjadi tempat mencurahkan hati atau sekedar ngobrol ngalor-ngidul. Orang Indonesia sebenarnya punya potensi menulis dilihat dari ramainya media sosial. Namun menulis sesuatu yang bermanfaaat kurang diminati. Chatting menurut hemat saya tidak bisa disebut menulis. Kalimat-kalimat dalam chatting adalah bahasa lisan yang dituliskan.
Menulis adalah sesuatu yang tidak populer di Indonesia. Menulis adalah pekerjaan wartawan, penulis fiksi maupun non-fiksi, dan lain sebagainya. Kemunculan generasi penulis tidak berbanding lurus dengan penduduk Indonesia. Mahasiswa pun tidak tertarik menulis, kecuali tugas-tugas kuliah. Bagi mereka, menulis bukan sebuah gaya hidup. Menulis penuh dengan aturan-aturan yang menjemukan. Menulis tidak bisa menjamin kehidupan. Menurut hemat saya, ada beberapa alasan orang Indonesia malas menulis.
Pertama, orang Indonesia tidak terbiasa membaca. Sudah jamak diketahui minat baca orang Indonesia menurut UNESCO hanya 1 dibandingkan 1.000 orang. Indonesia juga menempat urutan terakhir dalam minat baca. Persoalan minat baca ini masalah serius. Minat baca merefleksikan intelektualitas sebuah bangsa. Semakin tinggi minat baca sebuah bangsa, semakin tinggi intelektualitas bangsa itu. Semakin rendah tingkat intelektualitas sebuah bangsa, keterlibatan bangsa itu dalam kancah internasional juga sangat sedikit.
Kedua, tingkat pendidikan yang rendah. Mayoritas tenaga kerja Indonesia berpendidikaan sekolah dasar. Setali tiga uang dengan minat baca, tenaga kerja berpendidikan SD ini tidak mampu memahami hal-hal yang bersifat konseptual. Mereka memang membaca koran dan menonton televisi, namun tidak bisa berpartisipasi lebih luas dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketiga, kecintaan membaca dan menulis tidak ditekankan dalam kurikulum sekolah dari SD hingga perguruan tinggi. Tidak ada bimbingan menulis di sekolah-sekolah kita. Sekolah-sekolah kita juga tidak mengajarkan kecintaan membaca buku sebagai bahan baku kemampuan menulis. Pengajaran menulis yang buruk mengakibatkan menulis tidak diminati oleh peserta didik kita.
Keempat, tidak tahu tujuan, manfaat. dan bagaimana menulis. Hal ini merupakan imbas dari pembelajaran membaca dan menulis yang buruk. Menulis tidak diajarkan secara sistematis. Penekanan pada teori bukan pada praktik mengakibatkan pengajaran menulis menjadi hapalan saja. Ditambah dengan guru-guru yang tidak terbiasa menulis, tapi mengajarkan menulis.
Kelima, penekanan pada aturan-aturan menulis ketimbang kecintaan terhadap menulis. Siswa-siswi di sekolah menengah dan mahasiswa di Indonesia tidak bebas mengeluarkan pemikiran orisinalnya. Ketika seorang mahasiswa harus menulis skripsi dan tesis, misalnya, mereka langsung dibelenggu oleh aturan-aturan dan metodologi yang begitu ketat. Mereka tidak dibebaskan bereksperimen dengan pemikiran mereka sendiri. Dosen terlalu ketat mengatur mereka. Mereka telah terlebih dahulu dikerangkeng dengan aturan-aturan menulis yang ketat dan membelenggu. Mereka tidak dilatih untuk menulis dengan bebas.
Aturan-aturan itu sebenarnya sudah kuno. Menulis adalah kegiatan mencipta. Menulis adalah tindakan kreatif. Seharusnya siswa-siswi dan mahasiswa diajak untuk mencintai menulis. Sayangnya, para guru dan dosen tidak memahami ini. Mendiang Prof. Dr. Andries "Hans" Teeuw pakar bahasa Indonesia dari Universitas Leiden, Belanda, pernah menulis bahwa skripsi mahasiswa Indonesia adalah cukilan berbagai teori yang kadang ditulis tanpa analisis sama sekali.
Keenam, orang Indonesia lebih cenderung berbudaya lisan. Buat apa menulis? Bicara lebih mudah, walaupun kemudian sering dilupakan. Menulis itu sulit. Demikian pikiran sebagian orang Indonesia.