Lihat ke Halaman Asli

Hanvitra

Penulis Lepas

Sampai Jumpa, Mas Hernowo!

Diperbarui: 2 Juni 2018   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya terkesiap. Sebenarnya saya hampir tak percaya bahwa Mas Hernowo Hasim, motivator menulis Indonesia sudah tiada. Ia meninggal pada 24 Mei lalu. Saya baru tahu Mas Hernowo benar-benar meninggal setelah iseng mengetikkan namanya di mesin pencari Google. Kebetulan saya ingin membaca artikel-artikel beliau tentang kepenulisan untuk menyegarkan syaraf kepenulisan saya. Saya akhirnya ngeh bahwa beliau benar-benar dipanggil Allah SWT di bulan Ramadhan tahun ini.

Saya mengoleksi beberapa artikel dan buku-buku Mas Hernowo.  Saya mulai berkenalan dengan pemikiran dan karya-karya Mas Hernowo saat berstatus sebagai mahasiswa UI hampir dua puluh tahun lalu. Pertama kali membaca bukunya adalah ledakan kreativitas yang luar biasa yang saya rasakan.

Buku-buku yang beliau tulis atau beliau editori adalah buku-buku yang meng-Quantum, yakni mengalirkan radiasi yang luar biasa untuk membaca dan menulis. Beliau benar-benar meledakkan semangat generasi kami untuk menulis. Apalagi masanya pada waktu itu adalah pasca reformasi di mana kebebasan benar-benar dihargai. Dengan memanfaatkan ledakan kebebasan itulah, buku-buku Kaifa Mizan benar-benar meledakkan generasi mahasiswa pasca reformasi.

Sebelum reformasi, dunia perbukuan belum sebebas sekarang. Buku-buku masih harus disensor dan dilitsus. Memang sempat terjadi booming buku-buku Islam. Apalagi pada waktu itu sedang terjadi ledakan sarjana muslim di kampus-kampus umum. Mizan pada waktu banyak menerbitkan buku-buku karya penulis Iran, Mesir, Syiria, dan lain sebagainya.

Banyak buku tersebut dieditori oleh Mas Hernowo. Penulis-penulis pribumi pun bermunculan. Saya ingat buku karya Muthahhari, Ali Syariati, Muhammad Quthb, Thariq Ramadhan (cucu Hasan Al-Banna), Paul Findley, Ziauddin Sardar, Nurcholish Madjid, KH Azhar Basyir, almarhum M. Dawam Rahadjo, Jalaluddin Rakhmat, M. Quraish Shihab. Emha Ainun Nadjib, dan lain sebagainya. Kebangkitan Islam di Indonesia pun tidak lepas dari buku-buku itu. Dalam hal ini kepiawaian Mas Hernowo dalam mengemas buku-buku itu menjadi buku-buku yang bertenaga tidak dapat dilepaskan begitu saja.

Buku-buku karangan Mas Hernowo yang lahir kemudian turut meramaikan khazanah dunia kepenulisan dan dunia pemikiran Islam. Gagasannya mengenai "mengikat makna" merupakan salah-satu gagasan beliau yang sangat applicable.  Sejak itu pula Mas Hernowo sering menulis di internet. Walaupun tulisan cenderung singkat dan kurang memuaskan, tapi tetap menjadi oase bagi para pembelajar menulis maupun para penulis yang ingin menyegarkan lagi syaraf kepenulisannya. 

Beliau juga sangat peduli dengan fenomena copy-paste yang sering dilakukan generasi millenial Indonesia. Beliau terjun langsung dalam memajukan literasi di republik ini. Mas Hernowo aktif mengisi diskusi dan pelatihan mengenai kepenulisan. Beliau telah menorehkan amal shaleh dalam dunia kepenulisan ini. Sang pengarang memang telah mati. Namu jiwanya terus hidup melalui tulisan-tulisannya.

Kini Mas Hernowo telah tiada. Saya ingat sebuah hadis yang mengatakan, "Kelak di hari Kiamat tinta para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada."  Mas Hernowo memang bukan ulama dalam pengertian formal, tapi beliau merupakan seorang "ulama" dalam pengertian seseorang yang berpengetahuan dan berwawasan luas dan telah menuangkan tinta bagi mereka yang berada di dalam kegelapan. Selamat jalan, Mas Hernowo. Ila al-liqo, sampai jumpa di akhirat nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline