Sinetron "Salah Asuhan" sedang ditayangkan di sebuah stasiun TV swasta. Sinetron yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya sastrawan asal Minangkabau, Abdul Muis ini mengundang minat banyak orang untuk menonton. Namun jika kita membandingkan sinetron tersebut dengan novel aslinya, ada perbedaan yang signifikan. Hal ini berkaitan dengan semangat dan tema besar yang melatarbelakangi novel.
Tema sinetron tersebut adalah percintaan antara Hanafi, seorang pemuda Minangkabau, dengan Corie seorang gadis Indo peranakan. Setting ceritanya dipindahkan dari Ranah Minang ke Jakarta pada abad ke-21. Ada semangat yang hilang dalam sinetron tersebut jika dibandingkan dengan novel aslinya. Sinetron tersebut terlalu berpusat pada kisah cinta yang kompleks antara Hanafi dan Corie dibumbui dengan sedikit masalah adat di era kekinian.
Yang luput dari sinetron "Salah Asuhan" tersebut adalah tema besar yang mendasari novel tersebut. Yang menjadi latar belakang dari novel tersebut adalah benturan antara nilai-nilai modern (Barat) dengan nilai-nilai tradisional (adat) yang masih dipertahankan pada era tersebut bahkan sampai kini. Tema-tema perbenturan antara kemodernan dengan adat-istiadat Minangkabau memang menjadi tema yang populer dalam novel-novel karangan penulis dari Minangkabau yang diterbitkan pada era tersebut.
Hanafi, tokoh utama dalam novel tersebut, adalah seorang pemuda Minang yang disekolahkan ibunya hingga ke Batavia (Jakarta). Hanafi mengenyam pendidikan Belanda yang modern dan rasional. Hanafi dibesarkan dalam budaya Barat. Sedangkan ibu Hanafi sendiri hanyalah seorang perempuan kampung namun mempunyai visi jauh ke depan. Tujuan ibunya menyekolahkan Hanafi adalah agar ia bisa berkontribusi untuk kemajuan kampung halamannya. Namun ibu Hanafi menginginkan sesuatu untuk Hanafi agar ia tak kehilangan keminangannya, seorang istri dari kampungnya sendiri.
Hanafi menolak keinginan ibunya karena ia mencintai Corie, seorang noni Belanda yang berpikiran terbuka dan modern. Hanafi menganggap ibunya kampungan dan mencerca budaya Minangkabau sebagai sesuatu yang kolot dan ketinggalan zaman. Ia tak suka dengan adat-istiadat yang mengekang. Ia ingin menikah dengan Corie yang merepresentasikan budaya barat yang dianggap lebih maju. Di sinilah letak "salah-asuhan" yang dimaksudkan sang pengarang. Hanafi ternyata selama ini diasuh dalam budaya barat yang menyebabkannya melupakan bahkan menentang adat dan budayanya sendiri.
Hanafi dibesarkan dalam budaya Eropa yang bebas dan modern. Hanafi "telah asuhan". Hanafi bukan lagi seorang pemuda Minangkabau yang akan memajukan kampung halamannya. Ia bahkan menolak mentah-mentah budaya Minang yang baginya tidak mengindahkan kemajuan zaman.
Walaupun dalam novel tersebut diceritakan Hanafi terpaksa menuruti keinginan ibunya untuk menikahi Rabiah, seorang gadis kampung yang penurut. Pernikahan Hanafi dan Rabiah dikaruniai seorang putra. Namun Hanafi tetap memendam cintanya kepada Corie. Ia menganggap istrinya hanyalah seorang wanita kampung yang tidak berpendidikan. Padahal Rabiah amat taat kepada Hanafi dan mertuanya. Rabiah adalah seorang wanita kampung yang mempunyai akhlak yang baik.
Hanafi akhirnya menyusul Corie ke Batavia. Hanafi dan Corie hidup bersama selama beberapa waktu. Tak lama berselang, Corie divonis menderita penyakit berat dan kemudian meninggal dunia. Hanafi lalu menyadari kesalahannya dan bertekad kembali kepada ibunya dan Rabiah.
Konflik dalam novel tersebut bukan cinta segitiga Corie-Hanafi-Rabiah namun konflik nilai (conflict of values). Tema itulah yang sebenarnya mendasari novel "Salah Asuhan" ini. Pengarang novel ini, Abdul Muis, bukan hanya seorang sastrawan. Beliau juga seorang intelektual, aktivis Sarekat Islam, dan jurnalis. Abdul Muis menjadi tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan. Ia menerbitkan sejumlah koran berwawasan nasionalis. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar pahlawan nasional. Namanya diabadikan menjadi nama jalan protokol di beberapa kota di Indonesia.
Mengadaptasi sebuah novel menjadi sebuah sinetron atau film memang tidak mudah. Apalagi bila dihadapkan pada penonton yang berasal dari berbagai katagori umur dan latar belakang. Beberapa penyesuaian harus dilakukan. Adaptasi novel "Laskar Pelangi" ke film, misalnya, harus menambahkan beberapa aktor baru yang tidak ada dalam novel.
Di satu sisi, kita bersyukur masih ada rumah produksi yang mau mengangkat sastra klasik Indonesia. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh rumah produksi lainnya. Namun di sisi lain ada yang harus dikorbankan. Semangat yang mendasari novel itulah yang dihilangkan. Hal ini patut disayangkan karena semangat itulah yang menghidupkan novel itu.