Demokrasi kini telah menjadi 'agama' dunia. Ribuan orang memuja demokrasi. Mereka menganggap demokrasi akan memberi jalan keluar dari berbagai permasalahan politik, ekonomi, finansial, sosial dan budaya. Demokrasi dianggap sebagai sistem yang par excellence.
Sebenarnya demokrasi adalah sistem yang tidak sempurna. Banyak cacat dalam demokrasi. Namun semua itu ditutupi dengan berbagai macam slogan tentang demokrasi. Berbagai kajian yang dilakukan oleh ilmuwan Barat selalu membangga-banggakan demokrasi sebagai sistem yang paripurna. Para cendekiawan Indonesia begitu terpesona dengan demokrasi sehingga melupakan aspek-aspek buruk dari demokrasi itu sendiri.
Ada beberapa kelemahan demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung tidak menghasilkan pemerintahan yang stabil. Menguatnya peran oposisi menyebabkan tidak pernah tercapainya konsensus di parlemen. Hal ini menjadikan parlemen rentan dengan naik-jatuhnya pemerintahan. Pemerintahan yang tidak mampu meredam konflik di parlemen akan kehilangan legitimasi untuk berkuasa.
Kedua, demokrasi menciptakan konflik sosial dan politik yang parah. Masyarakat mengalami segregasi dan berpeluang untuk berkonflik atas nama ideologi politik, agama, dan kepentingan. Ketiga, demokrasi melahirkan pemimpin yang populis tapi bukan yang terbaik.
Keempat, demokrasi selalu diiringi dengan kapitalisme. Hampir semua negara yang menerima demokrasi selalu dibarengi dengan masuknya modal asing.
Memang ada negara-negara demokrasi yang mengadopsi sosialisme seperti negara-negara Skandinavia. Namun sudah menjadi gejala umum bahwa demokrasi liberal selalu dibarengi kapitalisme liberal. Demokrasi adalah sebuah sistem yang menghargai hak-hak individu. Setiap individu bebas menentukan pilihan politiknya sendiri. Kemerdekaan berekspresi, berserikat, dan berkumpul dilindungi oleh Undang-undang. Demokrasi menuntut keterlibatan warga negara dalam pemerintahan yang berkuasa.
Partisipasi warga negara dalam menentukan arah dan jalannya pemerintahan sangat penting. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun dalam praktiknya, justru partai politik dan elit-elit politik dan ekonomi yang berkuasa. Demokrasi yang ideal hanya mungkin diterapkan pada model negara-kota seperti halnya Sparta dan Athena di Yunani Kuno. Faktor budaya menjadi salah-satu penentu mampu tidaknya sebuah negara menerima demokrasi. Demokratisasi di negara-negara Timur Tengah yang disponsori Amerika Serikat (AS) ternyata menemui kegagalan.
Masyarakat Timur Tengah secara budaya tidak bisa menerima demokrasi. Budaya paternalistik dan feodal masih bertahan di Timur Tengah. Upaya menegakkan demokrasi menjadi sia-sia. Sebagai contoh Libanon yang menerapkan conscoational democracy. Negeri ini terus dilanda konflik berdarah antara berbagai kelompok agama di sana untuk memperoleh jabatan-jabatan politik.
Dilihat dari kacamata agama-agama besar dunia seperti Hindu, Islam dan Budha, penekanan pada hak-hak individu akartentangan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Lihat saja India. Negara tersebut menerima demokrasi, namun masyarakat lebih bisa diajak berpikir lebih terbuka kecuali elit-elitnya.
Samuel P. Huntington bahkan mengatakan hanya negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan yang dapat menerapkan demokrasi dengan baik. Bahkan Huntington menambahkan hanya negara-negara Eropalah yang mampu menerapkan demokrasi dengan sempurna. Dilihat dari kacamata ekonomi, demokrasi baru berjalan jika pendapat per kapita suatu negara cukup tinggi dan tingkat pendidikan yang baik.
Jika demokrasi diterapkan pada negara-negara miskin dan tingkat ekonominya rendah akan menyebabkan situasi khaos atau kacau. Coba lihat saja negara-negara demokrasi di Afrika yang tak putus dirundung konflik. Pembunuhan massal dan konflik etnis sangat sering terjadi di negara-negara Afrika yang pro-demokrasi.