Ketimpangan sosial merupakan salah-satu masalah serius bangsa Indonesia. Berdasarkan laporan salah-satu media nasional, ketimpangan Indonesia kian melebar. Saat ini jumlah orang miskin jauh lebih banyak daripada orang kaya. Dan kekayaan bangsa Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir elit ekonomi dan politik.
Presiden Jokowi lebih berorientasi pada perbaikan dan penambahan infrastruktur daripada menciptakan perekonomian yag lebih adil. Tugas negara adalah mendistribusikan kekayaan kepada kelompok-kelompok yang rentan kemiskinan. Asumsi pertumbuhan ekonomi menyiratkan adanya sebagian kelompok besar yang seharusnya menerimaa trickle down effect(efek tetesan ke bawah). Namun teori ini tidak berhasil diterapkan karena banyak kelemahan. Efek tetesan ke bawah rupanya tidak benar-benar terjadi.
Membangun ekonomi sebenarnya tidak mudah. Ada banyak hal yang harus diprioritaskan. Namun membangun demokrasi ekonomi menjadi satu hal yang sangat penting. Pemerintah harus menciptakan demokrasi ekonomi dengan mendistribusikan kekayaaan nasional kepada kelompok-kelompok yang benar-benar membutuhkan. Pembangunan nasional lebih ditujukan untuk membangun industri-industri besar daripada membangun ekonomi kerakyatan. Alasan klise yang sering dipakai adalah industri-industri besar menyerap banyak tenaga kerja dan modal.
Namun yang sering dilupakan orang adalah perlunya keberpihakan pemerintah kepada golongan ekonomi lemah. Inilah esensi dari demokrasi ekonomi. Pemerintah perlu membangkitkan partisipasi ekonomi ekonomi golongan lemah. Di era demokratisasi, pemerintah perlu menciptakan regulasi yang berpihak kepada mayoritas penduduk yang miskin. Kemiskinan adalah masalah akut dalam pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi Indonesia bercorak liberal dan kapitalistis. Dan sudah dimulai sejak zaman kolonial. Sila ke-5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah sila paling sial karena susah diwujudkan. Pembangunan hendaknya membangkitkan semangat masyarakat untuk berinovasi dan mandiri ketimbang hanyaa memberi mereka subsidi yang digunakan untuk hal-hal yang konsumtif.
Paradigma pembangunan Indonesia belum berubah sejak Orde Baru. Kita masih mengandalkan utang luar negeri untuk menambal defisit APBN. Sementara penerimaan pajak tidak memenuhi target. Di era globalisasi ekonomi sekarang, utang luar negeri adalah sesuatu yang biasa. Bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) pun mempunyai utang luar negeri. Namun menurut Bung Hatta, utang luar negeri boleh dilakukan asalkan negara-negara kreditor tidak mencampuri urusan politik dalam negeri.
Indonesia telah terjerembab dalam jebakan utang. Sebagian pengamat ekonomi beraliran liberal menganggapnya lumrah. Namun hutang luar negeri Indonesia sungguh sangat besar. Kini ditambah lagi dengan hutang kepada Tiongkok. Indonesia belum mampu menciptakan kemandirian ekonomi karena kebijakan ekonomi kita dipengaruhi negara-negara kreditor. Kita memang membutuhkan investasi asing namun jangan sampai menciderai kebijakan ekonomi politik dalam negeri.
Harapan pemerintah Jokowi bahwa pembangunan infrastruktur akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan membuka isolasi masyarakat di daerah-daerah terpencil patut diapresiasi. Selain itu, masalah korupsi menjadi suatu hal penting yang menggerogoti ekonomi Indonesia. Trilyunan uang negara jatuh ke kantong oknum pejabat daripada ke kepentingan publik. Korupsi di birokrasi menyebar bagaikan mafia dengan jaringannya yang luas. Sedangkan di lembaga-lembaga tinggi negara seperti DPR korupsi masih kerap terjadi dengan memanfaatkaan celah di dalam undang-undang.
Demokrasi ekonomi kini menghadapi tantangan baru, yakni oligarki ekonomi dan politik. Politik dan ekonomi Indonesia dikuasai oleh sebagian kecil elit yang mengendalikan hampir seluruh bidang kehidupan. Demokrasi ekonomi masih berupa cita-cita belum menjadi sebuah kenyataan. Agaknya demokrasi ekonomi ini susah dilakukan karena banyaknya kepentingan yang bermain. Terlalu banyak tangan yang bermain dalam kebijakan ekonomi politik pemerintah. Negara tersandera kleptokrasi.
Masalah ketimpangan sosial tidak akan terjadi bila pemerintah menerapkan keadilan. Ketimpangan sosial di Indonesia adalah masalah struktural. Kemiskinan struktural ini diakibatkan oleh struktur ekonomi yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial. Untuk mengurangi ketimpangan sosial dapat dilakukan beberapa hal antara lain: penggejotan pendapat negara dari pajak, memberikan subsidi yang lebih besar kepada rakyat miskin, menciptakan akses kepada penduduk miskin dalam kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial, dan menciptakan demokrasi yang partisipatif.
Sangat baik kalau kita mencermati pendapat Amartya Sen bahwa kemiskinan terjadi karena tidak adanya kebebasan bagi warga negara untuk mendapatkan akses kepada pelayanan sosial. Kemiskinan juga terjadi karena tidak adanya kebebasan politik dan ekonomi. Menurut Sen, demokrasi dapat membantu mengurangi kemiskinan. Demokrasi dapat membunyikan alarm terjadinya kemiskinan dan kelaparan.