Lihat ke Halaman Asli

Hanvitra

Penulis Lepas

The Power of Writing, Belajar dari Kasus Afi

Diperbarui: 13 Juni 2017   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Betapa mengagumkannya kekuatan sebuah tulisan.  Ia menembus dunia gagasan, menghancurkan pemikiran yang beku, membuka cakrawala, dan membawa pengaruh yang tak terduga. Betapa mengagumkannya apa yang dilakukan oleh seorang Afi. Padahal ia baru berusia 18 tahun dari daerah yang jauh dari ibukota. Bukan anak sekolah elit yang biayanya berjuta-juta itu. Bukan pula juara fisika dan matematika internasional.

Jelas Afi mempunyai bacaan yang luas karena hanya orang yang membaca yang bisa menulis. Sebenarnya kalau mau jujur gagasan yang dituangkan Afi dalam tulisannya itu adalah gagasan dari banyak orang terdahulu, entah itu pemikir, teolog, filsuf, ulama, dan cendekiawan. Tulisannya pun dimuat di facebook, bukan di koran nasional atau KOMPAS yang terhormat itu. Di sinilah kekuataan media sosial. Siapa saja boleh menuangkan gagasannya. Sebenarnya saya punya banyak tulisan yang senada dengan tulisan Afi. Namun sayangnya saya tidak terkenal atau diundang ke istana Presiden.

Tulisan Afi hadir di saat momentum yang pas ketika Indonesia dilanda krisis identitas. Pertikaian antara umat beragama yang sepertinya sulit didamaikan. Banyak tulisan sebenarnya yang mirip-mirip tulisan Afi yang dituliskan oleh mereka yang mempunyai kompetensi di bidangnya. Namun tulisan mereka tidak terasa gemanya. Ini karena mereka menulis dengan bahasa ilmiah yang sulit dicerna oleh masyarakat awam. Sedangkan Afi menulis dengan semangat pelajar dengan model tulisan yang akrab dengan siapapun. Tulisan semodel tulisan Afi dapat kita baca di buku-buku Bahasa Indonesia SMU.

Kebiasaan Afi membaca patut diapresiasi apalagi ia hanyalah anak desa putri seorang penjual cilok. Bagi anak desa, membaca itu sebuah kemewahan. Anak-anak SMU di daerah Afi pun bisa dikatakan jauh dari literasi. Membaca buku bagi anak SMU sekarang ini bisa dikatakan jarang. Mereka lebih akrab dengan internet dan media sosial. Kita sepatutnya bangga dengan Afi karena ia membaca dan menulis.

Indonesia sedang krisis penulis. Memang banyak penulis muda bermunculan. Namun tulisan-tulisan mereka kebanyakan tidak serius. Buku-buku karangan anak-anak muda kebanyakan berisi tulisan kreatif yang lebih banyak menghibur daripada menulis hal-hal yang serius. Penulis-penulis kawakan banyak yang sudah meninggal. Kita kehilangan para cendekiawan seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur, Mahbub Junaidi, Umar Kayam, Romo Mangunwijaya, J. Drost, dan banyak lagi. Mereka sudah menulis sejak masa muda. Sedangkan penulis-penulis muda lulusan universitas tidak dapat diharapkan. Kampus hanya mendidik mereka untuk menulis skripsi yang tebalnya 50-70 halaman untuk memuaskan satu dua dosen saja.

Afi menurut saya adalah sebuah perkecualian dari generasi muda sekarang. Memang banyak sekali  juara fisika dan matematika, penemu, dan juara kompetisi ilmiah remaja. Tapi Afi melakukan sesuatu yang berbeda: menulis. Tidak banyak anak muda yang dikenal karena menulis dan juga membaca.

Saya tetap mengapresiasi apa yang dilakukan Afi terlepas dari berbagai kritik yang diajukannya. Saya kira dalam menulis terkadang kita mengambil inspirasi  dari banyak pihak. Itu sah-sah saja.

Saya kira Indonesia patut berbangga generasi mudanya ada yang pandai menulis di tengah kegersangan literasi di negeri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline