Lihat ke Halaman Asli

Hanvitra

Penulis Lepas

Setnov Jadi Ketua DPR Lagi?

Diperbarui: 23 November 2016   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sungguh memalukan dan memilukan ternyata para politisi di DPR tidak lebih dari mafia politik yang memperjuangkan golongan dan kepentingan masing-masing. Dilihat dari fatsoen politik, para politisi Indonesia yang terhormat itu tidak punya rasa malu lagi. Mereka bagaikan menjilat  ludah sendiri. Setya Novanto (Setnov) yang mengundurkan  diri sebagai ketua DPR karena kasus  ”Papa minta saham” kini diajukan kembali menjadi ketua DPR.

Tidakkah ia merasa malu di depan khalayak Indonesia? Setnov boleh saja tertawa lebar. Tebar senyuman ke sana ke mari. Ia berhasil melobi Presiden Jokowi dan minta maaf atas kejadian yang lewat. Setnov adalah “aktor teater politik” handal yang tahu kapan harus bicara ke media, maupun ke koleganya demi meraih sejumput kekuasaan.

Sebenarnya apa yang terjadi di panggung politik bangsa bagaikan telenovela yang tidak pernah selesai. Akan selalu begitu.  Politik bagaikan panggung dengan bermacam peran dan aktor yang datang dan pergi. Teater ini tidak akan pernah selesai mungkin sampai hari Kiamat nanti. Indonesia akan diisi politisi yang pandai memainkan mimik mukanya tanpa kedalaman substansi.  

Apa yang terjadi pada Setnov sekarang menunjukkan bahwa kepentingan politik berkelindan dengan kepentingan ekonomi. Turun dan majunya Setnow tidak lepas dari peran Freeport.  Namun Partai GOLKAR adalah partai yang sangat berpengalaman dalam dinamika politik Indonesia. Mereka bukan pemain recehan. Kemampuan Setnov maupun anak-anak buahnya tidak bisa dinafikan lagi. Apalagi mereka mempunyai sumber finansial yang kokoh. Para politisi Golkar sangat lihat dalam mempermainkan isu. Kisruh partai Golkar beberapa waktu lalu dapat dipersatukan lagi walaupun melalui perundingan yang alot.

Permasalahan dalam politik Indonesia adalah masalah etik atau fatsoen politik yang dengan mudah disepelekan begitu saja. Rasa malu sudah tidak ada lagi. Para politisi berpolitik tanpa rasa malu. Politisi kita tidak mempunyai marwah atau harga diri. Kalau di negara-negara maju, seorang pejabat publik yang melakukan kesalahan segera mengundurkan diri karena rasa malu yang amat sangat.

Masalah politik seakan dijauhkan dari moral. Padahal  moral berkaitan dengan baik-buruknya sebuah perbuatan. Politik hanya didefinisikan sebagai “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”  sebagaimana dikatakan oleh Harold Lasswel seorang pakar ilmu politik dari Amerika Serikat pada dekade 1920-an. Politik dipisahkan dari nilai dan etika. Ini menyebabkan etika politik menjadi relatif. Kita tidak pernah mengambil etika dan moralitas politik dari budaya bangsa kita sendiri. Dan kita menerima mentah-mentah pandangan ilmuwan politik asing tanpa menyesuaikannya dengan konteks Indonesia.

Pertanyaan dalam dunia politik yang segera harus ditanyakan kepada para politisi adalah untuk apa semua ini? Ini adalah pertanyaan serius dan filosofis. Mereka harus tahu apa tujuan politik mereka.

Sekarang dalam dunia politik berlaku “keuangan yang maha kuasa”. Jika mengacu kepada Aristoteles, ia berpendapat politik adalah sarana menuju kebahagiaan bersama. Sekarang politik adalah pergesekan kepentingan antara berbagai kekuatan.

Jelas sekali, Setnov tidak berdiri sendiri. Ada orang lain di belakangnya.  Orang yang lebih kuat dan lebih berkuasa. Sistem politik kita dikuasai oligarki. Sinetron “Papa minta Saham” yang belum berakhir kini berlanjut kembali. Setnov tidak peduli apa kata media. Begitu juga dengan partai-partai politik pendukungnya.

Sistem politik kita benar-benar dinamis. Namun dinamikannya tidak mengarah kepada hal-hal yang lebih positif, bahkan cenderung negatif. Para politisi di DPR  benar-benar merasa dirinya adalah bintang. Mereka selalu menonjolkan dirinya di depan kamera. Mereka menganggap dirinya adalah pejuang demokrasi.

Mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan demokrasi liberal yang kita pertahankan ini. Demokrasi yang tidak mengakar dalam budaya masyarakat kitaa. Demokrasi tidak bisa diterima sebagai sistem yang universal. Cukup kita memahami filosofi dari demokrasi itu sendiri.

Depok, 23 November 2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline