Lihat ke Halaman Asli

Hanvitra

Penulis Lepas

Kurban, Ajaran Islam yang Humanis

Diperbarui: 13 September 2016   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: theweek.co.uk

Hari Idul Adha kemarin, saya membantu ibu saya mengantarkan daging kurban ke beberapa kerabat dan handai tolan. Tak lupa, beberapa tetangga pun mendapat bagian. Ada ekspresi kebahagiaan di hati mereka dengan adanya pembagian kurban ini. Saya merasa mendapat sebuah pencerahan dari apa yang saya lakukan di hari raya Idul Qurban.

Kurban adalah ajaran Islam yang humanis. Yang berdimensi vertikal kepada Allah SWT dan juga kepada sesama. Dalam bahasa agamanya, hubungan kepada Allah (hablum min Allah) dan hubungan dengan sesama manusia (hablum min annas) keduanya tercakup di dalam ibadah Kurban. Penyembelihan kurban merupakan ekspresi kemanusiaan yang tiada tara.

Dimulai dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak yang dicintainya, Nabi Ismail. Sampai digantinya Ismail dengan korban domba. Ini membuktikan penyembelihan manusia untuk para dewa yang harus darah sebagaimana lazimnya pada agama-agama pagan harus dihentikan. Tuhan tidak haus darah. Ia Maha Kasih. Pengorbanan daging manusia kepada Tuhan atau dewa-dewa adalah menyalahi kemanusiaan.

Islam mengajarkan hanya Tuhan yang paling patut disembah dan dipuja. Tapi Tuhan tidak semena-mena dalam menetapkan aturan kepada manusia. Tuhan selalu memberi hikmah di balik ibadah yang dilakukan manusia.  Setiap ibadah yang diperintahkan Tuhan kepada manusia selalu diiringi manfaat baik secara spiritual dan sosial.

Dalam konteks ibadah kurban Allah SWT mencontohkan pengorbanan yang sejati dari seorang manusia kepada Tuhan, yakni mengorbankan sesuatu yang amat dicintainya kepada Allah SWT semata. Di situlah iman seseorang diuji mampukah ia mengorbankan sesuatu hanya kepada Tuhan. Di sini dituntut keikhlasan. Manusia dalam mengorbankan sesuatu kepada Tuhan haruslah diniatkan untuk ibadah semata.

Dalam konteks ini, seorang hamba harus mengorbankan egonya (keakuan), harta, dan bahkan jiwanya untuk meraih kemuliaan di sisi Allah. Dan Allah tidak semena-mena dalam menetapkan hikmah dibalik ibadah. Ismail yang hampir disembelih itu digantikan kambing qibas. Begitu juga dengan Tuha. Salah-satu nama-Nya dalam asma’ al-husna adalah “as-Syakur” atau maha membalas yang telah diberikan seorang hamba kepada Tuhan. Pengorbanan itu sebenarnya untuk manusia sendiri, bukan untuk Tuhan karena Ia tidak membutuhkan sesuatu. Justru manusialah yang butuh kepada Allah,

Secara psikologis, manusia selalu ingin mengorbankan sesuatu kepada yang dianggapnya lebih tinggi. Banyak orang berani mati untuk negaranya, agamanya, bahkan ideologinya. Namun semua itu palsu. Yang pasti, kita haruslah berani mati karena kebenaran dan kebaikan. Dua sifat di atas direpresentasikan pada figur Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Bukan perkara mati untuk apa dan siapa. Melainkan motif di balik pengorbanan yang dilakukan itu. Tuhan adalah zat yang tidak pernah mati dan kasih-Nya melampaui amarah-Nya. Melalui ibadah Kurban, Allah menggerakkan jiwa-jiwa manusia untuk memberikan korban kepada fakir-miskin sebagai bentuk pengejawantahan sifat Kasih-Nya.

Kurban merupakan ajaran humanis Allah SWT. Sebagai pengingat kita bahwa Tuhan tidak butuh daging dan darah binatang, melainkan keikhlasan dan amal shaleh kita. Ibadah kurban adalah ibadah yang manusiawi yang menyadarkan kita bahwa kita tidak boleh hidup egois dan individualistik. Kita hidup bersama manusia-manusia lainnya yang boleh jadi hidupnya tidak seberuntung kita. Hidup adalah berbagi dan mengasihi. Itulah semangat Idul Kurban.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline