Sebentar lagi pemilihan umum kepala daerah se-Indonesia akan dilaksanakan serentak. Partai-partai tengah menyiapkan calon kepala daerah dan strategi terbaik. Sedangkan rakyat di akar rumput menanti-nanti dengan cemas. Seperti apakah kepala daerah mereka nanti?
Sebagian aktivis politik mendapat keuntungan dari menggeluti kontestasi kepala daerah. Rakyat diiming-imingi kaos partai dan sedikit uang. Bagi rakyat jelata hanya itu yang mereka pahami. Mereka tidak paham dengan visi, misi dan integritas pemilih. Bahasa para calon kepala daerah ini terlalu tinggi tidak sepadan dengan pendidikan rakyat jelata yang masih rendah.
Literasi politik untuk rakyat terutama bagi mereka yang berpendidikan rendah amatlah kurang. Sehingga mereka memilih karena ada iming-iming uang yang sebenarnya amat kecil. Para calon kepala daerah pun siap ‘mengguyur’ uang yang tidak sedikit. Mereka tahu bahwa kunci kemenangan terletak pada ‘serangan fajar’ menjelang pencoblosan suara, bukan pada kemampuan menjabarkan visi dan misi di hadapan konstituen mereka.
Bagi rakyat kecil yang memiliki pendidikan rendah, literasi politik nyaris tak ada artinya. Literasi bak barang mewah bagi mereka. Mereka baru dalam tahap membaca dan menulis.
Literasi bukan hanya mampu membaca dan menulis saja. Literasi mencakup kemampuan seorang untuk memahami bacaan dan mentransformasi hasil bacaan tersebut dalam kehidupannnya. Literasi mencakup kemampuan untuk bersikap kritis atas bahan bacaannya. Kemampuan baca dan tulis amat penting bagi seseorang untuk memasuki era demokratisasi dan globalisasi.
Literasi berkaitan dengan pendidikan. Mereka yang literate biasanya mempunyai pendidikan yang lebih baik dari mereka yang iliterat. Dengan literasi yang tinggi, seorang warga negara dapat terlibat dan berpartisipasi dalam proses pengambilam keputusan di wilayahya. Mereka yang literat tidak mudah menjadi penonton dan pengikut saja. Mereka mampu mengkritisi berbagai pendapat dan bahkan berani berargumentasi dengan siapa saja –khususnya para kandidat parpol.
Literasi dan politik sesungguhnya sangat berkaitan erat. Literasi memungkinkan warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik. Literasi mengakibatkah warga negara dapat mengkritisi isu-isu politik. Literasi mengakibatkan seorang individu dapat mengakses media yang memungkinnya mengetahui informasi-informasi terbaru sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.
Sayang, sekali mayoritas penduduk Indonesia masih berpendidikan rendah. Mereka tidak bisa mengakses sumber-sumber informasi yang disediakan masyarakat, seperti media cetak, televisi, radio, dan internet. Kesadaran warga untuk memiliki “melek media” (media literacy) amat rendah. Mereka tidak mampu mengkritisi tayangan-tayangan televisi yang berbahaya bagi mereka dan anak-anaknya.
Demokrasi tanpa literasi, itulah yang kita rasakan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia, umumnya yang tinggal di luar Jakarta dan Pulau Jawa, bisa dikatakan masih buta literasi. Boleh jadi mereka mampu membaca, namun bacaan itu tidak banyak bermanfaat bagi kehidupan mereka. Dengan mudah, para politisi dengan kepentingan tertentu berusaha untuk menyebarkan popularitasnya hanya dengan memberi mereka sejumlah uang dan barang.
Sedangkan di Jakarta, jumlah penduduk yang literat jauh lebih banyak. Mereka adalah warga negara yang kritis terhadap kekuasaan. Mereka tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai isu yang menerpa. Mereka memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang mereka yang tinggal di pedesaan.
Memang banyak sekali media yang beredar di Indonesia, baik media cetak, elektronik, dan digital, namun itu semua belum cukup untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat kita. Media cetak, saat ini akan mengalami kejatuhan karena kalau bersaing dengan media elektronik dan media digital. Padahal informasi yang disebarkan oleh media cetak lebih akurat dan menyeluruh. Masyarakat Indonesia kurang suka membaca. Mereka lebih suka menonton media elektronik yang lebih cepat. Padahal media elektronik (televisi dan radio) mengalami keterbatasan dibanding media lainnya. Kemunculan media digital diperkirakan oleh para ahli akan menggantikan media cetak.