Abad mendatang adalah abad digital. Dunia akan dipenuhi dengan jaringan internet yang bisa digerakkan hanya dengan ujung jari. Kita tidak bisa mengelak dari kenyataan ini. Masa depan kita dan juga anak-anak kita bukan lagi komputer atau ponsel yang kita gunakan, melainkan komputer atau gawai yang jauh lebih canggih dari itu semua. Hukum Moore, prinsip praktis yang melandasi industri teknologi, memberitahu kita bahwa prosesor chip- papan sirkuit kecil yang menjadi tulang punggung setiap perangkat komputasi- berlipat ganda kecepatannya setiap delapan belas bulan. Artinya, komputer tahun 2025 akan enam puluh empat kali lebih cepat dibanding keluaran 2013.
Hukum lain yang sifatnya prediktif, tentang fotonika (photonics, penyebaran informasi) mengatakan jumlah data yang disalurkan melalui kabel-kabel serat optik –bentuk tercepat konektivitas – berlipat ganda kira-kira setiap sembilan bulan. Kita bisa menolak atau melawan. Melawan sama saja kembali ke masa-masa primitif. Teknologi yang kira tercanggih saat ini belum tentu akan digunakan di masa depan. Windows XP atau Seven atau 8.1 yang Anda pakai saat ini suatu saat nanti akan masuk museum. Masa depan kita adalah hologram a la Star Trek, robot yang bisa digerakkan hanya dengan pikiran, mobil tanpa pengendara yang diprogram dengan komputer, kecerdasan buatan, dan ponsel pintar yang dapat memonitor penyakit dan gaya hidup kita. Semua itu bukan bualan. Dalam waktu dekat, semua akan terwujud.
Bagaimana nasib manusia di masa depan? Akankah kemanusiaan akan tergerus? Tampaknya situasinya akan seperti itu. Di era generasi Z yang telah teradiksi gawai-gawai canggih, interaksi antar manusia akan berubah. Manusia akan lebih mengidentifikasi dirinya melalui status-status di media sosial ketimbang di dunia nyata. Manusia di era mendatang lebih merasakan eksistensinya di depan dunia maya ketimbang di dunia nyata. Individualisme, alienasi, kehampaan, dan anarki sangat mungkin akan mewarnai dunia. Kita sudah bisa mencium gelagat itu di era sekarang.
Internet telah mengubah gaya hidup dan cara pandang manusia. Tanpa internet, dunia seakan sepi tanpa interaksi. Internet dan ponsel cerdas adalah kebutuhan primer yang melebihi kebutuhan papan, sandang, dan pangan. Gawai telah menjadi identitas dan komoditas yang paling dicari. Internet dan gawai menjadi modus bereksistensi. Manusia kehilangan keberadaan dirinya di tengan lautan konten di dunia digital.
Bagaimana memaknai ini semua? Di era digital, segala sesuatu berjalan di atas kedangkalan atau tidak malah disebut kehampaan. Manusia di era tersebut berpikir dan merenung secara dangkal. Kecepatan menjadi primadona. Dunia bergerak dalam hitung bytes per second, bukan hitungan jam dan detik. Di era ini, informasi adalah segalanya. Tanpa informasi, dunia tidak bergerak. Informasi ditentukan oleh kecepatan bandwith. Manusia akan kelimpahan informasi dan mengambil keputusan berdasarkan atas informasi yang didapatkannya itu. Manusia bisa menjadi “tuhan kecil” yang lebih mengakui eksistensi kecerdasannya ketimbang kemanusiannya.
Itulah paradoks dunia digital. Di era digital semuanya berubah. Kita harus bisa menyiasati dunia digital ini anugrah dan keburukan sekaligus. Di satu sisi ia menyajikan konten pengetahuan yang tanpa batas sekaligus. Namun sayang pengetahuan itu belum dapat dikatagorikan sebagai ilmu. Ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan metodologis mengenai suatu obyek. Ilmu tidak sama dengan informasi. Informasi dapat berupa berita, ficer, gosip. Informasi dapat berupa apa saja. Berita mengenai seorang selebriti merupakan informasi, tapi bukan ilmu pengetahuan atau sains. Sains mengandung logika tertentu. Ada sebuah hubungan sebab-akibat, penarikan konklusi, abstraksi, observasi, dan metodologi. Jurnalisme digital memang menyajikan informasi, tetapi bukan ilmu yang membutuhkan kedalaman. Manusia di era digital memang banyak tahu, tetapi bukan berarti mereka berilmu pengetahuan.
Kedua istilah ini sering dikacaukan. Mereka yang berilmu mempunyai struktur berpikir yang runut dan logis. Di dunia maya banyak informasi bertebaran. Tetapi itu semua tidak bisa ditelusuri kebenaran. Oleh karena itu kita tidak bisa percaya begitu saja terhadap informasi pada situs-situs yang belum tentu dapat diverifikasi kebenarannya. Di sini kita membutuhkan kemampuan untuk menyeleksi informasi dan pengetahuan agar tidak menjadi bingung sendiri. Sayangnya, tidak semua pengguna internet mempunyai kemampuan ini. Pada usia-usia tertentu kebanyakan orang tidak dapat melakukannya. Remaja-remaja yang tengah labil emosinya, biasanya tidak bisa membedakan antara pengetahuan dan informasi. Mereka mengambilnya begitu saja dari sumber-sumber yang tak terpercaya.
Di internet, manusia bebas berekspresi. Sayangnya, etika berinternet kurang dipatuhi oleh banyak orang. Internet akhirnya menjadi saluran yang liar. Siapa saja boleh berkomentar. Kegaduhan sering kita temui di dunia maya. Di media sosial, kita bebas menghujat dan mengumpat atau memuji dan mengapresiasi siapa saja. Anarki terjadi di dunia maya. Saat ini internet menjadi ruang nir etika dan moral. Agaknya, generasi Z yang telah kecanduan internet kurang mendapat pendidikan moral dan etika.
Dalam hal ini kita bisa berpendapat, internet sebenarnya tidak bebas nilai. Sepanjang sejarah teknologi, selalu ada perdebatan antara kaum determinisme dan instrumentalisme. Kaum determinisme teknologi berpendapat teknologi tidak bebas nilai. Teknologi membawa nilai-nilai tertentu. Teknologi menentukan relasi sosial dan budaya tertentu. Teknologi mengubah paradigma manusia dalam mendefinisikan pengetahuan. Teknologi membawa ideologi tertentu. Dengan kata lain, teknologi adalah produk budaya. Sedangkan kaum intrumentalis mengatakan bahwa teknologi secara etis netral. Ia tidak terkait dengan nilai-nilai kebaikan dan kesalahan. Sebuah pisau bisa digunakan untuk memotong bawang atau membunuh manusia. Pisau itu teknologi yang bisa digunakan sesuai dengan niat penggunanya. Jika penggunanya jahat ia bisa mengancam orang lain dengan pisau itu. Jika ia baik, pisau bisa digunakan untuk memotong daging untuk orang miskin.
Namun semua itu berbeda, misalnya, kalau kita membedakan antara rencong dan keris. Kedua sama-sama pisau, namun membawa nilai-nilai budaya sendiri. Rencong adalah kebanggaan orang Aceh. Rencong dipakai sebagai simbol dan status pemiliknya. Bentuknya pun khas dan alat ini dipasang di depan. Rencong tidak digunakan untuk memotong hewan atau tanaman padahal ia tetap pisau. Dalam situasi tertentu, rencong digunakan untuk berkelahi atau berperang. Begitu juga dengan keris yang dibuat dengan filosofi tertentu. Keris juga menunjukkan simbol dan status pemiliknya. Dengan ukiran-ukiran yang mengandung makna tertentu, keris dapat berarti banyak bagi pemakainya yang kadang berkaitan dengan hal-hal mistik. Keris dipakai dalam ritual-ritual budaya.
Sama halnya dengan internet. Dari penelusuran di atas, kita bisa mengatakan internet sebenarnya tidak bebas nilai. Internet membawa ideologi tertentu. Walaupun pendapat bahwa teknologi bebas nilai itu ada benarnya, akan tetapi sebenarnya ada nilai yang dibawa internet. Internet membawa nilai kebebasan, kecepatan, sekaligus kebajikan dan kejahatan. Internet bisa mempengaruhi cara kita bertindak. Internet mengubah kemanusiaan kita. Internet menularkan demokratisasi ke negara-negara dunia ketiga.