Saya bukanlah ahli dalam filsafat ataupun menjalani pendidikan ilmu filsafat secara ketat. Disini saya mencoba menelaah mengenai apa yang sudah saya baca dalam buku "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring. Setelah menamatkan buku ini, saya mendeteksi kemiripan antara filsafat Stoikisme dengan kehidupan pewayangan sanggit garapan Ki Seno Nugroho yang akan saya paparkan secara sederhana menurut pemahaman saya.
Oiya, sebagai disclaimer. Artikel ini saya tulis sebenarnya untuk memberikan review terhadap buku "Filosofi Teras" namun saya coba sajikan dengan interpretasi yang lebih praktikal dengan mengambil kisah pewayangan. Selain itu saya juga memiliki misi untuk melestarikan budaya Jawa (khususnya wayang) secara lebih populer.
Buku "Filosofi Teras" sebuah buku filsafat yang disajikan dengan bahasa populer kekinian. Bahkan sub judul buku ini adalah 'Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini' yang tentu saja menjadi magnet tersendiri bagi calon pembaca yang memilih buku dengan melihat sampulnya. Tidak sulit menemukan buku ini di toko buku terdekat ataupun melalui platform belanja online. Pun telah menjadi buku best seller yang meraih sejumlah penghargaan.
Secara garis besar buku ini menyajikan teori praktis mengenai filsafat Stoa atau (Diistilahkan penulis dengan) filosofi Teras. Filsafat Stoa adalah filsafat yang lahir di masa yunani kuno dan terlestarikan oleh filsuf-filsuf Stoa dari satu generasi ke generasi diantaranya: Marcus Aurelius (Kaisar Romawi), Epictetus, Seneca, dan masih banyak lagi. Filsafat ini masih dipelajari hingga saat ini dan tidak sedikit yang menerapkannya dalam kehidupan.
Konsep utama dalam filsafat Stoa adalah keselarasan dengan alam. Penggunaan nalar dan rasio sebagai suatu hal yang membedakan kita dengan binatang sangat ditekankan sebagai upaya penyelarasan dengan alam. Sedangkan tujuan yang akan dicapai adalah ketenangan dalam hidup agar terbebas dari emosi negatif. Filsafat Stoa memiliki cara tersendiri untuk menghindari emosi dan pikiran yang negatif, yakni dengan dikotomi kendali. Manusia harus bisa memisahkan apa yang didalam kendalinya dan apa yang tidak berada dalam kendalinya., sehingga waktu kita tak akan terbuang sia sia dengan memikirkan hal yang diluar kendali kita.
Aplikasi filsafat Stoa dalam buku Filosofi Teras telah dijabarkan agar lebih mudah dipraktikkan. Konsep konsep dalam filsafat Stoa pun masih relevan untuk diterapkan. Setidaknya ada dua hal yang sudah saya terapkan dalam kehidupan saya. Pertama,menghilangkan kecemasan dan kekhawatiran berlebihan yang membuat diri saya berpikiran negatif. Kedua, berhati hati dengan kemungkinan terburuk serta memikirkan solusinya sedini mungkin agar lebih siap di masa depan.
Saya akan coba membuat pengantar variabel lain dalam artikel ini yaitu kehidupan Punakawan dalam sanggit Ki Seno Nugroho. Secara luas tidak ada perbedaan yang berarti mengenai kehidupan Punakawan pewayangan antara satu dalang dengan dalang lain. Namun sanggit/garap lakon Alm. Ki Seno Nugroho sangat khas dengan tokoh Punakawan, yang sampai saat ini masih digandrungi dan melimpah ruah refrensi video yang dapat kita tonton melalui youtube.
Punakawan adalah pamong atau batur atau abdi dari ksatria kanan dalam pewayangan. Pengabdian ini berlangsung sejak zaman sebelum pandawa seperti Arjuna Sasrabahu, Ramayana, bahkan nenek moyang Pandawa juga dimomong oleh 4 tokoh Punakawan ini. Mereka adalah Semar (sebagai ayah), Gareng, Petruk, dan Bagong. Asal usul mereka berempat terlalu panjang untuk saya beberkan disini. Namun beberapa kondisi dan sifat dasar mereka akan saya jelaskan secara singkat
Semar
Ia sejatinya adalah seorang dewa yang merupakan saudara kandung dari Sang Hyang Manikmaya/Batara Guru (raja para dewa). Semar bertugas sebagai pamong satria kanan yang berseberangan dengan Togog sebagai pamong kiri. Semar digambarkan sebagai seorang tua yang gemuk dan bungkuk. Bertempat tinggal di Karang Kadempel sebagai lurah. Kehidupannya serba bersahaja dan penuh pengabdian kepada tuan-tuannya.
Gareng
Adalah anak tertua Ki Lurah Semar (Bukan anak kandung. Gareng becirikan mata julig, kaki pincang, dan tangan ceko (melengkung). Perawakannya pun kecil dan pendek. Tutur katanya ringan dan tidak banyak cakap ketimbang saudaranya yang lain. Namun ia paling mudah tersulut emosi jika disinggung atau diganggu.
Petruk
Anak kedua dari Ki Lurah semar ini memiliki perawakan yang tinggi dengan ciri khas hidung yang panjang. Petruk sangat lihai dalam menari dan bernyanyi. Diantara saudaranya yang lain Ia yang paling bijak dan cerdas. Pribadinya pun menyenangkan, enerjik, dan penuh semangat.
Bagong
Sebagai anak bungsu pada umummnya (stereotip) Bagong tak jauh berbeda. Perawakannya yang gendut bola mata yang bulat menjadi ciri khasnya. Diantara Punakawan yang lain bagong memiliki watak sembrono dan sering bergurau. Cara berbicara bagong pun khas dengan mulut yang agak domble.