Seorang kawan, yang juga salah satu kompasianer pernah berkata, kok kejahatan Curanmor tidak pernah di ungkap sampai tuntas, teroris saja sampai aliran dananya bisa diketahui. Padahal pelaku-pelaku curanmor sering tertangkap basah, dalam melakukan operasinya? Kurang lebih demikianlah penuturan kawan tadi di sela-sela menyaksikan seorang pencuri yang di curigai akan melakukan kejahatan pencurian yang tertangkap dan di amankan di rumah salah satu tokoh masyarakat.
Sebuah ironi penanganan hukum yang setengah hati. Adalah sebuah kewajaran bila kemudian ada suara-suara masyarakat yang menuding bahwa pasti ada permainan antara oknum dan gembong kejahatan pencurian dengan aparat keamanan. Sebuah kecurigaan yang masuk akal di tengah maraknya pencurian yang sepertinya tidak pernah membuat "kapok" para pelaku kejahatan.
Maka solusi hukum yang kemudian muncul di tengah keputus-asaan masyarakat akan lemahnya penanganan kasus-kasus pencurian adalah hukuman massa, sebuah hukuman yang bisa di bilang "keji" tanpa proses peradilan yang bisa memutuskan secara adil pelaku kejahatan. Maka sudah seperti hukum alam bila pelaku kejahatan pencurian tertangkap basah akan mengalami kehilangan nyawa bila aparat yang berwajib tidak berada di lokasi kejadian.
Adalah sudah menjadi sesuatu yang lumrah bila pencuri itu kedapatan maka nasib tragis akan di alaminya sebuah konsekuensi yang di anggap wajar bagi sebagian orang. Di anggap wajar karena lemahnya hukum yang menindak pelaku-pelaku kejahatan pencurian tersebut secara adil. Masyarakat selalu ragu, kalau pelaku-pelaku kejahatan yang di serahkan kepada aparat bisa di proses secara adil. Maka di anggaplah solusi terbaik adalah hukuman massa. Sebuah hukuman yang bila di renungkan secara jauh bisa saja mencederai rasa keadilan. Pada akhirnya semuanya memang serba salah.
Bahkan seorang aparat yang pernah saya temui di suatu waktu pernah berkata, kalau di tangkap basah dan ada barang buktinya, habisin saja, sementara dari suara-suara yang "tercecer" bahwa bila di serahkan juga ketangan aparat penegak hukum. tidak di proses secara benar. Sebuah paradoks hukum yang begitu ntara kita saksikan.
Hukuman masa menjadi hukuman baru di tengah ketidak percayaan masyarakat akan proses penegakan hukum yang di perankan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sebuah potret wajah hukum yang kelam.
Pertanyaan kemudian adalah mengapa para pelaku curanmor atau pencurian apapun sepertinya tidak pernah kapok, padahal resiko yang harus mereka terima adalah kematian bila tertangkap tangan. Atau jangan-jangan gembong yang berada di balik pencurian tersebut adalah mereka-mereka yang lihai bermain-main dengan hukum. Gembong-gembong yang berada di balik para pelaku pencurian tersebut adalah mereka-mereka yang mampu melakukan cuci otak dengan baik.
Pertanyaan kemudian adalah mengapa para pelaku teroris yang begitu lihai dan teliti mampu di ungkap oleh para intelijen kita? Mengapa para gembong curanmor tidak mampu di tuntaskan ke akar-akarnya oleh para aparat kita. Maka sewajarnyalah masyarakat kita curiga akan hal ini.
Kembali kepada pelaku kejahatan yang di amankan di rumah salah satu tokoh masyarakat tersebut, ketika polisi mengancamnya akan membawanya kepada masyarakat "massa" yang melihat dari kaca, dia bergerak cepat memohon hingga mencoba mencium kaki aparat.Sebuah permohonan untuk menyelamatkan nyawanya yang berada di ujung maut.
Pelaku kejahatan tersebut seorang remaja yang usianya masih belasan tahun, sebuah usia yang masih labil yang menyeretnya ke gembong kejahatan. Bukan tidak mungkin ya adalah korban "cuci otak" atau mungkin ya adalah hasil produksi dari lemahnya penegakan hukum. produksi yang menyimpang dari salahnya pendidikan atau minimnya kepedulian bersama dari orang tua hingga negara. Entahlah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H