Lihat ke Halaman Asli

Muna Handifo

single fighter street fighter

Saya Kasih Makan Ini Sepatu, Kalau Anda Tidak Mau Mengaku! Cerita Bersama Polisi (I)

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua pekerjaan pada dasarnya baik dan halal hanya orang-orangnya (oknum-oknumnyalah) yang tidak amanah yang membuat pekerjaan atau profesi itu tercela di mata masyarakat. Mau itu jadi praktisi hukum, politisi, polisi, sekertaris atau pekerjaan apapun yang di akui secara sah keberadaannya dan tidak bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang disepakati dalam masyarakat adalah sah-sah saja.

Profesi polisi yang tercoreng belakangan di sebabkan oleh oknum-oknum yang tidak amanah, cuman karena banyaknya oknum dan kejadian yang selalu berulang mengakibatkan terjadinya generalisasi atas prilaku aparat tersebut.

Muncul pertanyaan di benak kita mengapa polisi cenderung arogan, pada beberapa kasus yang melibatkan mereka dapat di maklumi oleh sebuah proses panjang, pendidikan, tuntunan, tantangan pekerjaan dan lain sebagainya. Tapi apapun itu polisi harus mampu menunjukkan keteladanan dan dan menjaga profesionalise sebagai pengayom masyarakat. Polisi berfungsi sebagai payung masyarakat ketika berhadapan masalah hukum.

*****

Apakah saya dendam terhadap polisi, sampai mau menulis kisah ini, saya tidak dendam, tetapi saya pernah kecewa dengan beberapa tindakan oknum polisi. Ketika saya mendapatkan musibah sekitar 11 tahun yang lalu. Karena kejadiannya sudah lumayan lama maka saya tidak akan menyebutkan tempat kejadian.

Suatu malam sekitar 11 tahun yang lalu dikala saya masih berstatus mahasiswa semester V, di sebuah perguruan tinggi. waktu itu saya menyusuri jalanan nan sepi karena habis lebaran sekitar 3 hari sebelumnya. Dari kos-kosan tempat tinggal saya, saya pamit pada seorang kawan. Baru beberapa langkah menyusuri jalanan sepi itu, beberapa orang yang ada di depan saya bergerak mencurigakan, sepertinya mau menghadang saya, namun sebuah taksi yang lewat membatalkan niat penghadangan terhadap diri saya. Taksi di stop oleh beberapa orang yang tidak tampak jelas. Taksi berhenti dan saya berlalu. Sekitar 100 meter saya berjalan taksi melaju dari belakang, agak sedikit mencurigakan gerakannya yang sedikit aneh. Agak sedikit beruntung saya berjalan di atas trotoar dan taksi tersebut hanya menyerempet tubuh saya. Badan saya terbentur di tembok pembatas dinding danau. Lutut saya luka parah dan taksi yang menyerempet saya melaju terus sekitar 70 meter dari kejadian. Selanjutnya sopir taksi menabrak tiang listrik. Berdasarkan kabar yang masih sempat saya dengar sopir tersebut habis di tikam di bagian leher, dan secepatnya di larikan kerumah sakit terdekat.

Dengan bantuan beberapa warga dan masyarakat yang lewat saya pun dilarikan di rumah sakit terdekat. Ternyata sopir taxi dan saya di larikan di rumah sakit yang sama. Apes nasib sopir taxi ya meregang nyawa, saya masih sempat menyaksikan mayatnya dari jarak beberapa meter dan beberapa langkah kemudian dengan di papah seorang teman kos, saya di jemput mobil patroli polisi. Apes nasib saya ternyata bukan hanya sebagai korban, saya harus berurusan dengan polisi, saya di bawa ke polsekta terdekat, beberapa sopir taxi mengikuti saya di kantor polisi, berhembus kabar untung saya cepat di larikan di rumah sakit terdekat, kalau tidak bisa jadi sasaran amuk masa. Kaget juga saya tapi saya sudah di kantor polisi, dan saya merasa sudah aman.

Polisi pun melakukan BAP terhadap saya, entah berapa kali BAP saat itu saya tidak ingat persis.

Kesal tidak sebagai korban di paksa mengakui perbuatan yang tidak di lakukan. Saya di paksa mengakui sebagai pelaku penikaman terhadap sopir taksi.Saya tetap kokoh pada pendirian saya karena saya bukan pelaku pembunuhan itu, saya tetap bertahan meski desakan-desakan untuk mengakui sebagai pelaku cukup kuat. Saya tetap bertahan, apapun yang mereka lakukan terhadap saya, saya pasrah dan saya tidak akan mengakui.

Subuhnya ada beberapa orang yang datang melihat saya di tengah-tengah sel tahanan, terdengar polisi menanyakan kepada warga yang datang tersebut. Apakah saya orang yang mereka maksud, pelaku pembunuhan itu. Namun jawabannya melegakan saya, bukan dia pak. Kalimat itu yang saya dengar dari orang yang didatangkan polisi.

Kemudian saya di BAP kedua, masih sebagai saksi, sempat juga saya diwawancarai TVRI nasional yang bertanya seputar kejadian, saya jelaskan bahwa saya hanya korban yang tidak tahu kronologis penikaman. Saya hanya menjelaskan detail perjalanan saya dari rumah kos sampai di serempet taxi.

Tengah harinya saya di bawa ke polisi kota besar (poltabes) dengan luka yang butuh perawatan. Saya tidak tahu apa yang akan di lakukan oleh polisi kota besar, terdengar kabar saya akan di tes dengan alat pengetes kejujuran, tergelitik juga saya mendengarnya kejujuran bisa di tes ya luar biasa.

Darah keluar dari luka saya, namun perawatan tidak di lakukan, Tes kejujuran yang saya tunggu-tunggu tidak kunjung di lakukan. Sebagai korban saya protes, “penyidikan silahkan di lakukan tapi kondisi saya sebagai korban harus di perhatikan”, namun tidak ada tanggapan saat itu, luka saya tidak di perhatikan.

Bagai di sambar petir, sedih, marah, jengkel bercampur , sebuah kalimat yang keluar dari mulut seorang oknum polisi yang ada di samping saya, memaksa saya untuk mengakui dan sungguh sangat tidak manusiawi kata-kata yang di keluarkannya “kalau anda tidak mengaku, nanti saya kasih makan ini sepatu”, begitu kejamkah sebuah penyidikan, sampai harus mengancam makan sepatu segala, padahal bukti-bukti, baik saksi maupun barang bukti yang menguatkan saya sebagai pelaku tidak ada alias tidak cukup bukti. Saya terdiam, tunduk, air mata menetes dari mata saya.

Karena luka saya yang belum di tangani saat itu teman saya “ngamuk-ngamuk” di kantor polisi, hingga polisi merasa heran juga dengan sikap teman tersebut, kok berani-beraninya. Tidak ada penanganan terhadap luka saya, hingga muncul sebuah surat, saya bisa keluar dengan syarat ada yang menjamin saya, teman saya yang satu jurusan bersedia menjamin saya, namun saya keberatan dengan status tersangka, karena saya merasa polisi tidak cukup bukti yang menguatkan yang di perlihatkan kepada saya untuk menandatangani surat sebagai tersangka.

Karena kondisi luka yang makin sakit, dan masukan dari teman-teman terpaksa saya menandatangani surat sebagai tersangka tersebut. Saya keluar dari kantor polisi sekitar jam sepuluh malam dengan di papah dua orang sahabat.

Ransel yang melilit di punggung saya saat kejadian di tahan polisi, saya mencoba memberi surat kuasa kepada teman untuk mengambilkan tas tersebut yang di dalamnya terdapat laporan, namun kabar dari teman bahwa tas saya di tahan sebagai barang bukti. Aneh, barang bukti apa.

Selang dua minggu kemudian,dari koran lokal saya membaca bahwa pelaku pembunuhan melarikan diri, namun beberapa alat bukti berupa pisau yang di gunakanmenikam di temukan. Dan kalau tidak salah beberapa hari berikutnya pelaku di tangkap. Sesudah itu tidak ada lagi konfirmasi dari pihak kepolisian kepada saya. Padahal menurut beberapa teman sebagai korban dari sebuah perusahaan taxi saya berhak mendapatkan ganti rugi biaya pengobatan. Akibatnya dua semester kuliah saya ”hancur”.

Bersambung, Cerita Bersama Polisi (II)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline