Lihat ke Halaman Asli

Jihan Auliana Ghaisani

Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Mendengar Lebih Jauh Suara Gedebage

Diperbarui: 7 Januari 2022   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bandung. Sumber ilustrasi: via KOMPAS.com/Rio Kuswandi

Sebagai instansi yang memegang otoritas secara utuh terhadap peraturan daerahnya, pemerintah seyogyanya memahami secara betul bagaimana karakteristik daerahnya – baik dari masyarakat maupun topografi wilayah. Terlebih mengingat Indonesia sebagai negara demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sekilas slogan tersebut terlihat kritis, kuat, dan ajeg terhadap rakyat kecil sehingga pembuatan kebijakan tidak hanya bermodel top-down saja. Namun apabila ditelaah lebih lanjut, apakah demokrasi telah berjalan baik seperti halnya slogan tersebut?

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Gedebage, Bandung kiranya dapat menjadi refleksi yang tepat untuk memancarkan demokrasi di Indonesia. Kasus ini bermula pada tahun 2005 akibat dari longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berlokasi di Leuwigajah. Melihat kejadian ini serta maraknya sampah yang dilahirkan Kota Bandung setiap harinya, pemerintah kemudian membuat rencana untuk membangun pabrik sampah di sekitar Gedebage, lebih tepatnya di antara Stadion Gelora Bandung Lautan Api dan perumahan Griya Cempaka Arum. Melalui adanya PLTSa di Gedebage, pemerintah kota berharap permasalahan sampah dapat diselesaikan dengan teknologi yang mumpuni sehingga sampah di kota Bandung dapat berkurang.

Mendengar adanya kebijakan yang hendak dilaksanakan oleh pemerintah kota terkait pembangunan PLTSa di Gedebage, masyarakat tentu tidak hanya tinggal diam dan menerima kebijakan tersebut begitu saja. Masyarakat sekitar yang sebelumnya mengikuti suatu kegiatan sosialisasi di kelurahan setempat dan menandatangani daftar hadir, justru digunakan oleh pemerintah sebagai bentuk pernyataan terhadap kesetujuan masyarakat setempat dalam membangun PLTSa. Merespons hal ini, masyarakat tentu mengalami kekecewaan sebab tindakan pemerintah tersebut dinilai telah menipu masyarakat. Pun kenyataannya, pemerintah tidak melakukan sosialiasi kepada masyarakat sekitar terkait insinerator atau pabrik sampah. Melainkan hanya melakukan sogokan atau bahkan tuduhan kepada masyarakat karena dianggap telah membangkang terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Suara yang tidak kunjung didengar, justru mendapat kecaman. Namun perjuangan masyarakat tidak terhempas oleh angin musiman. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan seperti DPKLTS serta Walhi, turut hadir dalam menyuarakan permasalahan yang dialami masyarakat Gedebage. Melalui adanya LSM, aksi yang dilakukan oleh masyarakat tidak lagi terbatas dalam bentuk demonstrasi. Melainkan melalui berbagai jalur yang lebih efektif sehingga dapat mempengaruhi keputusan pemerintah kota. Penelitian dan disertasi yang menyangkut insinerator serta cara pengelolaan sampah secara mandiri, turut diedukasikan kepada masyarakat sekitar agar tidak termakan oleh janji manis pemerintah. Pendampingan tersebut juga tidak berjalan singkat, melainkan butuh waktu hingga tahunan mengingat pemerintah yang tidak kunjung memberi kejelasan terkait PLTSa.

LSM hadir di luar pemerintahan, berusaha mendengar permasalahan Gedebage tanpa langsung menjustifikasi dalam mengambil keputusan. Seyogyanya, kebijakan pemerintah tidak hanya berlandaskan untung-rugi, melainkan turut memperhatikan aspek kesejahteraan masyarakat wilayahnya sendiri. Dengan adanya LSM, mereka terus berusaha membawa isu penolakan pembangunan PLTSa Gedebage di tingkat DPRD – yang turut didukung melalui penelitian ilmiah. Tidak hanya menuntut untuk membatalkan pembangunan, LSM beriringan dengan masyarakat juga dapat membuktikan melalui dasar rasionalisasi yang jelas melalui penelitian ilmiah, serta mendengar lebih jauh bagaimana rakyat Gedebage bersuara. Mereka dapat mengolah sampah dengan cara yang lebih baik dan aman, tanpa melibatkan kabut asap tebal yang secara jelas berbahaya bagi kesehatan mereka. Tindakan seperti penipuan, penyogokan, dan pengambilan keputusan secara sepihak tentu sangat jauh dari konsep demokratis. Slogan ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’ kini hanyalah impian utopis di tengah rezim oligarki.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline