Sesungguhnya saya selaku orang lulusan Pendidikan Tinggi hukum, menolak penerapan hukuman mati di Indonesia. Mengikuti jejak hukum pidana di negara Belanda, di mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia yang diadopsi dari hukum Belanda.
Hukuman pidana mati di negara Belanda sendiri telah dihapuskan sejak 1870 untuk kejahatan Biasa (ordinary crimes) dan pada tahun 1982 pidana mati untuk seluruh kejahatan (abolition for all)---telah dihapuskan. Baca buku; Yon Artiono Arba'I (Aku Menolak Hukuman Mati) hal.3.
Pidana mati merupakan salah satu bentuk pidana paling tua, bisa dikatakan setua peradaban manusia. Hal itu terlihat dengan adanya istilah; mata ganti mata, tangan ganti tangan, dan nyawa ganti nyawa. Artinya, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan kejahatan yang menyebabkan orang lain kehilangan nyawa, maka kepada pelaku dibalaskan dengan mencabut nyawanya, dalam istilah hukum dikenal sebagai teori pembalasan hukum.
Penerapan pidana mati telah lama menjadi perbincangan di kanca internasional termasuk dalam wilayah hukum indonesia, pro dan kontra sama-sama memberikan dalil hukum yang sama kuat. Akan tetapi memaknai asas ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) selayaknya hukuman pidana mati harus dihapuskan, terlebih lagi penerapan hukuman pidana mati di 154 negara telah menghapuskan pidana mati, termasuk Belanda selaku KUHP kita berasal.
Hukuman mati merupakan sesuatu yang bersifat mutlak, dengan demikian tidak ada kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan hakim pada waktu memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya---dalam arti hakim tidak luput dari kesalahan sebagaimana manusia biasa. Vonis mati juga bertentangan dengan perikemanusiaan atau asas kemanusiaan.
Mengutip pendapat dari Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi "Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, oleh karena itu pidana mati yang tujuan utamanya dengan sengaja mencabut hak hidup seseorang bertentangan dengan UUD 1945". Terlebih lagi jika terjadi kekeliruan hakim dalam menjatuhkan putusan mengingat hakim juga sebagai manusia biasa, lantas siapa yang akan bertanggung jawab? Sementara dalam hukum dikenal istilah adagium in dubio pro reo artinya "lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah".
Di sisi lain hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum memiliki keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid) dalam melaksanakan tugasnya mengadili suatu perkara. Hakim tidak boleh diintervensi tetapi bebas dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan pertimbangan hati nuraninya yang disertai dengan alat bukti yang sah.
Lalu berkaca dari kasus Herry Wirawan yang dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhkan vonis hukuman mati, apakah telah memenuhi unsur keadilan? Pertanyaan tersebut bermula saat pak Ranto Sibarani dari Kantor Hukum Ranto Sibarani, S.H & Rekan mengajukan pertanyaan tersebut ke beberapa mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas Medan dan Mahasiswa Universitas Quality yang sedang melaksanakan magang.
Sontak, pertanyaan itu memicu saya untuk menulis dengan memberikan pendapat penulis dalam hal putusan vonis mati melalui tulisan ini. Sebelumnya dalam putusan Pengadilan Negeri Bandung, Herry Wirawan divonis pidana penjara seumur hidup dan segala kerugian (restitusi) yang dialami para korban berdasarkan perincian dan penghitungan kerugian dari (LPSK) dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.
Adapun beberapa pertimbangan hukum menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung, bahwa berdasarkan uraian fakta persidangan, antara tahun 2016 sampai dengan 2021, terdakwa melakukan persetubuhan terhadap anak korban yang berjumlah 13 (tiga belas) orang dan 8 (delapan) anak korban diantaranya hamil dan melahirkan 9 (Sembilan) orang anak. Salah satu anak korban yang hamil tersebut, ada yang melahirkan 2 (dua) orang anak.
Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan dengan kekerasan terhadap para santriwatinya. Kekerasan tersebut tidak dilakukan secara fisik terhadap para santriwatinya, oleh karena kekerasan itu sendiri saat ini lebih luas tidak hanya mencakup kekerasan fisik, namun dalam perkara ini kekerasan tersebut terjadi sebagai hubungan subordinasi antara seorang guru dan seorang murid.