Jalan Pulang yang Kubuat
Dua hari berlalu, Ibu menangis meratapi kepergian ayah dan kedua adikku. Pembunuhan yang merenggut tiga nyawa sekaligus membuat hati ibu terpukul dan berharap pelaku bisa segera ditangkap serta mendapatkan hukuman yang setimpal. Begitupun denganku, jika aku bisa menangkap pelaku pembunuhan ayah dan kedua saudaraku, aku akan membunuhnya bahkan lebih sadis dari apa yang mereka lakukan kepada keluargaku. Kini hanya aku dan ibuku yang tersisa dan kita hanya memiliki satu sama lain. Semua kembali lagi seperti dulu, hanya aku dan ibuku. Aku selalu bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa Ia selalu mengambil apa yang kupunya. Setelah ayah kandungku yang meninggalkanku ketika aku lahir, kini Dia merenggut ayah sambung dan kedua saudara tiriku. Apa salahku hingga aku dihukum seperti ini. Namun apa yang bisa kuperbuat, aku hanyalah seorang manusia yang penuh dengan nafsu dan emosi.
Pyyaarrrrrrrrrrr! Suara keras dari dapur mengejutkanku yang tengah merenung menatap ke jendela. Aku langsung bergegas menuju dapur dan penasaran apa yang terjadi. Sesampainya disana, aku hanya tercengang melihat pecahan gelas yang ada di lantai dan ibu yang hanya berdiri melamun menatap pecahan itu sambil memegang pisau. Aku langsung merebut pisau itu dari ibu dan mengantar ibu kembali ke kamar untuk menenangkannya. Sembari memeluk ibu, aku masih memikirkan apa yang terjadi. Entah apa yang kupikirkan tapi hal-hal negatif mulai bermunculan. Sebenarnya ini bukan kali pertama ibu memecahkan barang-barang yang ada di dapur. Sejak kepergian ayah dan kedua saudaraku, ibu menjadi lebih agresif dan sering melamun karena diliputi oleh duka yang mendalam. Bahkan ibu pernah menodongku dengan pisau tapi untungnya ada tetangga yang datang dan menyelamatkanku. Sejujurnya, aku takut kepada ibu yang mulai melakukan hal-hal aneh dan membahayakan. Entah kenapa, aku merasa ada rasa kebencian di dalam mata ibu setiap kali melihatku. Ibu selalu menatap dengan mata yang sinis ke arahku hingga aku tidak berani menatap balik dan berusaha mungkin untuk menjauh dari pandangan ibu. Aku bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Hidupku terasa gelap dan aku disini terasa sendiri tiada yang menemani. Menangis sudah seperti rutinitas bagiku dan pikiranku sumpek seolah ingin pecah. Aku tidak bisa menemukan kebahagiaan lagi di dalam diriku sementara aku harus merawat ibuku yang semakin agresif setiap harinya.
Pagi itu dengan langkah berat ku melangkah. Aku hanya menapakkan langkah tanpa tujuan. Sebenarnya, aku berencana pergi ke rumah pamanku yang ada di desa sebrang. Namun, aku tidak memiliki keberanian yang cukup untuk menapakkan langkah di rumahnya karena aku tahu, paman dan keluarganya tidak akan suka akan kehadiranku. Ibu dan pamanku memang sering berseteru hingga masalah yang terakhir terjadi membuat mereka enggan untuk berbaikan dan memutus tali persaudaraan. Aku terus berjalan hingga tak sadar aku telah sampai di pinggir danau. Jernihnya air danau yang terasa hangat karena pancaran sinar matahari membuatku menghentikan langkahku. Aku duduk termenung sambil menatap dalam ke air. Aku merasakan ketenangan disana, seolah ada kedamaian dalam air itu. aku mencoba melempar batu ke dalamnya, namun anehnya terlihat sosok pria gagah yang muncul dalam pusaran air. Pria itu tersenyum kepadaku seolah mengajakku untuk ikut bersamanya. Aku merasa tidak asing dengan wajah itu tapi aku tidak tahu itu siapa. Aku menorehkan senyum kepada pria itu, dan
"Bangun Nak! Bangun". Terdengar suara berisik di telingaku dan mataku terasa silau hingga aku membuka mata. Betapa bingungnya aku saat membuka mata, banyak orang-orang yang mengelilingiku. Aku berusaha untuk bangun dan tiba-tiba seorang perempuan memelukku. Entah mengapa, pelukannya terasa hangat dan membuatku tenang hingga air mata menetes deras di pipiku. Aku seperti mendapatkan kembali kedamaian di hatiku yang telah lama hilang. Aku memeluk erat kembali perempuan itu dan tangisanku semakin menyeruak hingga tak tertahan lagi.
"Tidak papa, tenanglah!", suara lirihnya terdengar lembut di telingaku. Dekapannya yang hangat membuatku nyaman. Namun tiba-tiba, tubuhku terasa lemas dan tak sadarkan diri. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di kamar dan ada ibu di sampingku yang menatap ke arah jendela. Aku memegang tangan ibu dan memanggilnya namun ibu tetap saja terlelap dalam pandangannya ke arah jendela. Seolah-olah memikirkan sikap ibu, pikiranku tersadar dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi kepadaku. Tiba-tiba ada paman masuk ke kamar dengan membawakan segelas teh hangat kepadaku. Aku meminumnya dan mulai bertanya kepada paman tentang apa yang terjadi. Paman menghela nafas dan berusaha menceritakan semua kepadaku :
"Waktu paman perjalanan kesini, paman melihat banyak kerumunan orang-orang di danau. Ternyata kamu diselamatkan orang-orang karena kamu terlihat tenggelam di danau. Lalu paman membawa kamu pulang ke rumah. Sebenarnya ada apa? Kok kamu bisa tenggelam di danau?", Paman bertanya kepadaku namun entah kenapa aku tidak bisa menjawabnya. Aku masih tidak menyangka bahwa aku tadi hampir tenggelam di danau.
"Aku tidak tahu paman, waktu itu aku melihat seseorang tersenyum kepadaku di dalam air, setelah itu aku tidak ingat apa yang terjadi", jelasku kepada paman.
"Ya sudah, kamu istirahat saja! Sekalian paman ingin membeitahu kamu bahwa paman ingin membawa ibumu berobat. Keadaan ibumu sudah parah, bahkan tidak peduli lagi dengan kamu". Mendengar hal tersebut membuatku sedikit tenang karena ternyata paman masih peduli dengan keluargaku. Aku setuju dengan paman dan untuk sementara waktu aku tinggal di rumah ditemani bibi. Aku berharap ibu segera sembuh dan bisa menjalani kehidupan yang bahagia bersamaku lagi. Bibi menemaniku saat malam hari saja karena bibi harus bekerja. Sementara aku, hanya berdiam diri di rumah setiap harinya karena sekolah telah memasuki masa liburan. Aku selalu menatap ke arah jendela, merindukan ibu dan keharmonisan keluargaku saat itu. Hingga suatu hari, seorang perempuan datang ke rumahku. Aku menyambut kedatangannya dan menyuguhkan minuman untuknya. Aku tidak tahu siapa dia namun dia terlihat tidak asing bagiku.
"Apakah kamu baik-baik saja?", wanita itu bertanya sembari tersenyum padaku. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum balik kepadanya. Hingga aku mengumpulkan keberanian dan bertanya kepadanya.
"Maaf ibu sebenarnya siapa?", tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Namun dia malah tersenyum dan berkata kepadaku,