Prabowo Subianto memang tergolong fenomena unik dalam perpolitikan negeri ini. Dulu, sebagai the rising star di ketentaraan dia pernah diyakini oleh sebagian orang akan menjadi penerus Soeharto, yang saat itu adalah bapak mertuanya. Bayangkan, Prabowo ketika itu, dalam usia yang relatif muda, sudah menjadi pangkostrad dengan pangkat letjen TNI.
Namun gejolak reformasi membuyarkan prediksi itu. Presiden Soeharto dipaksa mundur dari Istana dengan "tidak hormat". Setelah "menyerahkan" kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ Habibie, sosok yang sudah 32 tahun bertakhta itu meninggalkan Istana, didampingi putri sulungnya, Siti Hardiyanti.
Soeharto turun, sinar Prabowo pun meredup. Hingga akhirnya dia diberhentikan dari kemiliteran. Lalu dia aktif di bisnis, namun pada 2009 maju ke gelanggang politik dengan menjadi cawapres bagi Megawati Soekarnopoetri. Tapi pasangan ini dikandaskan SBY - Boediono. Lima tahun kemudian (2014) Prabowo menjadi capres, tapi dikalahkan Jokowi. Pilpres 2019 kembali mempertemukan keduanya, dan Prabowo lagi-lagi kalah.
Pilpres 2024 yang akan datang, sepertinya Prabowo masih kepengen mencoba lagi. Toh, langkahnya terbuka lebar, sebab dia ketum Partai Gerindra. Dia hanya perlu satu partai lagi untuk berkoalisi, maka persyaratan sudah beres. Tentang ini tak perlu diragukan, bukankah pihaknya sudah "berpengalaman" soal urusan pencapresan?
Maka hampir pasti Prabowo akan maju. Hanya saja, situasi dan kondisi sudah jauh berbeda dibanding 5 - 10 tahun sebelumnya. Pada 2014 dan 2019, Prabowo didukung habis-habisan oleh banyak ormas berbaju agama. FPI adalah salah satunya. Bahkan ketika ormas ini mengadakan acara-acara reuni di Monas, yang diklaim dihadiri jutaan orang, Prabowo turut serta di sana.
Di antara Prabowo dengan ormas-ormas agama yang dicap berlabel keras radikal itu, seperti terjalin hubungan simbiosis mutualisme, yakni suatu hubungan yang saling menguntungkan. Dengan dukungan yang sangat besar dari massa ormas-ormas itu, maka peluang Prabowo menjadi sangat besar. Sebaliknya ormas-ormas itu diperkirakan mengusung sebuah agenda atau suatu rencana apabila Prabowo menjadi penguasa di republik ini.
Tapi fakta berkata lain. Prabowo dan pasangannya selalu kandas, meski dengan persentase yang "kecil", berkisar 5 persenan. Bandingkan ketika SBY-Boediono mengandaskan Megawati - Prabowo dengan persentase 65 : 35. Sementara pada Pilpres 2019, selisih antara Jokowi-Ma'ruf : Prabowo-Sandi "hanya" 55 : 45! Artinya kans Prabowo pada dasarnya cukup baik, dan hal ini tentu saja tidak lepas dari sokongan massa ormas-ormas agama yang terkenal militan itu.
Tapi ketika akhirnya Prabowo menyerah kalah dan bahkan bergabung dengan pemerintahan Jokowi, massa militan yang selama sepuluh tahun mendukungnya, satu demi satu mundur. Prabowo dianggap berkhianat sebab akhirnya bergabung dengan "musuh". Belakangan Sandiaga pun turut berada dalam kubu Jokowi. Semakin nelangsa-lah massa ormas yang dulu membelanya.
Tahun depan 2024, ada pilpres, tetapi suasana memang sudah beda. Jokowi yang selalu mengalahkan Prabowo, tidak bisa ikut lagi. Bisa jadi faktor absennya Jokowi ini membuat Prabowo merasa optimistis, dan bertekad bulat maju lagi. Tetapi dia mestinya sadar bahwa sebagian besar pasukannya sudah mundur. Apakah dengan pasukan yang masih tersisa ini dia masih berharap? Sulit untuk mengatakannya.
Di tengah riuhnya tahun politik, sebuah organisasi relawan pendukung Ganjar yang diketuai Noel, menyatakan bubar. Kabar terbaru, Noel cs memilih gabung ke kubu Prabowo. Tapi bergabungnya Noel ke kubu Prabowo, tentunya tidak akan mengubah banyak keadaan. Sebab Noel tidak sama dengan simpatisan Ganjar. Hengkangnya Noel tidak lantas membuat pendukung Ganjar ikut pindah bukan? Maka jika benar Noel sekarang menjadi "panglima" Prabowo Mania, bukan berarti pendukung Ganjar serta-merta jadi pasukannya bukan?
Pasukannya pasti pendukung Prabowo yang masih setia, minus simpatisan ormas-ormas agama yang sudah merasa patah arang itu. Artinya, Prabowo akan maju ke medan laga dengan pasukan yang sudah tidak utuh lagi, seperti 2014 dan 2019 lalu.