Lihat ke Halaman Asli

Hans Pt

Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Pilpres Usai, Medsos Terasa Sepi

Diperbarui: 5 Juli 2019   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: suara.com

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan keputusannya terkait sengketa pilpres pada 27 Juni 2019 lalu, lambat laun situasi di Ibu Kota dan sekitarnya terasa adem. 

Lega rasanya, ketika beberapa hari kemudian kita menyaksikan konvoi bus tentara melaju di jalan-jalan protokol, menuju markas atau barak mereka di daerah. Tak terasa, selama hampir tiga bulan mereka berjaga, hidup di tenda-tenda sekitar tempat-tempat vital untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa mengganggu keamanan bangsa dan negara. 

Komplek Gedung DPR/MPR di Jalan Gatot Subroto misalnya, semenjak hari pencoblosan seperti menjadi bumi perkemahan. Ratusan atau mungkin ribuan petugas standby di sana. Kita tentu tidak mau kembali terulang peristiwa didudukinya Gedung DPR/MPR oleh massa dan mahasiswa yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto. 

Peristiwa dan latar-belakang di bulan Mei 1998 itu memang beda--sangat jauh beda-- dengan Pilpres 2019 ini, namun yang namanya kelompok yang "gemar melakukan segala cara, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan", harus diwaspadai. Jangan lengah barang sedetik pun terhadap kelompok semacam ini, yang terus bernafsu merongrong NKRI yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.

Keputusan MK yang menolak segala permohonan paslon 02, dan yang sekaligus mengesahkan, mengukuhkan dan memastikan kemenangan yang diraih paslon 01 pada Pilpres 17 April 2019, memang masih direspons secara "panas" oleh para pendukung pihak yang "kalah". Selama beberapa hari persidangan di MK, banyak simpatisan sang capres yang setia berjaga-jaga di sekitar Gedung MK.

Mereka seperti ingin menyampaikan pesan kepada para hakim supaya tidak "main-main" dengan keputusannya. Atau dengan kata lain "jangan pernah membuat kami marah dengan putusanmu".

Tapi para hakim MK tersebut adalah sosok yang benar-benar agung dan mulia dalam menjalankan amanat konstitusi. Dengan suara bulat mereka menolak semua tuntutan pemohon, karena memang tidak punya dasar yang kuat. Maka benar sekali kata Prof Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, atau yang populer dengan nama Prof Eddy, yang menjadi salah satu kuasa hukum paslon tergugat: "yang namanya bukti itu harus lebih terang dari cahaya!" 

Nah, berhubung para saksi dan kesaksian yang diajukan pihak penggugat sangat tidak meyakinkan, maka wajar saja ditolak. Dan penolakan ini membuat para simpatisan yang sejak beberapa hari dengan setia berjaga-jaga mengawal persidangan meradang. 

Banyak kaum ibu yang menangis histeris dan menyumpah-nyumpah. Heran juga dengan militansi ibu-ibu ini, tampang boleh lugu dan sederhana, namun semangat untuk membela Prabowo Subianto sangat menggetarkan sukma. Bahkan beberapa dari ibu-ibu itu terdengar sangat fasih menjelaskan soal hutang luar negeri yang semakin menumpuk dan mengerikan. Dia mengaku sangat khawatir membayangkan generasi penerus akan terbebani hutang negara ini. 

Bu...Bu, wong hutang di warung sebelah rumah saja belum lunas-lunas, kok sekarang ujug-ujug sibuk dan siteres mikirin hutang negara? Ibu Menkeu Sri Mulyani Indrawati saja selalu dengan santai meyakinkan kita bahwa posisi keuangan negara sangat kuat dan stabil, lha, kok ibu-ibu ini malah berlagak lebih paham sih kebijakan luar negeri kita? Jangan-jangan kalau Wowo menang, ibu-ibu menuntut pula diangkat jadi menlu? Hihihihihihihihi....

Ya, begitulah. Pasca-pengumuman MK masih banyak terdengar suara-suara yang tidak rela. Meski sudah menyatakan menghormati keputusan MK, Prabowo-Sandi juga masih MMK (malu-malu kucing) mengucapkan "selamat" kepada Jokowi - Ma'ruf. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline