Banyak fenomena yang menarik di tahun politik yang mulai memanas ini. Sementara di jagad maya tidak kalah serunya pertarungan antara dua kubu capres. Di media sosial (medsos) kedua belah pihak yang berseberangan dalam pandangan politik itu saling tuding (ejek) sebagai "kampret" dan "cebong". Entah siapa pula yang menggagas penggunaan istilah ini. "Kampret" adalah olok-olokan para simpatisan capres Jokowi terhadap pengagum capres Prabowo.
Sebaliknya para simpatisan Prabowo menyindir pengikut Jokowi itu sebagai "cebong". Kampret adalah kelelawar, binatang malam yang suka menggelantung di pohon-pohon dengan posisi terbalik. Cebong (kecebong) adalah katak atau kodok.
Tapi sekali lagi, siapa yang mulai menggunakan istilah ini untuk memanas-manasi pihak lawan, tidak ada yang tahu. Semua terjadi dengan begitu saja, tahu-tahu istilah-istilah tersebut sudah populer dalam perang kata-kata di medsos. Beberapa tokoh mengkritik dan menyesalkan penggunaan istilah "kampret - cebong" ini dalam menjatuhkan mental lawan. Tapi yang namanya tokoh, kebanyakan hanya mudah mengumbar statemen, namun tidak sadar perilakunya sendiri kacau-balau.
Suasana panas di antara kedua kubu itu diwarnai pula beberapa kejadian yang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Salah satunya, Mochtar Ngabalin yang di Pilpres 2014 menjadi pembela dan pengusung capres Prabowo yang sangat militan, dan "gila". Bayangkan, dalam sebuah kampanye pria bersorban ini mengatakan "bila perlu kita memaksa Allah untuk memenangkan Prabowo!"
Namun beberapa waktu lalu dia membelot ke kubu Jokowi, dan menjadi anggota tim ahli Kantor Staf Kepresidenan. Dengan jabatan itu, politikus Golkar ini akan siap menangkis "serangan" yang ditujukan kepada Presiden Jokowi. Cerita belum selesai, sebab 19 Juli 2018 lalu pria kelahiran Fakfak Papua ini dianugerahi jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris PT Angkasa Pura I.
Habis gelap terbitlah terang. Habis Ngabalin terbitlah TGB.
TGB atau Tuan Guru Bajang adalah gelar dari Dr. Muhammad Zainul Majdi, gubernur provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di masa Pilpres 2014, TGB merupakan ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta di NTB. Hasilnya cukup cespleng: Pasangan ini kala itu meraih sekitar 70% suara di provinsinya.
Tapi siapa sangka, belum lama ini TGB berlabuh ke kubu Presiden Jokowi, dan berikrar akan memperjuangkan mantan walikota Solo tersebut untuk lanjut hingga periode kedua presiden RI. Seperti biasa, berganti haluannya kedua tokoh di atas, segera diikuti banyak cibiran dan komentar sinis. Jika dahulu keduanya dipuja dan dipuji kubu Prabowo seolah tidak punya cacat setitik pun, kini sosok orang-orang ini diulas tuntas tanpa secuil pun sisi-sisi baiknya. Semua hal tentang orang-orang ini salah, kotor, penuh noda dan dosa. Singkat kata, di mata kubu yang merasa "patah hati", para pembelot sangat layak masuk neraka jahanam. Aduhai!
Tak putus dirundung malang. Ungkapan ini agaknya pas ditujukan ke kubu Wowo-nama lain untuk Prabowo. Baru-baru ini dua nama yang cukup populer di kalangan kelompok ini, malah mendaftar sebagai caleg lewat PDI Perjuangan. Keduanya adalah Yusuf Supendi dan Kapitra Ampera. Yusuf Supendi adalah pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS), parpol yang sangat "kritis" terhadap Presiden Jokowi dan parpol-parpol pendukungnya.
Memang kabarnya sudah sejak lama Yusuf Supendi menyatakan tidak sreg dengan parpol yang dia dirikan itu, mungkin karena jalan dan arahnya tidak sesuai dengan yang dicita-citakan Supendi? Namun ketika dia "menyeberang" ke parpol lain--yang nyata-nyata pula bukan parpol berbasis agama Islam--untuk menjadi caleg, hal ini pasti menimbulkan banyak tanda tanya. Namun semoga saja semua itu dilakukan dengan niat tulus untuk mengabdi kepada kemanusiaan, nusa dan bangsa.