Lihat ke Halaman Asli

Hans Pt

Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Pilkada Sumut Beraroma DKI 2017

Diperbarui: 30 Juni 2018   05:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masjid Al-Jihad Medan (msn.com)


Pilkada serentak 2018 ini diikuti 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Pilkada yang paling "panas" adalah pemilihan gubernur (pilgub) Sumatera Utara, karena "aroma" Pilkada 2017 DKI sangat kental di sini. Cagub Djarot Syaiful Hidayat berpasangan dengan cawagub Sihar Sitorus.

Pasangan Djoss ini melawan pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajeksah (Eramas). Djarot adalah wakil gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang kemudian naik menjadi gubernur DKI setelah Ahok divonis penjara dua tahun dengan tuduhan menista agama. Sebagaimana kita ketahui, Ahok-Djarot kalah dalam pilkada yang sarat kontroversial itu oleh pasangan Anies Baswedan - Sandiaga Uno.

Di Pilkada yang digelar 27 Juni 2018 ini, PDI Perjuangan menyorongkan Djarot, yang memang kader Partai Banteng, untuk menjadi cagub Sumatera Utara. Diharapkan kepopulerannya sewaktu mendampingi Ahok--walau hanya sebentar--bisa mengambil hati masyarakat Sumut. Djarot sendiri adalah orang Jawa, dan masih tercatat sebagai warga DKI Jakarta.

Di Sumut sendiri, khususnya ibukota Medan, etnik Jawa sangat banyak. Bahkan ada organisasi/paguyuban Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera) di sini. Djarot sangat ideal disandingkan dengan putra daerah, Sihar Sitorus, yang juga adalah kader PDI Perjuangan. 

Di tahun politik ini, pilkada kali ini pun sudah beraroma pilpres. Hasil pilkada ini bisa dijadikan gambaran atau tolok ukur tentang peluang seorang calon presiden yang akan diusung oleh parpol-parpol peserta. PDI Perjuangan misalnya, sejak awal sudah bulat mengusung kembali Joko Widodo untuk capres 2019.

Di samping PDI P, ada Golkar, PPP, Nasdem, dll., yang sama-sama menjagokan Jokowi. Dari hasil hitung cepat (quick count) Pilkada 2018 ini, bisa dikatakan bahwa kubu Jokowi bisa bernapas lega, karena banyak calon yang didukung oleh parpol pendukungnya menang.

Namun demikian, Sumut tetaplah lebih menarik karena sarat nuansa Pilkada 2017 DKI Jakarta. Apalagi, bara Pilkada DKI 2017 belum sepenuhnya padam. Pilgub Sumut juga menjadi ajang persaingan antara dua kandidat: yang mengusung Jokowi dan Prabowo. Kubu Djoss jelas pro Jokowi, sementara Eramas untuk kubu Prabowo. Maka pihak-pihak yang berkampanye di sana adalah kubu-kubu yang merepresentasikan kedua capres di atas.

Djoss, yang merupakan perwakilan dari dua etnis: Jawa dan Batak, yang kebetulan menganut keyakinan berbeda, jelas tidak menyoal tentang agama, suku, asal-usul dalam setiap kampanyenya. Namun justru unsur kebhinekaan Djoss ini dimanfaatkan kubu sebelah untuk menyerang dengan menggunakan isu agama dan asal-usul.

Jargon-jargon usang yang digembar-gemborkan di Pilkada DKI 2017, bahwa haram hukumnya memilih pemimpin dari golongan "kafir", di Sumut kembali membahana. Bahkan beberapa hari sebelum hari pencoblosan di beberapa tempat dipasang baliho raksasa tentang "hukum" dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan agama.

Terpasangnya baliho ini di wilayah publik tentu sangat disesalkan, sebab tidak mencerminkan negara yang berdasarkan UUD 45 dan Pancasila, di mana semua warga bersamaan kedudukannya dalam hukum dan kesempatan politik. Saya tidak tahu apakah Bawaslu atau yang pihak berwernang dalam kasus ini mengambil suatu tindakan sebagai pelanggaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline