Di jagat politik, ada istilah "kutu loncat", sebutan atau ejekan bagi seseorang kader partai politik (parpol) yang menyeberang atau pindah ke parpol lain. Biasanya, kader ini akan menjadi bahan olok-olokan sebagai orang yang tidak punya pendirian lah, plin-plan lah, tidak punya integritas lah, pengkhianat, dan sejenisnya. Pertanyaannya: memangnya dosa apa kalau seseorang itu pindah parpol? Jawabannya tentu saja TIDAK.
Pindah parpol sama saja dengan pindah pekerjaan. Kalau sudah tidak betah di sebuah perusahaan, kenapa tidak pindah ke perusahaan lain yang lebih dirasa klop? Maka sekali lagi, pindah parpol bukan aib apalagi dosa. Kalau seorang kader parpol yang gemar mengklaim dirinya wakil rakyat, tapi korupsi, itu jelas berdosa.
Hanya saja, memang tidak boleh asal pindah parpol, apalagi jika parpol asal dengan parpol yang hendak dituju itu berbeda asas. Terlebih lagi jika parpol berbasis agama tertentu, jelas tidak akan nyambung dengan seorang kader parpol lain yang kebetulan berbeda keyakinan atau agama dengan asas parpol yang bersangkutan.
Ruhut Sitompul yang Kristiani tentu tidak akan cocok pindah ke PKS yang dikenal sebagai partai Islam, misalnya. Tapi kalau seoramg kader parpol berbasis nasionalis pindah ke parpol yang juga nasionalis, apa salahnya? Seorang kader PDI Perjuangan pindah ke Partai Demokrat atau Golkar --atau sebaliknya-- tentu tidak ada dalil yang bisa melarang, kecuali ada peraturan tertulis bermaterai plus sumpah, yang mengharamkan kader pindah ke parpol lain, lain lagi kasusnya.
Kader sebuah parpol, harus dan wajib tunduk pada aturan dan peraturan parpol yang bersangkutan. Setiap kader harus mengikuti kebijakan parpolnya, suka atau tidak suka. Sebab, saya yakin, setiap calon anggota parpol pasti diwajibkan menandatangani fakta atau perjanjian sebelum diterima secara resmi.
Dan salah satu poin adalah: wajib tunduk pada setiap keputusan atau kebijakan parpol. Maka, adalah sangat menggelikan ketika ada kader-kader parpol yang dengan gagah berani bersikap menantang atau melawan kebijakan parpolnya dalam pilkada atau pilpres, misalnya.
Dalam Pilkada DKI 2017 yang panas itu, beberapa kader Partai Demokrat malah terang-terangan mendukung Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), bahkan menjadi timses cagub yang diusung oleh PDIP tersebut. Padahal Demokrat mengusung cagubnya sendiri, yakni Agus Harimurti Yudhoyono.
Peristiwa semacam ini mestinya tidak pernah terjadi apabila kader benar-benar setia pada keputusannya. Sebaliknya, parpol pun harus tegas dan konsisten dengan aturan dan peraturan yang dibuatnya, dan memecat kader yang mbalelo itu.
Tapi memang begitu lah agaknya dunia politik yang sering tidak konsisten dengan aturan dan tata tertibnya sendiri. Maka wajar saja ada kader partai, bahkan meski sudah menjabat pimpinan tinggi sekalipun, tanpa risih melawan arus saat pilkada atau pilpres. Lagi-lagi Pilkada DKI yang baru lalu, Partai Golkar di bawah pimpinan Setya Novanto ketika itu menginstruksikan para kader dan simpatisan partai untuk memberikan suara pada Ahok.
Sekali pun demikian, tidak lantas semua kader patuh. Banyak yang terang-terangan bersuara menentang. Bahkan salah seorang petinggi Partai Beringin tersebut, yang menentang titah ketua umumnya, dan mendukung cagub lain, mengatakan dengan lantang, "Saya lebih takut kepada Allah daripada partai!" Entah apa kaitannya, hanya dia sendiri yang tahu. Atau mungkin, malah dia sendiri tidak paham sama sekali dengan apa yang dia katakan?