Sebagaimana dikhawatirkan banyak orang, Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata condong memihak Angket KPK. Mayoritas hakim MK berpendapat bahwa KPK adalah bagian dari eksekutif dan boleh di-angket oleh DPR! Putusan yang sangat disesalkan sebab terkesan tidak memihak aksi pemberantasan korupsi yang sejauh ini telah dilakukan dengan sangat baik oleh KPK.
Korupsi adalah musuh bangsa dan negara. Gara-gara korupsi yang sudah membudaya di sebuah negara, rakyat banyak yang sengsara. Abraham Samad, saat menjabat ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pernah mengatakan dalam acara refleksi akhir tahun KPK, Senin (30/12/2013): "Jika tidak ada korupsi di Indonesia, satu warga bisa mendapatkan penghasilan sebesar Rp 20 juta setiap bulan".
Samad tidak asal bicara. Negara kita kaya dengan sumber alam. Kalau semuanya dikelola dengan benar dan jujur, untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, bangsa Indonesia pasti paling makmur dan sejahtera di seluruh dunia. Namun apa mau dikata, yang namanya korupsi tidak pernah habis dari negeri kita ini.
Dan kalau melihat tabiat bangsa kita sendiri--rakyat maupun pejabat-- rasanya sangat pesimis apabila korupsi bisa dihilangkan total. Lihat saja, ketika KPK dibentuk untuk memberantas korupsi, dan hasilnya sangat jelas, lembaga ini malah diserang habis-habisan oleh para pejabat dan politikus. Pejabat dan peolitikus memang paling banyak yang ditangkap KPK. Masih ingat ketua KPK Antasari Azhar? Dia justru meringkuk di penjara dengan tuduhan membunuh. Kemudian Abraham Samad, penerus Antasari Azhar, bernasib naas. Di akhir masa jabatannya dia dikriminalisasi, dan akhirnya terjungkal dari kursi ketua KPK.
Sekarang nasib KPK yang dipimpin oleh Agus Rahardjo tidak kalah mengkhawatirkan. Sepak terjang KPK edisi 2015 - 2020 ini, yang sempat diragukan publik, ternyata cukup membesarkan hati. Mereka melakukan tugas memberantas korupsi dengan cukup berani. Sudah banyak oknum kepala daerah dan politikus yang suka membawa-bawa nama rakyat diciduk, karena mencuri uang negara: korupsi.
Lagi panas-panasnya, sekarang KPK yang dipimpin Agus Rahardjo, Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif, berseteru dengan beberapa anggota DPR yang tegabung dalam Pansus Angket KPK. Para politikus yang berasal dari sejumlah fraksi DPR itu, berniat "mengoreksi" KPK. Tapi di mata banyak orang yang masih waras dan punya hati nurani, para politkus ini justru ingin melemahkan KPK, melucuti kewenangannya.
KPK dengan berbagai kewenangannya, seperti penyadapan dan penyidikan, justru itulah yang membuat mereka sukses menangkapi maling-maling, yang mencuri uang negara dari ratusan juta rupiah hingga puluhan miliar... dan bahkan triliunan rupiah!
Aneh tapi nyata, justru karena keberhasilan KPK menelanjangi para pejabat dan politikus, membuat beberapa orang kepanasan. Berbagai kekurangan KPK diungkit-ungkit, dan bahkan diancam akan dibekukan. Padahal logika sehatnya, kalau semua elemen masyarakat, terlebih wakil rakyat ingin korupsi dihabisi dari Bumi Pertiwi, inilah saatnya.
Kita memiliki kepala negara yang sejauh ini konsisten dengan sikapnya untuk memberantas korupsi, ditambah KPK yang telah membuktikan tidak pandang bulu dalam menangkap para koruptor. Ini sungguh momen yang tepat. Maka dari itu, semua pihak harus memperkuat KPK. Kalaupun ada kelemahan dan kekurangannya, ya harus dikoreksi dan dibenahi, bukan justru hendak dibubarkan atau dibekukan!
Tapi apa mau dikata, itulah yang terjadi sekarang ini. Partai-partai politik yang katanya menyuarakan aspirasi rakyat, berada dalam jajaran pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo, malah mendukung keberadaan Pansus Angket. Kalaupun belakangan ada parpol yang berada di luar pemerintahan, dan menyatakan "mundur" dari Pansus Angket, itu semata pertimbangan politik belaka.
Mereka sengaja membiarkan parpol-parpol pendukung pemerintah terperosok dalam kubangan Pansus KPK. Sebab hitungan mereka, rakyat akan bisa menilai parpol yang mendukung Pansus KPK tidak serius memberantas korupsi, karena mendukung Pansus yang niatnya melamahkan KPK.