Saat ini pemerintah daerah---provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia---diberi batas waktu paling lambat 5 Januari 2024 untuk menetapkan peraturan daerah (Perda) tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan PDRD di daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 94 UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
UU HKPD yang diundangakan pada tanggal 5 Januari 2022 ini mencabut dua UU sekaligus, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), dan juga mencabut beberapa pasal dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam UU HKPD, penguatan kapasitas fiskal daerah menjadi salah satu pilar penting. Dimana hal ini dimaksudkan agar pemerintah daerah---provinsi dan kabupaten/kota---dapat menggarap potensi penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sehingga meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Karena selama ini ada sejumlah daerah mempunyai potensi besar, namun belum banyak dapat direalisasikan untuk meningkatkan PAD. Rasio PDRD terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) masih rendah sebesar 1,23 persen. Elastisitas PDRD terhadap PDRB kurang dari 1 atau inelastis, artinya masih ada potensi PDRD yang belum digarap secara optimal untuk meningkatkan PAD.
Desain baru pengaturan perpajakan daerah dalam UU HKPD dilaksanakan untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah dengan tetap menjaga perekonomian daerah dalam 3 (tiga) hal, yaitu mengurangi biaya administrasi pemungutan, memperluas basis pajak, dan mengharmonisasikan regulasi.
Mengurangi Biaya Administrasi
Upaya mengurangi biaya administrasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan melalui penyederhanaan struktur pajak daerah dan rasionalisasi jenis retribusi daerah.
Struktur pajak daerah dari 16 (enam belas) jenis dalam UU PDRD disederhanakan menjadi 14 (empat belas) jenis pajak daerah dalam UU HKPD. Pajak daerah berbasis konsumsi yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota---Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Parkir---diintegrasikan menjadi satu jenis pajak yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 42 UU HKPD, PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
Selanjutnya dalam Pasal 50 UU HKPD diatur bahwa Objek PJBT merupakan penjualan, penyerahan, dan atau/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan. Sedangkan Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa.
Penyerdahanan ini dilakukan tanpa mengurangi potensi pajak dan membebani wajib pajak PBJT---orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
Integrasi beberapa jenis pajak dalam satu jenis pajak bertujuan mempermudah administrasi pembayaran dan pelaporan wajib pajak, dan juga meningkatkan efisiensi layanan perpajakan dan pengawasan dari pemerintah daerah sehingga adanya optimalisasi pemungutan pajak daerah.